GSBI : International Women Day

Peringati Hari Perempuan International (HPI) 8 MARET 2009 dengan Menggelorakan Perjuangan Massa menuntut Hak atas Tanah, Upah dan Kerja. ...

Peringati Hari Perempuan International (HPI) 8 MARET 2009 dengan Menggelorakan Perjuangan Massa menuntut Hak atas Tanah, Upah dan Kerja.

diterbitkan oleh : Departemen Diklat dan Propaganda GSBI


Tidak lama lagi seluruh klas pekerja perempuan didunia akan memperingati hari bersejarahnya, yaitu Hari Perempuan Internasional yang jatuh setiap tanggal 8 Maret. Hampir seluruh dunia merayakan peristiwa ini, tak terkecuali di Indonesia. Sudah menjadi tradisi dalam pergerakan di Indonesia termasuk di organisasi GSBI, Hari Perempuan Internasional selalu diperingati dengan berbagai aktivitas terutama gelombang aksi-aksi massa guna menyuarakan aspirasi dan tuntutan rakyat atas persoalan kaum perempuan, dan persoalan rakyat secara umum.

Yang teristimewa dalam peringatan Hari Perempuan Internasional tahun ini adalah dimana dunia sedang berada dalam situasi dilanda krisis ekonomi akut di Negara-negara imperialis bahkan sampai merambat dampaknya bagi negera-negara berkembang seperti Indonesia. Gejalanyapun semakin terang bagi kita. Dari mulai terjadinya kejatuhan harga saham perusahaan-perusahaan besar di bursa efek saham internasional, kredit macet di sektor perumahan, over produksi (kelebihan hasil produksi) perusahaan-perusahaan besar penghasil barang-barang di sektor tehnologi informasi, hingga defisit anggaran yang dialami pemerintahan negara tersebut, sehingga kebangkrutan berbagai perusahaan besar dan kecil baik dinegeri-negeri Imperialis itu sendiri ataupun di Negara-negara bergantung dan jajahan atau setejahan jajahan seperti Indonesia serta meledaknya angka PHK di seluruh dunia. Sehingga kondisi rakyat di seluruh negeri justru semakin dijauhkan dari hak-hak dasar yang seharusnya mendapatkan perlindungan. Mayoritas rakyat di berbagai negeri di dunia ketiga, justru mengalami marjinalisasi secara structural dan sistemik pada seluruh aspek kehidupan, baik social-ekonomi, politik maupun budaya. Bahkan terus mengalami kemerosotan dari waktu ke waktu.

Untuk itu Hari Perempuan Internasional (HPI) di Indonesia selayaknya tidak hanya di peringati secara seremonial semata dan tidak hanya mencerminkan perjuangan dari kaum perempuan semata, tetapi harus lebih dari itu, yaitu perjuangan yang seharusnya dilakukan oleh seluruh rakyat tertindas di Indonesia, dengan aliansi dasar klas buruh dan kaum tani untuk pemenuhan hak sosial, ekonomi, politik dan budaya kaum perempuan serta untuk pembebasan seluruh rakyat Indonesia dari belenggu imperialisme dan sisa-sia feodalisme.

Kita melihat bahwa penindasan, penghisapan, perlakuan diskriminatif dan terlanggarnya hak dasar sosial, ekonomi, budaya dan politik kaum perempuan yang begitu hebat juga dialami oleh seluruh rakyat saat ini, hal ini akibat dari masih bercokol kuatnya budaya patriarchal-feodal-religius serta berdominasinya kekuatan Imperialisme asing di Indonesia yang masuk dan kokoh berdiri atas bantuan para pembantunya para borjuasi besar komprador yang saat ini di bawah pimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-Kalla). Sebagai bawahan atau boneka Imperialis tentu harus menuruti segala kehendak tuan Imperialisnya saat ini yaitu AS. Di bawah rejim penghamba Imperialis inilah rakyat Indonesia terus dihimpit dengan berbagai penghisapan dan penindasan, berbagai cara digunakan untuk menyenangkan tuan Imperialisnya, kita memahami bahwa Imperialisme sangat bernafsu pada kekayaan yang dimiliki Indonesia, mulai dari bahan tambang, sumber bahan mentah untuk Industri sampai pada jumlah penduduk yang sangat cocok untuk pasar bahkan untuk penyedia tenaga kerja/buruh.

Selain borjuasi besar komprador dan kapitalis birokrat, Imperialisme juga menggunakan sisa-sisa sampah feodalisme yang saat ini masih bercokol di Indonesia yang dimanifestasikan pada tuan-tuan tanah lokal, seperti Jusuf Kalla, atau PTPN dan Perhutani. Lewat kolaborasi tiga poros utama (komprador-kapitalis birokrat-tuan tanah) di bawah kepemimpinan SBY-Kalla inilah Imperialisme dengan leluasa menggerakkan roda penindasannya terhadap rakyat di Indonesia. Petani disingkirkan dari tanah-tanahnya, jutaan petani hidup dalam kemiskinan. Padahal Indonesia selama ini dikatakan sebagai Negara agraris, tetapi dalam kenyataannya tanah di Indonesia sama sekali tidak mampu menghidupi rakyatnya sendiri, kaum buruh di bayar murah, kaum perempuan di marjinalkan dan mayoritas rakyat Indonesia berada dalam syarat-syarat hidup tidak manusiawi.

Maka peringatan hari perempuan International saat ini bila dihubungkan dengan perkembangan krisis ekonomi dunia saat ini, kaum perempuan pekerja dan seluruh sektor rakyat Indonesia justru semakin dijauhkan dari hak-hak sosial ekonomi maupun hak-hak sipil politiknya. Malah Perampasan terhadap upah, kerja dan tanah semakin Intensip, akibat dampak dari krisis global dan kerakusan imperialisme serta rezim komprador didalam negeri.


SEJARAH HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL

Hari Perempuan Sedunia sesungguhnya merupakan kisah perempuan biasa menoreh catatan sejarah; sebuah perjuangan berabad-abad lamanya untuk dapat berpartisipasi dalam masyarakat, seperti juga kaum laki-laki. Di masyarakat Yunani Kuno, Lysistrata menggalang gerakan perempuan mogok berhubungan seksual dengan pasangan (laki-laki) mereka untuk menuntut dihentikannya peperangan; dalam Revolusi Prancis, perempuan Paris berunjuk rasa menuju Versailles sambil menyerukan "kemerdekaan, kesetaraan dan kebersamaan" menuntut hak perempuan untuk ikut dalam pemilu.

