Ikut Aksi Long March, Tuntut Hak Pendidikan Bagi Semua

Kamis, 11 Desember 2008 Wong Cilik Kota Palu Dalam Peringatan Hari HAM Sedunia Terbukanya iklim demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, memb...

Kamis, 11 Desember 2008
Wong Cilik Kota Palu Dalam Peringatan Hari HAM Sedunia
Terbukanya iklim demokrasi di Indonesia pasca Orde Baru, membuat siapa dapat menyuarakan aspirasinya tanpa takut dan khawatir. Termasuk para kaum orang kecil (wong cilik) di Kota Palu. Hal itu jelas terlihat dari keterlibatan mereka dalam aksi long march Peringatan Hari HAM Sedunia, kemarin (10/12).

LAPORAN: Nur Soima Ulfa
SEPULUH gerobak pemulung seolah menjadi pertunjukan pembuka bagi aksi longmarch Peringatan Hari HAM Sedunia. Kehadiran gerobak-gerobak pemulung itu cukup menarik perhatian warga ketika massa aksi long march melewati jalanan protokol Kota Palu. Apalagi baliho super besar menumpang di satu gerobak yang berada di posisi paling depan.

Di balik gerobak tampak para pemulung. Mereka mendorong-dorong gerobaknya sejauh 10 kilometer dari kompleks pertokoan Palu Plaza hingga ke Gedung DPRD Sulteng dan Kantor Gubernur Sulteng. Jumlah mereka sedikitnya ada dua puluh orang.
Para pemulung tersebut bermaksud turut menyuarakan aspirasinya. Salah satunya adalah hak mengenyam pendidikan bagi semua. Termasuk kalangan pemulung. Mereka menekankan isu pendidikan sebagai hak yang perlu dipenuhi.

“Pendidikan saat ini belum berkompromi dengan kaum kecil, seperti halnya pemulung. Hak mendapatkan pendidikan di bangku sekolah masih sulit,” ujar Wakil Koordinator Lapangan (Wakorlap), Rahmat.

Rahmat yang merupakan wakil pemulung di Kota Palu, menuturkan pendidikan formal masih terlampau mahal bagi pemulung. Meski saat ini bidang pendidikan, mendapat perhatian yang besar oleh pemerintah. “Toh kalau ada yang berhasil sekolah, masih kesulitan karena harus bayar buku dan biaya lainnya,”tuturnya.

Selain pemulung, wong cilik lainnya seperti kaum buruh, petani, hingga pedagang kaki lima juga ikut berpartisipasi. Mereka lantas bernaung dalam gabungan lembaga non pemerintah, yang menamakan dirinya Front Kedaulatan Rakyat Sulawesi Tengah.

Sedikitnya ada 15 desakan front selain isu privatisasi pendidikan di peringatan Hari HAM sedunia. Misalnya pengungkapan kasus pelanggaran HAM berat, cabut SKB 4 menteri, pengakuan kedaulatan masyarakat adat, penghentian kriminalisasi petani Bohotokong, hingga hentikan intimidasi terhadap aktivis Dolapak Tolitoli.

Aksi serupa juga dilakukan oleh Front Perjuangan Rakyat (FPR). Mereka juga melakukan aksi long march dalam peringatan Hari HAM sedunia dengan sasaran Gedung DPRD Sulteng dan Kantor Gubernur. Bedanya, FPR memulakan aksinya dari Taman GOR Palu.

Dalam aksinya, FPR memiliki 12 tuntutan terkait HAM. Ada beberapa tuntutan yang sama dengan tuntutan Front Kedaulatan Rakyat Sulawesi Tengah. Seperti tuntutan kenaikan upah buruh dan menolak SKB 4 menteri dan realisasi anggaran pendidikan 20 persen. Sedangkan tuntutan lainnya lebih banyak menyoroti kesejahteraan buruh, tolak investasi asing, pertanahan yang adil bagi rakyat hingga menolak undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) bagi perguruan tinggi.

Tuntutan FPR yang lebih banyak menyoroti isu buruh dan pendidikan, boleh jadi diakibatkan oleh dominasi kaum buruh dan mahasiswa yang bergabung dalam FPR. Berbeda dengan massa yang tergabung dalam Front Kedaulatan Rakyat Sulawesi Tengah.
“Kami memang mengeluarkan tuntutan secara nasional, karena hari ini adalah peringatan HAM sedunia. Sehingga isu yang kami angkat adalah isu HAM yang terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia,” tandas Korlap FPR, Alim.(**)

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item