Hukum Penutupan Perusahaan (lock out) dan Hak Buruh

Hukum Penutupan Perusahaan (lock out) dan Hak Buruh Pertanyaan  Halloo GSBI, Saya Rahma Sumirah, dari Cikarang-Kabupaten Bekasi. Saya buruh ...


Hukum Penutupan Perusahaan (lock out) dan Hak Buruh

Pertanyaan 

Halloo GSBI,
Saya Rahma Sumirah, dari Cikarang-Kabupaten Bekasi. Saya buruh perempuan di perusahaan Tekstil ternama dengan massa kerja 20 tahun. 

Melalui rubik ini saya ingin berkonsultasi, bertanya tentang Hukum dan proses sebenarnya Penutupan Perusahaan (lockout) dan bagaimana dengan hak-hak buruhnya ?

Kasus yang saya alami ini bermula, pihak perusahaan ditempat saya bekerja menyampaikan rencana penutupan perusahaan (mengehentikan produksi) yang akan dilaksanakan secara bertahap, dengan alasan perusahaan mengalami kerugian keuangan selama 2 (dua) tahun berturut-turut (hanya pernyataan sepihak perusahaan yang tidak dibuktikan oleh adanya bukti audit dan putusan pengadilan). Atas putusannya ini perusahaan menawarkan hanya sanggup memberikan kompensasi sebesar 70 % (tujuh puluh persen) dari 1 (satu) kali ketentuan UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 dan buruh diminta untuk menyetujui dan menerima putusan perusahaan ini.

Mayoritas buruh menolak tawaran perusahaan. Belum juga satu bulan sejak perusahaan menyampaikan rencana penutupan perusahaan, dan proses negosiasipun belum selesai. Di tengah proses negosiasi berlangsung, secara sepihak perusahaan mengeluarkan pengumuman menyatakan menghentikan produksi sejak diterbitkannya pengumuman sampai jangka waktu yang belum ditentukan. Dan sejak saat itu, saya beserta semua buruh yang menolak PHK dan kompensasi 70% dari 1 kali kentuan UUK 13 tahun 2003 tidak diperbolehkan masuk area perusahaan. 

Yang anehnya, perusahaan ini tidak benar-benar tutup (menghentikan proses produksinya), dimana bagian Gudang, Accunting, Scurity (Satpam), HRD tetap beroperasi normal dan bahkan beberapa buruh yang telah menerima PHK dengan kompensasi 70%  dari 1 kali dari ketentuan dipekerjakan dengan status buruh kontrak yang bertugas menjaga, merawat dan memanaskan mesin produksi setiap hari. Lebih parah lagi sejak 1 (satu) bulan pasca pernyataan penghentian produksi, perusahaan malah telah beroperasi kembali, memanggil dan mempekerjakan buruh yang telah menerima PHK dengan kompensasi 70% dari 1 kali dari ketentuan dipekerjakan dengan status buruh kontrak dan menerima buruh baru dengan status buruh magang. Sementara saya dan buruh lain yang menolah PHK, tidak dipekerjakan kembali.

Terimakasih ! 


Jawab dan Ulasan Lengkap : 
Terimakasih untuk kiriman pertanyaannya. 
Kasus seperti ini sekarang semakin marak terjadi dan menjadi trend sebagai motif yang banyak dilakukan perusahaan diberbagai tempat. Dengan tujuannya yang macam-macam, namun umumnya adalah untuk mengganti buruh yang berstatus tetap oleh buruh kontrak, outsourcing dan/atau magang serta untuk menghindari pemberian jumlah pesangon dan hak lainnya kepada buruh sesuai aturan hukum.

Apabila dilihat dari sisi pengusaha, dan aturan hukum Ketenagakrjaan, penutupan perusahaan (lock-out) merupakan hak dasar pengusaha untuk menolak pekerja/buruh sebagian atau seluruhnya untuk menjalankan pekerjaan sebagai akibat gagalnya perundingan. Namun, pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock-out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh.  

Pasal 1 angka 24 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mendefinisikan “Penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan pengusaha untuk menolak pekerja/buruh seluruhnya atau sebagian untuk menjalankan pekerjaan”. 

Maka menghentikan proses produksi (lock out) artinya sama dengan menutup perusahaan. 

Namun sekalipun perusahaan mempunyai hak untuk melakukan penghentian produksi (lock out) menutup perusahaan, bukan berarti hak tersebut dapat dilakukan semena-mena, karena ada ketentuan larangan sebagimana di jelaskan dalam UUKetenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 146 ayat (2) “Pengusaha tidak dibenarkan melakukan penutupan perusahaan (lock out) sebagai tindakan balasan sehubungan adanya tuntutan normatif dari pekerja / buruh dan/atau serikat pekerja / serikat buruh”.  ayat (3). Tindakan penutupan perusahaan (lock out) harus dilakukan sesuai dengan hukum yang berlaku.

Penjelasan UUKetenagakerjaan Nomor.13 tahun 2003 Pasal 146  ayat (3) menjelaskan, “Dalam hal penutupan perusahaan (lock out) dilakukan secara tidak sah atau sebagai tindakan balasan terhadap mogok yang sah atas tuntutan normatif, maka pengusaha wajib membayar upah pekerja / buruh”.

Pasal 147 UU Ketenagakerjaan  Nomor 13 tahun 2003 “Penutupan perusahaan (lock out) dilarang dilakukan pada perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan/atau jenis kegiatan yang membahayakan keselamatan jiwa manusia, meliputi rumah sakit, pelayanan jaringan air bersih, pusat pengendali telekomunikasi, pusat penyedia tenaga listrik, pengolahan minyak dan gas bumi serta kereta api”. 