Ide/gagasan untuk memperingati hari Perempuan Sedunia sebetulnya telah dikemukakan sejak memasuki abah ke 20 ketika dunia industri ini sedang dalam masa pengembangan dan pergolakan, peningkatan laju pertumbuhan penduduk dan pemunculan paham-paham, ideologi-ideologi radikal sedang mengalami ledakan.

Pada tanggal 8 Maret 1857, para buruh perempuan di pabrik pakaian dan tekstil (disebut ‘buruh garmen’) di New York, Amerika Serikat mengadakan sebuah aksi protes. Mereka menentang kondisi tempat kerja yang tidak manusiawi dan upah yang rendah. Polisi menyerang para pemrotes dan membubarkan mereka. Dua tahun kemudian, juga di bulan Maret, untuk pertama kalinya para perempuan ini mendirikan serikat buruh sebagai upaya melindungi diri mereka serta memperjuangkan beberapa hak dasar di tempat kerja.

Tanggal 8 Maret 1908, sebanyak 15 ribu perempuan turun ke jalan sepanjang kota New York menuntut diberlakukannya jam kerja yang lebih pendek, menuntut hak memilih dalam pemilu dan menghentikan adanya pekerja di bawah umur. Mereka menyerukan slogan “Roti dan Bunga”, roti adalah sebagai simbol jaminan ekonomi dan bunga melambangkan kesejahteraan hidup. Pada bulan Mei, Partai Sosialialis Amerika mencanangkan hari Minggu terakhir di bulan Februari untuk memperingati Hari Perempuan Nasional.

Menyusul deklarasi Partai Sosialis Amerika tersebut, Hari Perempuan Nasional untuk pertama kalinya diperingati di Amerika Serikat pada tanggal 28 Februari 1909. Selanjutnya pada tahun 1913, para perempuan merayakannya pada hari Minggu terakhir bulan tersebut.

Sebuah konferensi internasional yang diselenggarakan oleh organisasi-organisasi sosialis dari seluruh penjuru dunia, berlangsung di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1910. Konferensi Kaum Sosialis Internasional tersebut mengusulkan agar Hari Perempuan menjadi berwatak internasional. Usulan ini pertama kali terlontar dari Clara Zetkin, seorang perempuan Sosilias Jerman, yang mengusulkan Hari Internasional untuk memperingati terjadinya pemogokan para buruh garmen di Amerika Serikat. Usulan tersebut disepakati secara aklamasi oleh lebih dari 100 perempuan dari 17 negara peserta konferensi, termasuk diantaranya oleh tiga perempuan yang untuk pertama kalinya dipilih sebagai anggota parlemen Finlandia. Hari Perempuan Internasional tersebut ditetapkan untuk menghormati gerakan menuntut hak-hak untuk kaum perempuan, termasuk di dalamnya hak untuk memilih (dikenal dengan ‘hak pilih’). Pada saat itu belum ada tanggal pasti yang ditetapkan untuk peringatan tersebut

Deklarasi kaum Sosialis Internasioanal mendatangkan pengaruh yang besar. Pada tahun berikutnya, tahun 1911, untuk pertama kalinya hari Perempuan Internasional dirayakan di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss. Tanggalnya 19 Maret dan lebih dari satu juta laki-laki dan perempuan tumpah ruah memenuhi jalanan dalam sebuah aksi rally. Di samping menuntut hak memilih dan bekerja di kantor-kantor publik, mereka juga menuntut hak-hak kerja dan menghentikan diskriminasi dalam pekerjaan.

Tidak sampai seminggu berikutnya, yakni pada tanggal 25 Maret, terjadilah Tragedi Kebakaran Triangle di New York. Lebih dari 140 buruh, kebanyakan adalah gadis-gadis Italia dan para buruh imigran Yahudi di perusahaan Triangle Shirtwaist, tewas lantaran rendahnya jaminan keamanan. Liga Serikat Buruh Perempuan dan Serikat Buruh Garmen Perempuan Internasional melakukan berbagai aksi protes menentang terjadinya tragedi yang sebenarnya dapat dihindari itu. Mereka juga melakukan pawai pada upacara pemakaman yang melibatkan lebih dari 100 ribu orang. Kebakaran Triangle tersebut berdampak sangat besar terhadap Undang-Undang perburuhan dan terhadap kondisi kerja yang buruk yang menyebabkan terjadinya bencana yang diperingati pada perayaan Hari Perempuan Internasional tahun-tahun berikutnya.

Sebagai bagian dari gerakan perdamaian muncul pada malam Perang Dunia I, para perempuan Rusia mengadakan peringatan hari Perempuan Internasional yang pertama pada hari Minggu terakhir di bulan Februari tahun 1913. Di tempat lain di Eropa, tanggal 8 Maret di tahun berikutnya, perempuan menyelenggarakan aksi rally untuk memprotes perang dan menyatakan solidaritas dengan saudara-saudara mereka lainnya.

Berkaitan dengan gugurnya dua juta tentara Rusia dalam peperangan, para perempuan Rusia kembali memilih hari Minggu terakhir pada bulan Februari 1917 untuk melakukan aksi mogok menuntut ”roti dan perdamaian” atau yang lebih dikenal dengan sloganBread and Peace!”. Para pimpinan politik menentang pemilihan waktu mogok, tetapi para perempuan tetap melakukannnya.

Akhirnya, empat hari kemudian, Tsar Rusia turun dari kursi kekuasaan dan pemerintahan sementara mengabulkan tuntutan hak pilih bagi kaum perempuan. Minggu yang bersejarah tersebut jatuh pada tanggal 23 Februari kalender Julian yang kemudian dipakai di Rusia, bertepatan dengan tanggal 8 Maret menurut kalender Gregorian yang dipakai di tempat lain.

Sejak saat itu 8 Maret ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai penghargaan atas kebangkitan kaum perempuan dalam memperjuangkan hak-hak sosial-ekonominya.

Semenjak awal tahun-tahun tersebut, Hari Perempuan Internasional menyandang dimensi global yang baru bagi kaum perempuan baik di negara maju maupun negara-negara berkembang.

