Pernyataan Sikap Gabungan Serikat
Buruh Indonesia (GSBI)
Nomor: PS.0043/DPP.GSBI/JKT/XII/2025
Atas Kriminalisasi dan Penjemputan
Paksa Kepala Adat Dayak Kualan “Tarsisius Fendy Sesupi” Pembela HAM dan
Pejuangan Lingkungan oleh Aparat Kepolisian.
Salam Demokrasi Nasional!!
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyampaikan keprihatinan mendalam
atas perampokan sumber daya alam yang ugal-ugalan, atas terus terjadinya kriminalisasi
dan tindak kekerasan kepada para pejuang HAM dan pembela lingkungan. Seperti
yang baru-baru ini terjadi di tanah Kalimantan Barat, terhadap “sdr. Tarsisius
Fendy Sesupi” Kepala Adat Dayak Kualan yang dijemput paksa oleh aparat kepolisian
karena tindakannya memperjuangkan tanah leluhurnya dan menjaga hutan.
Tindakan tanpa dasar ini terjadi sesaat
setelah sdr. Tarsisius Fendy Sesupi memberikan testimoni tentang deforestasi
dan degradasi gambut akibat operasi PT
Mayawana Persada (PT MP).
GSBI mengecam keras atas kriminalisasi dan penangkapan paksa “sdr. Tarsisius
Fendy Sesupi”. Penangkapan paksa terhadap pembela hak masyarakat adat ini bukan
hanya bentuk intimidasi, tetapi serangan langsung terhadap mereka yang
mempertahankan sisa-sisa hutan yang menopang kehidupan. Dan ini adalah bukti
nyata bagaimana aparat negara berubah menjadi kepanjangan tangan korporasi, reaksioner,
dan anti rakyat.
Dikabarkan, bahwa sejak tahun 2024, sdr.
Fendy Sesupi berkali-kali menerima pemanggilan polisi atas tuduhan pemaksaan
dan pemerasan—pasal karet yang lazim dipakai untuk membungkam masyarakat adat
yang berkonflik dengan perusahaan besar. Tuduhan itu tidak pernah
terbukti. Bahkan masyarakat Dayak Kualan telah melakukan perundingan resmi
dengan PT MP, yang menghasilkan Berita Acara berisi komitmen perusahaan untuk
mengganti rugi dan menghormati hukum adat. Namun PT MP mengingkari kesepakatan
tersebut dan justru membalas dengan melaporkan tokoh adat ke polisi.
Upaya penjemputan paksa terhadap sdr.
Fendy Sesupi pada 9 Desember 2025 sehari menjelang peringatan Hari HAM Sedunia bukan
peristiwa hukum biasa, GSBI dapat memastikan dan kuat dugaan ini adalah bagian dari pola sistematis
untuk membungkam suara dan perlawanan masyarakat adat dari 14 desa di
Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara – Kalimantan Barat, dari cakupan areal
konsesi PT. MP. Karena sdr. Fendy Sesupi dan masyarakat disana selama ini teguh
membela hak-hak adat mereka, menjaga hutan dan melawan kerakusan perampokan
sumber daya alam yang ugal-ugalan, mereka yang mempertahankan wilayahnya dari
perampasan tanah.
Sungguh sangat ironis, ditengah-tengah Indonesia
sedang memasuki fase “darurat ekologis.” Dari banjir bandang dan
longsor di Aceh,
Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, hingga
kebakaran hutan di Kalimantan, semuanya berakar pada satu pola: hutan dihancurkan demi korporasi
ekstraktif, sementara masyarakat adat yang menjaga hutan justru
dikriminalisasi.
Operasi Hutan Tanaman Industri (HTI)
raksasa seperti PT Mayawana Persada adalah bagian dari mesin perusak. Dengan konsesi 136.710 ha yang
melintasi 14 desa. PT MP nyata menjadi pelaku pencabut akar ekologis yang
selama puluhan tahun menjaga wilayah Ketapang dan Kayong Utara dari kerusakan.
