Kasus Jatigede adalah Tragedi Kemanusiaan

Sekilas Tentang Jatigede Waduk Jatigede berlokasi di Kabupaten Sumedang, meliputi 5 (lima) kecamatan dan 28 (dua puluh delapan) desa, term...

Sekilas Tentang Jatigede
Waduk Jatigede berlokasi di Kabupaten Sumedang, meliputi 5 (lima) kecamatan dan 28 (dua puluh delapan) desa, termasuk lebih dari 11.000 KK atau 40.000 jiwa.

Waduk Jatigede direncanakan dan dilaksanakan dalam kurun waktu yang cukup lama. Tahun 1963 pembangunan waduk jatigede mulai direncanakan, tahun 1982-1986 dimulai proses penggantian kerugian pertama. Penggantian kerugian kedua dilaksanakan pada tahun 1994-1997 dan tahap ketiga dilaksanakan pada tahun 2005 – 2012.

Pembangunan waduk jatigede dimulai pada tahun 2007 melalui kerjasama Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Cina. Pembangunan waduk dilaksanakan ole Synohydro dan pendanaan didapatkan dari Bank Exim, keduanya adalah BUMN Cina. Tahun 2014 struktur waduk telah selesai 99% dan tahun 2015 direncanakan akan dilaksanakan penggenangan waduk.

Daerah genangan waduk jatigede terkenal dengan hasil padinya, setidaknya 30% kebutuhan padi sumedang didapatkan dari wilayah ini. Mayoritas penduduknya adalah petani padi, petani peternak dan buruh tani.

Di wilayah Jatigede pada tahun 2014, terdapat 982 murid PAUD/TK, 2732 murid SD, 1223 Pelajar SLTP, 865 siswa SLTA dan 209 berkuliah. Apabila waduk jatigede akan digenangi, maka fasilitas umum yang akan ikut tergenang adalah 16 PAUD, 7 TK, 22 SD, 3 SLTP, 40 mesjid, 45 mushola, 33 posyandu dan 12 polindes.

Komplain Masyarakat  
Penggantian kerugian yang dilaksanakan oleh pemerintah, ternyata menyisakan persoalan bagi warga masyarakat yang menerimanya. Satuan Manunggal Satu Atap (SAMSAT) Jatigede menyatakan bahwa terdapat lebih dari 12.000 komplain terkait penggantian kerugian yang dilakukan untuk pembangunan waduk jatigede tersebut. Kategori komplain tersebut adalah:

1.    Penyesuaian harga lahan dan bangunan yang dibebaskan/mendapat ganti rugi tahun 1982 – 1986, dikarenakan kecilnya realisasi pembayaran di lapangan di banding harga yang tercantum dalam aturan (SK Bupati dan SK Dirjen Bina Marga), dikarenakan terlalu rendahnya harga dan adanya pemaksaan serta intimidasi dalam pembebasan/ganti rugi lahan dan bangunan;
2.    Salah orang dalam pembayaran/ganti rugi, terdapat masyarakat (pemilik lahan) yang merasa belum menerima uang pembebasan/ganti rugi dikarenakan penerima uang pembebasan/ganti rugi bukan pemilik lahan tapi kepala desa atau orang lain;
3.    Salah ukur dalam pembebasan/ganti rugi lahan, lahan dan bangunan yang dibebaskan/mendapat ganti rugi luasannya lebih kecil dibandingkan luas lahan yang sebenarnya, pada saat pengukuran oleh petugas, warga tidak dilibatkan;
4.    Salah klasifikasi dalam pembebasan/ganti rugi lahan, lahan sawah dibayar dengan harga lahan darat, sedangkan harga sawah lebih tinggi/mahal dibandungkan harga lahan darat;
5.    Lahan dan bangunan milik masyarakat yang terlewat dan belum mendapat ganti rugi;
6.    Lahan terisolir, terdapat lahan milik masyarakat yang akan terisolir apabila waduk jatigede sudah digenangi.

Hingga saat ini, belum ada penyelesaian atas komplain yang diajukan oleh masyarakat.

Penanganan Dampak Sosial Yang Tidak Menyelesaikan Dampak Sosial  
Pada bulan Januari 2015, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 1 Tahun 2015 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede.