Pada bulan Desember 1977, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengesahkan sebuah resolusi yang menetapkan sebuah Hari PBB untuk Hak-hak kaum perempuan dan Perdamaian Internasional. Empat konferensi perempuan sedunia PBB telah membantu mewujutkan tuntutan hak–hak dan partisipasi kaum perempuan di dalam proses politik dan ekonomi menjadi kenyataan.

Pada tahun 1975 PBB membangkitkan perhatian dunia akan persoalan perempuan dengan menetapkan tahun Perempuan Internasional dan mengadakan konferensi tentang perempuan untuk pertama kalinya di Mexico City. Sidang yang lain diselenggarakan di Kopenhagen, Denmark pada tahun 1980.

Pada 1985, PBB melakukan konferensi perempuan ketiga di Nairobi, Kenya, untuk meninjau apa saja yang telah dicapai pada akhir dekade ini.

Pada tahun 1995, Beijing menjadi tuan rumah Konferensi Perempuan Sedunia Keempat. Perwakilan dari 189 negara menyetujui bahwa ketidaksetaraan kaum perempuan dan laki-laki mempunyai dampak yang serius terhadap kesejahteraan seluruh umat manusia. Konferensi tersebut mendeklarasikan serangkaian tujuan bagi kemajuan kaum perempuan dalam berbagai wilayah kehidupan antara lain politik, kesehatan dan pendidikan. Dokumen terakhir yang dibahas dalam konferensi (disebut “Plaform Aksi”) menyatakan: “Kemajuan kaum perempuan dan pencapaian kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah sebuah persoalan hak asasi manusia dan kondisi bagi terciptanya keadilan sosial dan hendaknya jangan dilihat sebagai persoalan perempuan yang tersendiri”

Lima tahun berikutnya, dalam sebuah sesi khusus ke-23 dari Majelis Umum PBB, “Perempuan tahun 2000 : Persamaan Jender, Pembangunan dan Perdamaian untuk Abad 21” meninjau kembali kemajuan dunia yang telah dilakukan dalam mencapai tujuan yang ditetapkan dalam konferensi Beijing. Konferensi ini kemudian dikenal dengan konferensi “Beijing + 5”. Para delegasi mengalami kemajuan sekaligus mendapat rintangan-rintangan yang kuat. Para delegasi membuat kesepakatan lebih lanjut memprakarsai konferensi perempuan tahun 1995.


AKAR PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

SEJARAH PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

Pada awal masa perkembangan masyarakat di era komunal primitif, posisi perempuan dan laki-laki sama. Masyarakat komunal primitif yang hidup berkelompok dalam grup-grup (comune) dan berpindah-pindah (nomaden) ini memenuhi kebutuhan hidupnya dengan metode berburu hewan serta meramu sayuran dan buah-buahan. Dalam sebuah komune, harta benda (hewan hasil buruan serta sayuran dan buah-buahan) dimiliki secara kolektif oleh anggota komune yang kemudian dibagi secara adil sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota komune tersebut.


Dalam proses pemenuhan kebutuhan ekonominya, muncul kebutuhan untuk melakukan pembagian tugas di antara sesama anggota komune. Perempuan yang memiliki siklus alami reproduksi menyebabkan mereka lebih banyak mendapat pekerjaan meramu, sementara yang laki-laki berburu. Proses berburu pada jaman itu tidak ada rentang waktu kepastian kapan pulang kembali ke komune, karena metode berburu ini bisa memakan waktu hingga berbulan-bulan lamanya. Ketidakpastian waktu berburu dan stok makanan yang mulai menipis, mendorong perempuan untuk mengembangkan metode bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.

Pada perkembangannya, proses bercocok tanam terbukti lebih efektif daripada berburu. Dan ini menjadikan perempuan kemudian lebih berdominan di kelompok, karena perempuan-lah yang menjadi tulang punggung pemenuhan kebutuhan ekonomi komune. Dominasi perempuan dalam hubungan produksi, kemudian berkembang pada dominasi dalam berbagai aspek kehidupan komune. Dalam pengambilan segala keputusan, setiap komune memiliki sebuah dewan permusyawaratan yang itu juga didominasi oleh perempuan. Dan bahkan, banyak sekali perempuan yang kemudian menjadi pimpinan komune. Pada fase inilah awal kemunculan pola matrilineal dalam komune, dimana garis keturunan komune berdasarkan pada garis keturunan perempuan/ibu yang menjadi pemimpin dalam komune tersebut.

Ketika sumber buruan semakin sulit diperoleh, maka beralihlah kaum laki-laki dari pekerjaan berburu untuk kembali ke komune dan terlibat dalam pekerjaan bercocok tanam yang sebelumnya lebih banyak dikerjakan oleh perempuan serta mengembangkan metode berternak hewan. Karena laki-laki jauh lebih mahir menggunakan alat kerja (berangkat dari pengalamannya sebagai pemburu hewan) dari pada perempuan, maka perlahan-lahan perempuan mulai terdesak oleh laki-laki dalam hubungan produksi. Baik itu pertanian maupun peternakan. Selain itu, juga karena perempuan banyak disibukkan oleh proses reproduksi yang dialaminya (hamil, melahirkan dan menyusui), yang mengakibatkan perempuan kembali mendapatkan pekerjaan meramu sebab pekerjaan tersebut lebih mudah dikerjakan sembari merawat anak. Akan tetapi, ketika itu belum ada diskriminasi terhadap perempuan.

Berkembangnya sektor pertanian, mengakibatkan persaingan antar komune untuk memperebutkan lahan yang subur dan dekat dengan sumber air. Persaingan ini mengarah pada perang antar komune. Dan tentu saja, komune yang memenangkan peperangan adalah komune yang memiliki banyak laki-laki dan tentu saja juga dipimpin oleh laki-laki. Karena laki-laki lebih mahir dan berpengalaman dalam menggunakan alat kerja dan senjata untuk berburu, bercocok tanam dan berternak.

