Migrasi dan Pembangunan; Apakah Saling Menguntungkan? Pada 28-30 Oktober 2008 yang akan datang, Forum Global tentang Migrasi dan Pembangun...

Migrasi dan Pembangunan; Apakah Saling Menguntungkan?

Pada 28-30 Oktober 2008 yang akan datang, Forum Global tentang Migrasi dan Pembangunan (Global Forum on Migration and Development, GFMD) ke-2 akan diselenggarakan di Manila, Filipina. Forum tahun ini adalah kelanjutan dari forum I yang tahun lalu diselenggarakan di Brussel, Belgia.

GFMD adalah sebuah proses informal multilateral yang ditujukan untuk mengidentifikasi metode-metode praktis dan memungkinkan guna membangun hubungan saling menguntungkan dan bermanfaat antara migrasi dan pembangunan. Wacana migrasi dan pembangunan sebenarnya bukanlah hal baru namun hingga saat ini masih kontroversi. Adakah hubungan yang saling menguntungkan antara migrasi dengan pembangunan?

Memahami Migrasi

Migrasi saat ini adalah arus perpindahan penduduk yang dipandu oleh proses pemusatan keuntungan ekonomi. Titik-titik konsentrasi kapital menjadi sasaran yang paling umum sementara wilayah-wilayah yang secara sosial maupun teritorial tergolong terbelakang menjadi sumber atau pemasok kaum migran. Karenanya, migrasi adalah ekspresi dari krisis ekonomi secara umum.

Kekhususan dalam fenomena migrasi saat ini adalah adanya institusionalisasi pemerantaraan proses migrasi, di mana pemerintah serta swasta menjadi aktor-aktor utama yang memonopoli manfaat dari proses migrasi. Institusi ini menggenapi kecenderungan baru dalam hubungan industrial, yakni fleksibilisasi industri.

Fleksibilisasi industri adalah respon yang umum ditempuh pebisnis untuk mengatasi overproduksi komoditi di pasar dunia. Ciri umum fleksibilisasi industri adalah ketergantungan pada teknologi tinggi, buruh murah dengan skill yang rendah, dan sistem kerja kontrak waktu tertentu.

Pemusatan kapital dan fleksibilisasi industri inilah unsur-unsur utama dalam struktur permintaan tenaga kerja dalam pasar tenaga kerja secara global. Dengan kata lain, merupakan faktor-faktor yang menarik adanya migrasi tenaga kerja.

Sebaliknya, dalam struktur penawaran, migrasi tenaga kerja disebabkan adanya kemunduran ekonomi akibat kehancuran sistem produksi lokal. Tidak heran bila komposisi kaum migran umumnya dari pedesaan atau wilayah-wilayah terbelakang yang tersingkir dari proses produksi atau aktivitas-aktivitas ekonomi di tempat asalnya.

Kualitas manfaat yang terdistribusi dari hubungan permintaan dan penawaran dalam pasar tenaga kerja inilah yang menentukan adanya kualitas hubungan antara migrasi dengan pembangunan.

Kritik

GFMD ‘memimpikan’ proses migrasi sebagai channel yang mendistribusikan manfaat-manfaat ekonomi dari negeri-negeri maju penerima migran ke negeri-negeri miskin. Secara faktual, proses ini digambarkan melalui perhitungan mengenai remitansi yang mengalir melalui proses migrasi.

Sebagai gambaran, dari sekitar 205 juta kaum migran di seluruh dunia, kesemuanya menghasilkan remitansi sejumlah 2.26 triliun dollar AS. Sebuah jumlah yang jauh melebihi gabungan dari seluruh bantuan pembangunan dari negara-negara maju ke negara-negara miskin. Untuk Indonesia sendiri, akhir tahun lalu BNP2TKI menyatakan jumlah remitansi yang dikirimkan kurang lebih 600 ribu buruh migran asal Indonesia mencapai Rp 44 triliun, meningkat dari tahun sebelumnya yang mencapai Rp 35 triliun.

Fenomena ini hanyalah symptom yang tidak mesti menggambarkan kenyataan yang sesungguhnya. Sebaliknya, sebagaimana konsentrasi kapital dan keuntungan ekonomi, yang memusat di negeri-negeri industri maju, manfaat dari proses migrasi inipun sesungguhnya terpusat di negara-negara penerima dan hanya sedikit yang mengalir ke negara-negara pengirim. Mengapa?

Pengiriman tenaga kerja ke luar negeri berarti adanya konsentrasi tenaga kerja di negara-negara penerima dan dekonsentrasi tenaga kerja di negara-negara pengirim. Konsentrasi tenaga kerja, khususnya dari kalangan usia produktif, di tengah intensifnya penerapan fleksibilisasi industri di negara-negara penerima tentunya akan sangat menguntungkan.