Praktik bisnis PT MP sejak pemberian konsesinya pada tahun 2010, menunjukan agresivitas yang terus meningkat. Disamping deforestasi dan degradasai areal lahan gambut yang terus meluas, praktik bisnis PT MP terbukti melanggar prinsip pengakuan, penghormatan dan perlindungan keberadaan masyarakat adat/masayarakat setempat dengan seluruh hak ulayatnya atau hak atas tanah dan sumber daya alam bagi keberlangsungan hidupnya. Perampasan tanah, penggusuran lahan, pelanggaran terhadap hukum adat dan adat tradisi hidup masyarakat oleh PT MP sepanjang periode yang dimaksudkan telah memicu pecahnya konflik sosial yang terus berulang dan berlarut. Tindakan adu domba, pecah belah bersamaan dengan serangan kriminalisasi terhadap masyarakat adat menjadi tabiat buruk yang dipertontonkan oleh PT. MP dan terus berulang.
Deforestasi dan degradasi gambut menciptakan ledakan risiko ekologis: banjir besar yang meluluhlantakkan kampung, kerusakan hidrologi gambut yang memicu kebakaran, hilangnya habitat orang utan di Kalimantan, penggundulan hutan yang menggiring masyarakat adat ke jurang kehancuran dan kemiskinan. Di tengah kerusakan yang sangat nyata ini, negara justru memilih memburu mereka yang bersuara, bukan menindak perusahaan yang merusak alam secara brutal.
Untuk itu, atas nama keadilan
dan demi kelangsungan hidup dan hak masyarakat adat atas tanah dan sumber daya
alam, Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP.GSBI)
menyatakan sikap sebagai berikut:
1.
Mengecam keras penjemputan paksa dan
kriminalisasi terhadap Sdr. Tarsisius Fendy Sesupi, Tindakan ini adalah sebagai
pelanggaran hak asasi manusia dan serangan langsung terhadap pembela masyarakat
adat, lingkungan, dan HAM.
2.
Menuntut pembebasan penuh dan tanpa
syarat
dari seluruh tuduhan terhadap Sdr.
Fendy serta penghentian seluruh bentuk intimidasi terhadap masyarakat adat
Dayak Kualan, serta menghentikan seluruh pemanggilan, pemeriksaan, dan proses
hukum
terhadap Sdr. Fendy yang sejak awal tidak memiliki dasar hukum kuat dan sarat
konflik kepentingan.
3.
Mendesak pemerintah menghentikan seluruh
praktik kriminalisasi
terhadap masyarakat adat, petani, perempuan adat, dan para pembela lingkungan
yang mempertahankan tanah leluhur dari perampasan oleh korporasi tambang,
perkebunan, dan HTI.
4.
Menuntut PT. Mayawana Persada untuk menghentikan segala
praktek bisnis yang menimbulkan deforestasi, degradasi gambut, dan
kerusakan struktur maupun fungsi ekosistem hutan dan habitatnya; memulihkan seluruh kerusakan
ekologis dan sumber daya hutan; mengembalikan
hak masyarakat adat atas tanah dan ruang hidup; menghentikan seluruh tindakan
pecah belah dan kriminalisasi terhadap masyarakat.
5.
Hentikan segala bentuk perampasan tanah, perampokan sumber
daya alam Indonesia dan perusakan lingkungan.
6.
Menyerukan
solidaritas luas kepada organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, jaringan
internasional, akademisi, jurnalis, dan publik untuk bersama-sama melawan
segala bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat adat, pembela lingkungan dan
pembela HAM.
Demikian
pernyataan sikap ini disampaikan untuk menjadi perhatian bersama dan
ditindaklanjuti oleh para pemangku kepentingan.
Jakarta, 10 Desember 2025
Hormat
kami,
Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP. GSBI)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.