Dari peperangan antar komune inilah, lahir klas dalam masyarakat. Sebab, komune yang kalah kemudian dijadikan sebagai budak oleh para pimpinan dan prajurit perang dari komune yang memenangkan peperangan. Sedangkan harta kolektif milik komune yang kalah, menjadi harta milik pemimpin komune dan hadiah bagi para prajuritnya. Sehingga, pemimpin-pemimpin komune yang menang perang berubah menjadi tuan budak. Peperangan antar komune yang semakin marak terjadi, mendorong adanya perubahan jaman dari komunal primitif menjadi jaman perbudakan. Dalam fase ini, perempuan tidak lagi mendominasi dan memimpin dalam komune. Sebagian besar dari mereka berada dalam klas budak yang tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri yang itu artinya perempuan setara dengan barang.

Penindasan terhadap perempuan, dapat dilihat pada aspek memposisikan perempuan sebagai barang milik pribadi. Ini bisa dilihat ketika kepala komune memposisikan perempuan sebagai milik pribadinya, ”kamu tidak boleh berhubungan seks dengan orang lain selain saya, namun saya bisa saja berhubungan seks dengan semua budak perempuan yang saya miliki”. Praktek inilah yang mengilhami terjadinya keluarga monogami ataupun poligami yang bergaris keturunan laki-laki (patrilineal). Selain dimiliki untuk memuaskan hasrat seks tuan budak, perempuan juga diberi beban pekerjaan untuk mengolah pertanian, peternakan dan meramu makanan. Akan tetapi para budak tersebut (yang sebagian besar adalah perempuan), tidak memiliki hak apapun atas dirinya sendiri, dan bahkan tidak setiap hari mendapatkan makanan.

Penindasan budak oleh tuan (pemilik) budak ini yang mengilhami perlawanan budak kepada tuan budak dan menuntut pembebasan. Meningkatnya perlawanan budak, membuat tuan budak terpaksa memerdekakan budak-budaknya dan merubah klas budak menjadi tani hamba. Sedangkan tuan budak, karena kini hanya memiliki tanah sebagai harta pribadinya; maka berubah menjadi tuan (pemilik) tanah.

Akan tetapi, tuan-tuan tanah ini tentu saja tidak ingin kehilangan 100% tenaga kerjanya selama ini. Maka, diciptakanlah budaya patriarkhi. Perempuan dibebaskan secara relatif dengan membatasi ruang gerak perempuan serta menciptakan opini mengenai watak dasar perempuan. Budaya patriarkhi mengidentikkan perempuan sebagai manusia yang lembut, santun, lemah gemulai, dan hanya boleh bekerja dalam lingkungan terbatas. Fase feodal ini memang sengaja memposisikan perempuan lebih rendah dari laki-laki demi kepentingan untuk menundukkan tani hamba yang memang mayoritas adalah perempuan.

Kedatangan bangsa asing ke Indonesia yang melakukan kolonialisme terhadap Indonesia, tidak pernah menghancurkan sistem feodalisme dalam masyarakat. Mereka justru menjadikannya sebagai basis sosialnya dalam melakukan penjajahan terhadap rakyat Indonesia. Sebab, mereka membutuhkan keberadaan tuan-tuan tanah tersebut untuk pendirian perkebunan luas sebagai jaminan suplai bahan mentah bagi industri di negara mereka. Mereka juga membutuhkan tenaga kerja murah agar dapat mengeruk keuntungan sebesar-besarnya, dan industri rakitan di dalam negeri Indonesia sebagai pasar bagi hasil produksi industri mereka serta konsumen atas barang dagangannya. Kolonialisme juga memanfaatkan budaya patriarkhi untuk mengkebiri perempuan Indonesia.

Dalam fase-fase selanjutnya, ketika Indonesia telah merdeka sekalipun, penindasan tersebut masih terus berlangsung. Hal ini karena kemerdekaan bangsa Indonesia telah dihianati oleh Perjanjian Damai Konferensi Meja Bundar yang menjadikan Indonesia sebagai negara setengah jajahan dan tetap menggunakan feodalisme sebagai basis sosialnya. Revolusi Hijau yang digencarkan Orde Baru tidak membongkar hubungan produksi feodalistik yang menjadi penyangga budaya patriarkhi. Akibatnya, kaum perempuan menjadi kalangan yang menanggung beban paling berat. Partisipasi perempuan dalam proses produksi pertanian di pedesaan semakin hilang, dan pergilah mereka bermigrasi ke kota atau luar negeri untuk mencari sumber penghidupan bagi mereka dan keluarganya.


DAMPAK KRISIS UMUM IMPERIALISME TERHADAP PEREMPUAN INDONESIA

Krisis yang dihadapi kapitalisme internasional -yang telah berkembang menjadi imperialisme- saat ini, membuat perempuan Indonesia mengalami penindasan yang semakin buruk dari hari ke hari. Monster raksasa tua yang selama ini menancapkan jari-jari penindasannya terhadap rakyat di berbagai negeri melalui program globalisasi dan pasar bebasnya itu telah semakin renta dan tidak berdaya lagi menanggung krisis di dalam tubuhnya sendiri, sehingga mereka kemudian melimpahkan beban krisisnya terhadap seluruh rakyat di negara-negara jajahan dan setengah jajahan, termasuk di dalamnya perempuan Indonesia. Saat ini, jumlah perempuan Indonesia merupakan mayoritas (54%) dari total penduduk Indonesia. Dari jumlah tersebut, sekitar 70% menjadi buruh tani dan tani miskin, dan sisanya menjadi buruh industri, buruh migran, buruh jasa, buruh toko serta buruh pemuas seks (pekerja seks komersial).


Di pedesaan, mereka terbakar teriknya matahari desa dengan menjadi buruh tani atau petani penggarap dengan upah yang rendah dan menjadi sangat rendah karena diskriminasi upah yang dijalankan oleh para tuan tanah dan petani kaya terhadap mereka. Hingga kini, upah buruh tani perempuan di Jawa masih tetap berkisar antara 10 ribu hingga 20 ribu meskipun harga-harga bahan pokok telah naik berkali-kali. Tidak ada perbaikan hidup yang signifikan bagi mereka, yang ada justru menurunnya daya beli.

Bagi perempuan yang memiliki sedikit lahan sebagai petani miskin, kini semakin terdesak karena anjloknya harga gabah. Petani pani di Jawa Tengah yang kini sedang panen raya, terpaksa harus tersenyum kecut karena pemerintah tidak dengan sigap memberikan standar harga gabah minimum dan membiarkannya jatuh hingga angka Rp 1.200-Rp1.800 per kilogram untuk jenis gabah kering panen (GKP) (Kompas, 12 Februari 2009).