Konsentrasi tenaga kerja migrant akan menjadi labor reserve army (pasukan cadangan buruh) yang bisa ditempatkan di sektor-sektor tertentu yang membutuhkannya. Kualitas skill tenaga kerja yang rendah, adanya peraturan-peraturan yang membatasi kesempatan kerja, deportasi, serta rendahnya perlindungan politik dari negara-negara asal menyebabkan kalangan ini, seberapapun jumlahnya, tidak akan menjadi saingan bagi pekerja-pekerja lokal.

Di sisi lain, dekonsentrasi tenaga kerja usia produktif yang yang bekerja pada sektor-sektor yang memiliki kualifikasi nilai yang rendah dengan resiko kerja yang tinggi di berbagai negeri, adalah kerugian yang sangat besar bagi negara-negara pengirim. Dekonsentrasi ini dapat menghambat kegiatan produksi ekonomi dan pembangunan sosial di negara-negara tersebut.

Masalah ini melahirkan fenomena berikutnya, yakni ‘overkonsumsi’. Yang dimaksud dengan overkonsumsi adalah adanya gejala tingkat konsumsi yang melebihi kebutuhan. Rendahnya kemampuan produksi, salah satunya akibat dekonsentrasi tenaga kerja, serta adanya pemasukan dari remintansi menjadi faktor-faktor utama yang memicu terjadinya fenomena ini.

Fenomena overkonsumsi ini kerap terlihat di keluarga-keluarga asal migrant. Fenomena meningkatnya daya beli yang tidak diimbangi dengan kemampuan produksi ini bukan tidak mungkin melahirkan inflasi dan ketergantungan terhadap komoditi-komoditi impor. Akibat lainnya, manfaat ekonomi yang mengalir melalui proses migrasi akan kembali terkonsentrasi di pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.

Akumulasi internal yang merupakan prasyarat pembangunan ekonomi suatu negeri—khususnya bagi negeri pengirim—tidak akan terjadi. Karenanya hubungan saling menguntungkan antara migrasi dengan pembangunan masih dalam tanda-tanya besar.

Penumpukkan Beban di pundak BMI

Bila ditinjau pada skala yang lebih kecil, fenomena migrasi saat ini menyebabkan adanya konsentrasi atau penumpukkan beban di kalangan migran, khususnya buruh migran. Kalangan inilah yang menjadi penghubung antara berbagai pihak dan kepentingan yang terkait dengan proses migrasi. Kalangan ini pulalah yang berhadapan secara langsung dengan masalah-masalah, baik masalah dari negeri asal maupun dari negeri-negeri penerima.

Sebagai gambaran, saat ini sekitar 1,2 juta BMI tidak berdokumen dari Malaysia terancam deportasi dan mendapatkan hukuman dari otoritas imigrasi Malaysia. Kemudian, berdasarkan catatan Migrantcare, pada tahun 2008 ini, kurang lebih 86 BMI meninggal dunia dalam rentang waktu antara Januari-April 2008. Catatan LBH Iwork mengenai kasus yang sama justru lebih mengerikan, 104 BMI meninggal dunia sepanjang Januari-Agustus 2008 ini.

Padahal tidak sedikit manfaat yang mengalir dari keringat pekerja migran yang justru dinikmati oleh pihak-pihak lain. Sebagai contoh, hingga pertengahan tahun ini setidaknya 66 ribu BMI telah dikirim ke Timur Tengah, 17 ribu ke Hongkong, dan 60 ribu ke Malaysia. Total umum jumlah BMI yang dikirim kurang lebih mencapai 143 ribu.

Dari jumlah itu, pemerintah melalui bea 15 dollar AS yang dibebankan kepada setiap BMI, telah menerima pemasukkan sebesar 2,145 juta dollar AS atau setara dengan Rp 19,5 miliar. Sementara dari biaya asuransi sebesar Rp 400 ribu yang dibayarkan BMI, pemasukkan yang diterima pemerintah, setidaknya telah mencapai Rp 57,2 miliar. Data ini belum menghitung pendapatan dari penempatan BMI di negara-negara lain, seperti Korea Selatan dan Jepang. Belum juga menghitung pemasukkan dari pos lain yang secara langsung maupun tidak langsung yang dibebankan kepada BMI.

Data-data di atas hanyalah estimasi kasar untuk memberikan gambaran sementara tentang pendapatan pemerintah dari BMI melalui pos-pos pembiayaan yang ditentukan oleh peraturan resmi. Pendapatan sebesar itu diperoleh cuma-cuma oleh pemerintah karena sebagian besar urusan penempatan, termasuk biaya pelatihan kerja, dijadikan beban BMI.

Ironisnya, konon dalam nota Rancangan APBN 2009 yang dibacakan Presiden 16 Agustus lalu, tidak ada pos pembiayaan untuk perlindungan buruh migran.***

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item