Tindakan penutupan perusahaan (lock-out) harus dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Sebagaimana dijelaskan dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 148 ayat (1), (2) dan( 3). Pengusaha yang akan melakukan penutupan perusahaan wajib memberitahukan secara tertulis kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh, serta instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hari kerja sebelum dilaksanakannya penutupan perusahaan (lock out). Pemberitahuan tersebut harus ditandatangani oleh pengusaha dan/atau pimpinan perusahaan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya memuat :  (1). Waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri penutupan perusahaan (lock out); dan (2). Alasan dan sebab-sebab melakukan penutupan perusahaan (lock out).

Selanjutnya, dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 dalam pasal 149 ayat (1), (2), (3), (4), (5) dan (6) menjelaskan :

Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan yang menerima secara langsung surat pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) harus memberikan tanda bukti penerimaan dengan mencantumkan hari, tanggal dan jam penerimaan surat pemberitahuan. 

Sebelum dan selama penutupan perusahaan (lock out) berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan berwenang langsung menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya penutupan perusahaan (lockout) dengan jalan mempertemukan dan merundingkan permasalahan yang terjadi dengan para pihak yang berselisih. Apabila perundingan di antara pihak yang berselisih menghasilkan kesepakatan, maka harus dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh pihak dan pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan sebagai saksi. Apabila perundingan di antara pihak yang berselisih tidak menghasilkan kesepakatan, maka pegawai dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan segera menyerahkan masalah yang menyebabkan terjadinya penutupan perusahaan (lock out) kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PHI). 

Pemberitahuan penutupan perusahaan (lock out) tidak perlu dilakukan oleh pengusaha apabila :
a) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar prosedur mogok kerja sebagaimana di atur dalam UU Ketenagakerjaan;
b) Pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh melanggar ketentuan normatif yang ditentukan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sedangkan untuk perusahaan yang menyatakan lock out, menutup perusahaan dengan alasan mengalami kerugian perusahaan, berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 164 ayat (1) PHK dapat dilakukan jika perusahaan tutup permanen dan jika perusahaan mengalami kerugian 2 (dua) tahun terus menerus, maka besarnya nilai pesangon yang harus dibayarkan adalah 1 (satu) kali pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak pasal 156 ayat (4). 

Sedangkan untuk klaim bahwa perusahaan mengalami kerugian, harus dibuktikan terlebih dengan hasil audit oleh akuntan publik sesuai pasal 164 ayat (2). Meski demikian proses PHK ini tetap harus melalui mekanisme perundingan dengan pekerja/buruh maupun serikat pekerja/buruh, sebelum nantinya diajukan untuk mendapatkan penetapan dari PHI (Pengadilan Hubungan Industrial).  

Jadi jika perusahan hanya mengatakan sepihak mengalami kerugian berturut-turut selama 2 (dua) namun tidak dibuktikan oleh adanya bukti audit akuntan publik dan putusan pengadilan, berarti perusahaan melangggar ketentuan pasal 164 ayat (2) dan itu bisa saja akal-akalan, alasan yang dibuat-buat untuk mengelabui buruh. Maka jika perusahaan melakukan PHK, besarnya nilai pesangon yang harus dibayarkan kepada buruh adalah 2 (dua) kali pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak pasal 156 ayat (4). 

Kondisi seperti uraian di atas tidak berlaku apabila ketentuan mengenai pesangon akibat penutupan perusahaan yang merugi telah diatur secara khusus dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB). 

Tapi yang harus di ingat adalah UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 151 ayat (1) mengatakan “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh dan pemerintah dengan segala upaya harus mengupayakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja”. 

Artinya segala bentuk PHK harus di hindari dengan segala daya upaya. Sebelum PHK dilakukanharus ada upaya terlebih dahulu yang ditempuh, tidak boleh serta-merta PHK sebagaimana Surat Edaran Kemnaker RI Nomor : SE-907/MEN/PHI-PPHI/X/2004, yang menyatakan: “Apabila dalam hal suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja (PHK) haruslah merupakan upaya terakhir, setelah dilakukan upaya sebagai berikut:

a) Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat Manajer dan Direktur;
b) Mengurangi shift;
c) Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
d) Mengurangi jam kerja;
e) Mengurangi hari kerja;
f) Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
g) Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
h) Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

Membaca kedudukan permasalahan yang disampaikan, perusahaan jelas telah melangggar ketentuan pasal 164 ayat (2) dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatakan sepanjang frasa “perusahaan tutup” tidak dimaknai perusahaan tutup permanen atau perusahaan tutup tidak untuk sementara waktu, perusahaan tidak boleh melakukan PHK Artinya, Mahkamah Konstitusi (MK) mensyaratkan perusahaan boleh mem-PHK buruh jika perusahaan itu benar-benar tutup secara permanen atau tidak sementara waktu.

Dan sangat jelas perusahaan, menghentikan pross produksi, lock out (penutupan) perusahaan dan melakukan PHK untuk mengganti buruh yang berstatus tetap oleh buruh kontrak, outsourcing dan/atau magang serta untuk menghindari pemberian jumlah pesangon dan hak lainnya kepada buruh sesuai aturan hukum.

Demikian jawabannya, semoga cukup jelas dan dapat bermanfaat. []


Keterangan:
Tulisan ini diambil dari Rubrik Konsultasi di Bulletin Suara Independen (SI) Edisi Maret-April 2020.  
Rubrik Konsultasi Bulletin Suara Independen (SI) di asuh oleh Kurbana Yastika Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye Massa DPP. GSBI serta Emelia Yanti MD Siahaan, S.H.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item