Ditambah dengan semakin maraknya perampasan tanah yang dilakukan oleh para tuan tanah besar pemilik perkebunan kelapa sawit, karet dll yang berusaha agar tetap mendapatkan keuntungan besar (super profit) di tengah-tengah menurunnya harga hasil produksi mereka, dengan jalan memperluas perkebunan mereka. Mereka merampas tanah para petani miskin yang tidak sanggup membayar uang sewa/bagi hasil karena rendahnya hasil produksi mereka. Atau karena tidak mampu hutang atas pembelian pupuk dan benih yang harganya semakin melambung tinggi.

Beban itu tentu saja akan semakin berat bagi perempuan tani miskin karena kebijakan pemerintah yang hendak melakukan impor 500.000 ton pupuk urea di tahun 2009 ini. Sebuah kebijakan yang sangat tidak tepat mengingat persoalan kelangkaan pupuk di Indonesia bukanlah karena menurunnya jumlah produksi pupuk dalam negeri, namun karena permainan para tengkulak besar yang ingin mengeruk keuntungan atas mahalnya harga pupuk.

Disebabkan oleh Kemiskinan yang akut dan lemahnya akses terhadap fasilitas pendidikan serta kesehatan, perempuan-perempuan desa ini memaksa mereka keluar dari desa untuk mencari pekerjaan di kota ataupun di luar negeri.

Perempuan yang memilih berangkat dari desa mengadu nasib ke luar negeri dengan harapan hidup lebih baik, justru terjebak dan tersekap dalam rumah-rumah megah di sejumlah negara di negeri tak dikenal. Menjadi buruh migran yang harus menanggung utang atas biaya penempatan yang tinggi dan juga mengalami berbagai kekerasan tanpa perlindungan pasti dari pemerintah. Di Hongkong, mereka harus menanggung hutang sebesar 25 juta rupiah yang berbentuk potongan gaji selama 7 bulan pertama. Di Taiwan, hutang para penyumbang devisa negara tersebut bahkan mencapai 45 juta rupiah yang juga berbentuk potongan gaji selama 15 bulan dan mengakibatkan mereka banyak yang dipenjara karena melarikan diri dari majikan yang disebabkan karena tidak sanggup lagi menganggung beban kerja yang berlebihan tersebut (kerja yang tak dibayar dan kekerasan oleh majikan).

Dan akibat dari krisis imperialisme, kini mereka banyak yang dipulangkan kembali ke negeri asalnya karena pemerintah negara tujuan lebih memilih mempekerjakan tenaga kerja dalam negerinya untuk meningkatkan daya beli masyarakat demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri, misalkan dari Malaysia saja tidak kurang sekitar 3.000 TKI yang akan di pulangkan akibat krisis ekonomi.

Perempuan Indonesia kini juga semakin banyak yang terkungkung dalam kamar-kamar sempit di tempat-tempat prostitusi. Atau menjadi pengantin bayaran di luar negeri yang pada hakekatnya juga merupakan salah satu bentuk dari perdagangan perempuan. Bukan karena keikhlasan saat mereka harus membiarkan tubuh mereka terjual.

Perempuan buruh industri di perkotaan juga menghadapi ancaman PHK besar-besaran karena perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja yang selama ini sangat tergantung terhadap investasi, bahan baku, dan pasar di luar negeri kini kehilangan order ekspornya. Di Bandung, Jawa Barat, PHK telah mulai marak terjadi sejak tahun 2008 di sector tekstil dan sepatu serta elektronik yang menyebabkan perempuan-perempuan buruh itu harus kembali ke desa karena kehilangan pekerjaan.

Dalam sistem kapitalis global perempuan-perempuan Indonesia di jadikan sebagai “budak modern” dalam industri-industri perakitan mereka dengan upah murah, tanpa mendapatkan tunjangan apapun bagi keluarga meski banyak diantara perempuan-perempuan tersebut bekerja sebagai tulang punggung ekonomi keluarga. Di pihak lain, mereka juga tetap harus menjalankan tugas-tugas mereka sebagai “ibu rumah tangga” yang harus merawat suami, anak, memasak, dan berbagai pekerjaan rumah tangga lainnya.

Kebijakan SBY-JK yang menaikkan subsidi bagi BBM sebesar 7 triliun rupiah sehingga total jumlahnya menjadi 38 triliun rupiah untuk tahun ini, atau kebijakan untuk menaikkan anggaran dana Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari alokasi awal 1,4 triliun rupiah menjadi 3,4 triliun rupiah dengan harapan untuk meningkatkan konsumsi masyarakat, dan juga kebijakan menaikkan jumlah anggaran untuk bantuan Biaya Operasional Sekolah (BOS) melalui keputusan untuk mengalokasikan 20 persen pengeluaran APBN untuk sektor pendidikan; sesungguhnya bukanlah kebijakan yang berpihak pada rakyat. Selain karena tindakan ini hanyalah sekedar upaya SBY-Kalla untuk meraih simpati rakyat menjelang pemilu agar kelak dipilih kembali, kebijakan-kebijakan “populis” tersebut tidak pernah mampu menyelesaikan akar persoalan rakyat.

Amerika Serikat - selaku negara pemimpin imperialisme - yang selama ini mengagung-agungkan liberalisasi pasar dan menolak keras ikut campurnya negara terhadap mekanisme pasar yang selama ini menjadi “dogma” mereka agar mampu menjalankan monopoli pasar serta memperkokoh kedudukan dan kekuasaan perusahaan-perusahaan multi nasional mereka, kini terpaksa harus menelan ludahnya sendiri dengan tindakan mereka merengek-rengek pada senat mereka agar menyetujui suntikan dana demi pemulihan krisis yang dialaminya. Mulai dari pemangkasan ataupun penundaan pembayaran pajak (khususnya di sector perumahan yang sedang mengalami kredit macet puluhan juta dollar AS atas jual-beli rumah mewah), insentif pajak untuk pembelian barang-barang bertehnologi canggih (terutama pembelian mobil mewah), hingga suntikan dana untuk berbagai macam riset serta perusahaan-perusahaan yang mengalami kollaps karena sibuk berspekulasi di pasar saham.