Secara umum, Perpres No. 1 Tahun 2015 ini membagi masyarakat terkena dampak kedalam dua bagian, yaitu masyarakat dengan ganti rugi Permen No. 15 Tahun 1975, dan masyarakat yang non
Permen No. 15 Tahun 1975. Pembagian ini membawa dampak pada hak-hak yang didapatkan oleh mereka terkait penanganan dampak sosial pembangunan waduk jatigede.

Perpres No. 1 Tahun 2015 merubah kewajiban relokasi untuk orang terkena dampak pembangunan waduk jatigede dengan uang tunai.

Perpres No. 1 Tahun 2015 juga tidak mengatur mengenai penanganan dampak sosial lainnya yang timbul akibat pembangunan waduk jatigede.

Reaksi masyarakat atas terbitnya Perpres No. 1 Tahun 2015 tersebut adalah melakukan judicial review Perpres No. 1 Tahun 2015 ke Mahkamah Agung, dikarenakan Perpres tersebut sangat tidak memperhatikan keadaan warga dan hanya mempergunakan pendekatan uang.

Hingga saat ini, warga masih kebingungan dengan apa yang akan terjadi terhadap mereka selanjutnya. Tidak ada rencana yang jelas dan tidak ada jaminan bahwa mereka akan semakin sejahtera atau minimalnya sama dengan situasi mereka saat ini. Bahkan, bayang-bayang kehidupan yang lebih sulit terbayang dalam pikiran mereka.

Tanpa adanya relokasi, masyarakat tidak mengetahui kemana mereka akan pindah atau tinggal selanjutnya. Dengan demikian, mereka pun tidak mengetahui pekerjaan apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Banyak warga yang terancam kehilangan pekerjaan dan mata pencaharian. Hal ini tidak termasuk kedalam rencana penanganan dampak sosial yang dibuat oleh pemerintah.

Selain itu, anak-anak, utamanya yang bersekolah di SD akan terancam putus sekolah. Dikarenakan belum jelasnya lokasi yang akan mereka tinggali setelah ini, maka belum juga ada kejelasan mengenai dimana mereka akan bersekolah. Sementara saat ini proses belajar mengajar di sekolah telah dimulai. Hal ini tidak termasuk ke dalam rencana penanganan dampak sosial yang dibuat oleh pemerintah.

Apabila penanganan dampak sosial yang lebih komprehensif, inklusif dan mempergunakan pendekatan ham (bukan pendekatan uang) tidak segera dibuat, maka potensi pelanggaran HAM dan hak ekosob orang terkena dampak pembangunan waduk jatigede akan semakin nyata. 
Rencana Penggenangan Sewenang-wenang

Tanggal 1 Agustus telah ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo sebagai hari dimulainya penggenangan waduk jatigede. Rencana penggenangan ini semakin menambah kerisauan warga, diakibatkan oleh persoalan-persoalan yang masih belum diselesaikan oleh pemerintah.

Komplain masyarakat terkait ganti rugi belum diselesaikan. Penanganan dampak sosial yang tidak menjawab persoalan warga terus dipaksakan untuk diterima oleh warga. Ribuan anak utamanya usia SD terancam putus sekolah tanpa adanya jaminan atau perlindungan dari negara.

Tuntutan 
Berdasarkan kondisi objektif yang berlangsung dilapangan, maka pemerintah sudah seharusnya dengan sadar membatalkan rencana penggenangan waduk jatigede pada tanggal 1 Agustus nanti.
Pemerintah seharusnya memprioritaskan penyelesaian persoalan-persoalan warga dan memberikan jaminan atau perlindungan terhadap HAM dan hak ekosob mereka.

Keterbukaaan pemerintah dalam penanganan dampak sosial ataupun menjawab keresahan masyarakat terkait keamanan waduk yang dibangun haruslah benar-benar dilaksanakan.

Apabila tidak, waduk jatigede akan menjadi simbol tragedi kemanusiaan atas nama pembangunan. Pembangunan tidak seharusnya menambah persoalan bagi rakyat, tidak seharusnya memiskinkan rakyat, melainkan, pembangunan haruslah mensejahterakan rakyat.

Pembangunan yang dilakukan untuk menjawab kebutuhan investasi asing agar bisa mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya di Indonesia harus digantikan dengan pembangunan yang dilakukan untuk menjawab persoalan-persoalan rakyat agar rakyat bisa diuntungkan dan kehidupan yang adil, sejahtera dan berkelanjutan dapat secara bertahap dinikmati oleh rakyat.


Sumber: Aliansi Rakyat Untuk Jatigede

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item