Stimulus yang diberikan pemerintah kepada industri, tidak hanya dilakukan oleh pemerintah AS. Hampir di seluruh Negara di Eropa, di Jepang, China hingga Amerika Latin; kini melakukan tindakan serupa. Mereka berusaha keras melindungi produksi industri dalam negeri mereka sendiri. Sebuah tindakan yang “sangat tidak lazim” dilakukan di era “globalisasi” dan “liberalisasi” seperti saat ini. Terlebih, tindakan tersebut dilakukan oleh penyembah atau bahkan penggagas doktrin “pasar bebas” itu sendiri. Ke depan, kita akan menjadi saksi atas berjatuhannya perusahaan-perusahaan raksasa milik imperialis di berbagai Negara yang selama ini memonopoli perekonomian dunia.

Jadi, permintaan APINDO agar pemerintah memberikan stimulus terhadap industri dalam negeri tidak akan dapat menghentikan krisis ekonomi di dalam negeri Indonesia, karena sesungguhnya akar krisisnya bukanlah berasal dari dalam negeri, namun dari negeri imperialis itu sendiri. Krisis akut yang dialami imperialisme membuatnya melakukan tindakan perlindungan atas perekonomian dalam negeri mereka dengan jalan semakin memperparah penindasan terhadap rakyat di negara-negara jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Termasuk di dalamnya perempuan Indonesia.

Dimana secara politik, langkah yang diambil imperialis untuk mengatasi krisis yang dialaminya adalah: pertama, menggunakan dokrin “national security” untuk lancarkan perang agresi terhadap Negara yang tidak mau menjadi boneka dan melancarkan perang anti terror. Kedua, melakukan konsolidasi dan perluasan anggota NATO serta membangun pangkalan militer di negeri jajahan dan setengah jajahan. Ketiga, melancarkan serangan terhadap rejim anti AS. Keempat, menggunakan taktik “penyelesaian kontradiksi yang terjadi dalam Negara jajahan dan setengah jajahan dengan jalan member bantuan melalui LSM-LSM dan personal-personal sebagai kekuatan alternative. Dan kelima, lebih memperkeji penindasan terhadap rakyat di Negara jajahan dan setengah jajahan, khususnya buruh dan pekerja melalui politik upah murah, PHK, merumahkan. Dan bagi seluruh rakyat melalui pembayaran pajak. Ini artinya, imperialism melimpahkan beban krisisnya kepada rakyat di Negara jajahan dan setengah jajahan.


AKAR PERSOALAN PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

Dari gambaran sejarah penindasan perempuan di atas, tampak bahwa ada dua akar penindasan terhadap perempuan. Pertama, sistem ekonomi yang sedang berkuasa dan berdominasi di Indonesia: Imperialisme yang kini semakin mempertajam penindasan terhadap perempuan dan seluruh rakyat Indonesia demi memindah krisis yang dihadapinya di dalam negeri dengan menggunakan sistem ekonomi feodalisme sebagai basis social atas penjajahannya di Indonesia. Kedua, budaya patriarkhi yang digunakan oleh imperialisme bersama tuan tanah dan borjuasi komprador di dalam negeri Indonesia untuk menindas perempuan Indonesia.



PEMILU 2009 BUKAN JALAN KELUAR ATAS PENINDASAN PEREMPUAN

Hingar bingar kampanye Pemilu 2009 yang banyak kita saksikan di televisi, radio, berbagai media massa maupun di jalan-jalan raya pada hakekatnya adalah pesta pora para borjuasi komperador sekaligus kompetisi di internal mereka untuk memperebutkan kursi kekuasaan di negeri ini.

Sekalipun banyak iklan politik yang mengkampanyekan bahwa partai A ataupun caleg si Fulan berjuang demi kepentingan kaum tani dengan mengupayakan swasembada beras dan peniadaan impor beras, menurunkan harga BBM hingga 3 kali, berkata bahwa mereka akan memperjuangkan upah layak bagi buruh industri, serta mengatakan bahwa partai mereka adalah partai yang mengakomodir aspirasi perempuan dengan mematuhi aturan menyangkut kuota 30% untuk caleg perempuan; namun semua itu sebenarnya hanya “manis di mulut” belaka.

Kelak, setelah mereka duduk di kursi parlemen, atau menjabat sebagai menteri kabinet, dan bahkan sebagai presiden sekalipun; mereka akan menunjukkan watak asli mereka sebagai hamba dan abdi imperialis. Mereka akan lebih memilih untuk menjadi anjing penjaga modal asing, menyembah-nyembah pada WTO, IMF, World Bank dll agar mendapat suntikan “bantuan” hutang luar negeri agar dapat mereka korupsi demi mengembalikan modal kampanye mereka yang telah habis berjuta-juta, lalu kemudian membabat habis subsidi di sektor kepentingan publik, menaikkan biaya pendidikan melalui UU BHP, mengeruk devisa dari remmitance yang dikirim buruh migran, mengimpor pupuk berjuta-juta ton, menaikkan upah buruh industri 0, sekian persen dan sekaligus kembali menaikkan harga BBM hingga 100 % dan mengakibatkan harga sembako terbang tinggi, dan menjual BUMN-BUMN yang mengelola tambang minyak, tambang emas, listrik, dan air kepada investor asing.

Sebab, Pemilu ini bukan pemilu rakyat, bukan pemilu kaum perempuan, bukan pemilu kaum tani, bukan pemilunya kaum buruh tapi pemilunya kaum borjuasi, sistem yang ditawarkannya juga sistem yang sama, begitu juga para kompetisi dalam Pemilu ini adalah semuanya dari klas borjuasi, mereka tidak mewakili kepentingan dari kaum perempuan dan klas buruh dan kaum tani sebagai penduduk mayoritas di negeri ini, tidak ada program yang tegas yang ditawarkan untuk mengakhiri penindasan dan penghisapan kau perempuan dan juga pembebasan seluruh rakayat Indonesia dari belenggu inperialisme dan sisa-sisa feodalisme.

Pemilu 2009, hanya akan menghabiskan bermilyar-milyar rupiah uang negara dari hasil devisa yang diperoleh buruh migran dan pajak yang diberikan rakyat kepada negara; tanpa pernah mampu menyelesaikan persoalan rakyat, dan termasuk perempuan di dalamnya.


MENCABUT AKAR PENINDASAN PEREMPUAN INDONESIA

Upaya yang harus dilakukan untuk mencabut akar penindasan terhadap perempuan adalah dengan mengorganisasikan perempuan dalam organisasi massa yang berwatak demokratis dan nasional (baik itu ormass perempuan ataupun ormass sektoral seperti : ormass tani, ormass buruh, ormass pemuda/mahasiswa) serta memiliki konsistensi dalam perjuangan menuntut reforma agraria.


Kenapa harus ormass yang berwatak demokratis dan nasional dan kenapa ormass tersebut harus memiliki konsistensi terhadap perjuangan menutut reforma agraria?


Reforma agraria merupakan upaya perombakan terhadap struktur agraria dengan jalan meniadakan monopoli atas kepemilikan tanah dan sumber-sumber agraria serta mendistribusikannya pada petani penggarap, baik laki-laki maupun perempuan. Reforma Agraria juga adalah pondasi dasar untuk terbangunnya Industrialisasi Nasional yang kuat dan mandiri.


Di Indonesia, telah ada payung hukum untuk pelaksanaan Reforma Agraria, yakni Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 yang diperkuat Ketetapan MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Sumber Daya Alam.

Dengan jumlah tenaga kerja yang sangat besar dan kualitas teknologi produksi yang masih rendah serta sempitnya lapangan pekerjaan di sektor lain, satu-satunya cara meningkatkan penghidupan kaum tani adalah dengan cara ekstensifikasi lahan. Yang kerap dijadikan alasan untuk tidak menjalankan ekstensifikasi adalah menyempitnya lahan pertanian karena perkembangan industri dan jumlah penduduk.

Namun, permasalahan utama sebenarnya bukan itu, melainkan karena adanya penguasaan secara monopoli oleh segelintir kalangan nonpetani yang memiliki kekuasaan penuh dalam hal peruntukan tanah. Dengan demikian, tidak jarang kasus konversi lahan pertanian menjadi areal industri justru terjadi di kawasan pertanian produktif. Apabila tidak segera ditangkal dengan cara mendemokratiskan penguasaan dan kepemilikan tanah, gejala ini semakin memperburuk kehidupan keluarga petani gurem. Buruknya kehidupan keluarga kaum tani di pedesaan inilah yang menjadi salah satu muasal segala bentuk diskriminasi dan kekerasan yang dialami kaum perempuan.

Proses ekstensifikasi lahan yang dilakukan dengan mendistribusi lahan berlebih dari kepemilikan monopoli memberi jaminan ekonomi dan politik bagi kalangan yang selama ini paling terpinggirkan di pedesaan. Jaminan ini akan meningkatkan kemampuan produksi kaum tani miskin di pedesaan apabila dilanjutkan dengan upaya penataan produksi dan kolektivisasi pertanian. Langkah ini dapat ditopang dengan pembenahan proses produksi, terutama melalui intervensi teknologi modern dalam proses produksi pertanian.

Penataan dan kolektivisasi produksi pertanian di wilayah-wilayah yang sudah mengalami redistribusi lahan bertujuan untuk menjamin pemerataan hasil produksi dalam upaya mengangkat kesejahteraan. Jaminan ini berlaku untuk semua pihak yang bekerja di atas tanah tersebut, tanpa diskriminasi jender.

Bagi perempuan petani, reformasi agraria memberi jaminan lebih konkret atas hak ekonomi dan hak politik. Artinya, kaum tani perempuan memiliki basis yang memadai dalam hal partisipasi dan kontrol ekonomi maupun politik. Basis inilah yang akan menopang gerakan perempuan secara umum untuk menganulir segala bentuk diskriminasi, baik di lapangan politik, ekonomi, maupun kebudayaan.

Dalam konteks perjuangan perempuan, reformasi agraria berupaya membongkar segala bentuk relasi yang diskriminatif. Tidak adanya penguasaan monopoli akan menjadi landasan terselenggaranya demokrasi di pedesaan. Demokratisasi dalam relasi sosial akan menjadi antitesis bagi diskriminasi.

Dengan demikian, tidak mungkin gerakan reformasi agraria dapat dilakukan tanpa mengikutsertakan kepentingan gerakan perempuan. Gerakan perempuan pun sudah selayaknya terlibat aktif dalam gerakan reformasi agraria. Keduanya merupakan prasyarat yang masing-masing saling terkait dan tidak bisa dipisahkan.

Langkah lain yang harus dilakukan adalah mengatasi masalah keterbelakangan politik dan kebudayaan melalui aktivitas pengorganisasian (mendorong partisipasi aktif perempuan dalam berbagai aktifitas organisasi) serta pengintensifan pendidikan dan sosialisasi nilai-nilai baru untuk mengatasi keterbelakangan budaya di kalangan kaum tani dan menciptakan budaya baru yang demokratis tanpa diskriminasi di pedesaan.

Sehingga, satu-satunya jawaban bagi penghapusan penindasan terhadap perempuan adalah perempuan harus mengorganisir diri dalam organisasi-organisasi massa yang demokratis nasional (baik itu ormass perempuan maupun ormass sektoral) yang memiliki komitmen tinggi dalam perjuangan reforma agraria.


KAUM PEREMPUAN DAN RAKYAT INDONESIA BERSATU MELAWAN REZIM ANTARI RAKYAT SBY-KALLA

Krisis yang melanda di negeri bergantung, jajahan, dan setengah jajahan seperti Indonesia mulai dari krisis energi, krisis pangan dan krisis financial tidak terpisah dari krisis yang dialami di negeri induk imperialis yaitu imperialis AS. Seluruh sektor, klas, dan golongan tidak ada yang terlepas dari badai krisis ini. Tinginya harga BBM, mahalnya harga kebutuhan pokok, dan meningkatnya perampasan tanah, upah dan kerja serta represifitas terhadap kaum tani, kaum buruh dan perempuan merupakan satu kesatuan dari krisis yang dibawa imperialis. Dan untuk mengatasi krisis yang di alami imperialis dia akan meningkatkan penindasan dan penghisapan di negeri-negeri bergantung, jajahan,dan setengah jajahan atau yang paling kejam yaitu perang atau agresi.

Rejim boneka pun dibentuk untuk melanggengkan kebijakan ekonomi dan politik imperialis dan rejim boneka juga membina kekuatannya bersama tuan tanah, komprador, dan kapitalis birokrasi sebagai kombinasi untuk menindas rakyat. Wacana kebudayaan kita pun banyak di isi dengan materi-materi pendidikan yang pro imperialis bahkan banyak institusi pendidikan dan intelektual-intelektual yang tidak mau peduli dengan persoalan rakyat.

Kaum perempuan selaku penduduk mayoritas, kaum tani sebagai sokoguru pembebasan, kaum buruh sebagi pemimpin pembebasan juga merasakan penindasan akibat krisis yang terjadi. Dan kesatuan rakyat amat diperlukan untuk menghancurkan dominasi dan hegemoni imperialis di negeri ini beserta rejim boneka dan antek-anteknya sebab hanya kekuatan rakyat sendirilah yang bisa membinasakan seluruh pendindasan, penjajahan, dan penghisapan dengan terus menerus mempertajam kontradiksi dan mengobarkan perlawanan disegala penjuru Indonesia bersama gerakan rakyat dan rakyat pekerja dibawah kepemimpinan buruh dan tani untuk mencapai kemenangan yang gilang gemilang.

Banyak keberhasilan yang telah di capai oleh gerakan kaum perempuan, oleh gerakan kaum tani, oleh gerakan kaum buruh, pemuda mahasiswa selama ini sehingga telah terbangun pemikiran untuk terus mengelorakan perlawan dengan persatuan klas pekerja di seluruh negeri dan kita mampu mengecilkan kekuatan rejim sehingga di tubuh mereka sendiri telah terjadi perpecahan.


8 MARET 2009 KAMPANYE MASSA LUAS UNTUK HAK-HAK KAUM PEREMPUAN DAN SELURUH RAKYAT INDOENSIA.

Dan tanggal 8 Maret 2009 nanti kita (GSBI) akan melakukan kampanye massa luas untuk menyuarakan tuntutan-tuntutan atas persoalan-pesoalan yang di hadapi oleh kaum perempuan serta masalah-masalah rakyat Indonesia (buruh dan tani) untuk di desakkan kepada negara untuk segera di penuhi.

Lagi-lagi persatuan rakyat amat diperlukan untuk menghancurkan penindasan dan penghisapan tersebut dan dengan propaganda politik rakyat melalui organisasi dengan mengembangkan taktik dan strategi untuk dapat mengecilkan kekutan musuh rakyat.


TUNTUTAN KITA DI KAMPANYE MASSA 8 MARET 2009

Adapun yang menjadi pokok-pokok tuntutan yang harus diperjuangkan dalam aksi tanggal 8 Maret 2009 adalah :

1. Menuntut disedikan lapangan pekerjaan dan upah yang layak bagi seluruh rakyat

2. Menuntut Kenaikan Upah bagi buruh industri, buruh tani dan buruh perkebunan sesuai dengan Standar Kebutuhan Hidup Layak.

3. Menuntut Kesetaraan Upah bagi buruh tani dan buruh perkebunan laki-laki dan perempuan.

4. Menuntut Biaya Pendidikan yang Murah dan Merata bagi Anak Keluarga Buruh dan Kaum Tani.

5. Menuntut Biaya Kesehatan yang Murah bagi Keluarga Buruh dan Kaum Tani.

6. Menuntut Biaya Kesehatan Reproduksi (Posyandu, Alat Kontrasepsi, Biaya Persalinan) yang Murah bagi Perempuan Buruh dan Kaum Tani.

7. Menuntut Jaminan atas Pemenuhan Hak-hak Normatif bagi Buruh Perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, dan asuransi kesehatan bagi keluarga buruh perempuan).

8. Menuntut Dibangunnya Fasilitas Penitipan Anak dan Tempat Menyusui di Tempat Kerja dan Tempat-tempat Umum.

9. Menuntut di cabutnya SKB 5 menteri dan PB 4 Menteri

10. Menuntut dihentikankan PHK dalam bentuk apapun

11. Menuntut dihapuskannya sistem kerja Kontrak dan Outsourcing

12. Menuntut di Tegakkan dan diLindungi hak Kebebasan Berserikat Bagi Kaum Buruh dan Adili Pengusaha yang Melanggar Hak-hak Dasar Kaum Buruh.

13. Menuntut untuk menolak Hutang Luar Negeri, campur Tangan World Bank, WTO, IMF, CGI, ADB (berbagai lembaga keuangan Internasional) dalam Kebijakan Ekonomi dan Politik Nasional.

14. Menuntut di Hentikan Kekerasan dan Perdagangan Perempuan dan Anak.

15. Laksanakan Reforma Agraria dan Land Reform Sejati;


Penutup

Demikian pandangan dan sikap serta tuntutan perjuangan dalam memperingati Hari Perempuan Internasional 2009, yang menjadi tugas kita untuk menyebarluaskannya ke segala kalangan terutama seluruh rakyat. Dengan ini kami juga menyerukan kepada seluruh kaum perempuan, serikat-serikat/organissi perempuan, seluruh klas buruh, serikat-serikat buruh, kaum tani dan serikat-serikat tani, pemuda mahasiswa, perempuan, miskin kota dan kaum pergerakan di Indonesia untuk lebih memperhebat perjuangan dan persatuan kita di bawah pimpinan dan kekuatan klas buruh dan kaum tani dalam melawan rejim boneka imperialis AS dan anti rakyat, SBY-Kalla yang telah membuat penghidupan rakyat semakin merosot, susah dan miskin.

Kobarkan terus semangat kita pertinggi kerja konsolidasi serta galang terus persatuan rakyat untuk menyongsong 8 Maret 2009 dan juga Menyongsong SATU MEI sebagi hari besar kaum buruh dengan gegap gempita, karena hanya ditangan kitalah perubahan ini datang.

Perhebat perjuangan massa, pergiat kerja konsolidasi serta perkuat pekerjaan menggalang persatuan rakyat dalam Front Persatuan Nasional anti Imperialisme dan anti Feodalisme untuk melancarkan perjuangan Demokratis Nasional. //.


SELAMAT MERAYAKAN HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL

PEREMPUAN INDONESIA BANGKIT BERGERAK MELAWAN PENINDASAN



Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item