Perang Dagang dan Upaya Proteksionisme Presiden Trump

Perang Dagang dan Upaya Proteksionisme  Presiden Trump Saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pertama kali menerapkan tarif impor t...


Perang Dagang dan Upaya Proteksionisme 
Presiden Trump

Saat Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pertama kali menerapkan tarif impor terhadap China pada 2017, negara-negara Asia Tenggara diuntungkan. Saat itu, banyak perusahaan manufaktur berpindah ke Vietnam, Kamboja, dan negara-negara tetangga lainnya.

Strategi yang dikenal sebagai China Plus One ini bertujuan mengurangi ketergantungan pada China sambil mendukung visi Washington menjauhkan diri dari ekonomi China. Namun, kebijakan tarif Trump edisi kedua justru berbalik arah.

Vietnam dan Kamboja dikenakan tarif tinggi, masing-masing sebesar 46% dan 49%. Sementara Indonesia dikenakan 32%, dan Malaysia 24%.

Tulisan ini akan mengulas tentang apa itu Tarif Trump, Perang Dagang dan upaya Proteksionisme Presiden Trump serta dampaknya bagi Indonesia.

Apa itu tarif?
Tarif adalah pajak yang dikenakan pada barang yang dibeli dari negeri lain. Pada umumnya, jumlah pajak yang dikenakan merupakan persentase dari nilai suatu produk. Misalnya, tarif 10 % untuk barang dari sebagian besar negeri berarti suatu produk seharga $10,00, akan dikenakan pajak sebesar $1,00 sehingga total biaya menjadi $11,00

Mengapa Trump melancarkan perang dagang melalui kenaikan tarif?
Trump menganggap kenaikan tarif barang-barang import akan mendorong konsu men Amerika membeli barang-barang bikinan Amerika sendiri. Kenaikan tarif juga dianggap akan meningkatkan pajak yang masuk ke negara dan pada gilirannya ini akan menaikkan investasi di Amerika sendiri.

Trump ingin mengurangi kesenjangan antara nilai barang-barang yang dibeli AS dari negeri lain dan barang-barang yang dijual AS ke negeri-negeri itu. Saat ini AS mengalami defisit perdagangan dengan China. Pada tahun 2024, AS mengimport jauh lebih banyak dari China  ($440 millar) daripada yang diimport Beijing dari Amerika ($145 miliar) (BBC News, 14 April, 2025).

Dalam masa jabatan pertamanya sebagai presiden dari Januari 2017-Januari 2021, Trump sudah memberlakukan kenaikan tarif terhadap barang import dari China. Kebijakan ini dilanjutkan oleh Presiden Joe Biden. Proteksionisme Amerika terhadap China telah mengurangi jumlah barang yang dibeli AS dari China:  21% dari total import Amerika pada tahun 2016 menjadi 13% pada tahun 2024.
Meskipun begitu, toh barang-barang China dari iPhones sampai mainan anak-anak masih mengalir ke AS. Di samping itu menurut beberapa sumber, barang-barang China masuk ke AS melalui negeri-negeri tetangga Asia Tenggara lainnya.

Trump sering sekali berkata bahwa Amerika telah dimanfaatkan oleh “para penipu” dan “dirampok” oleh orang asing. Sudah tentu ini sepenuhnya omong kosong besar. Padahal yang terjadi adalah belanja atau pengeluaran lebih besar dari pada pendapatan. Sederhana saja. Fakta justru menunjukkan AS sebagai penipu dan perampok terbesar di dunia. Bukan itu saja, AS juga penjahat biadab terbesar di dunia melalui perang, blokade dan sangsi ekonomi terhadap negeri-negeri yang tidak mau tunduk pada tongkat komandonya.
 
Mengapa akhirnya terlihat jelas China menjadi sasaran utama Trump dalam perang dagangnya ini?
Banyak negara termasuk Indonesia yang menyatakan akan bernegosiasi terkait masalah kenaikan tarif. Trump menghentikan selama 90 hari kenaikan tarif “balasan” yang dikenakan pada puluhan negeri sehingga masih dipertahankan tarif universal sebesar 10% (perkembangan terakhir, Indonesia dikenakan tarif 47%). Sebaliknya China menyatakan tidak akan menerima dan menyerah pada kenaikan tarif yang dikenakan pada barang-barang export ke AS. Pertempuran dagang balas membalas antara  imperialis AS yang sedang sekarat dengan imperialis China yang sedang berkembang sudah mencapai 125% untuk barang import AS ke China dan 145% untuk barang import China ke AS.

Artinya, kalau kita kembali kepada contoh barang China seharga $10,00, maka harga totalnya untuk masuk pasar Amerika menjadi $24,50!! Siapa akhirnya yang harus menanggung kenaikan harga itu? Masyarakat luas (rakyat) Amerika Serikat sendiri yang harus merogoh sakunya lebih dalam lagi untuk membeli barang-barang import dari China. Dampak yang sama juga menimpa masyarakat China yang membeli barang import Amerika, dari $11,00 menjadi $22,50!

Reform kapitalis Deng Xiao-ping dan globalisme imperialis AS
Setelah klik revisionis Deng Xiao-ping berhasil mengalahkan kaum komunis pendukung garis revolusiooner proletar Mao untuk mengkonsolidasi Sosialisme dan meneruskan revolusi di bawah syarat kediktaturan proletariat, dilancarkan perombakan dan penghancuran terhadap dasar ekonomi dan hubungan pro-duksi sosialis yang telah dibangun oleh rakyat Tiongkok di bawah pimpinan PKT dan Mao.

Perlahan-lahan tapi pasti Deng Xiao-ping memulai reform kapitalisnya melalui berbagai kebijakan seperti membubarkan Komune Rakyat, menghapus hak-hak demokratis kaum buruh yang telah diperdalam dan diperluas sebagai hasil dari Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP), menghapus status kerja tetap buruh dan menggantikannya dengan berbagai macam peraturan yang memudahkan maji-kan untuk memecat buruh.

Bersamaan dengan itu, pintu dibuka lebar-lebar untuk investasi modal asing. Kaum kapitalis yang ketika Revolusi Demokrasi Baru menang lari ke Taiwan dan Hongkong, kembali ke Tiongkok untuk menanam modalnya. Begitu juga kaum kapitalis negeri-negeri Eropa dan AS. 

Globalisasi, sebuah proses mengalirnya modal dan barang dagangan secara bebas dan integrasi ekonomi, pada hakekatnya adalah alat yang digunakan imperialisme untuk mendominasi ekonomi dunia. Dengan kata lain neo-kolonialisme.

Ditinggalkannya kebijakan perkembangan ekonomi  di atas dasar berdiri di atas kaki sendiri oleh rezim revisionis Deng menyediakan tanah subur untuk masuknya globalisme ke Tiongkok. Sejak itulah ekonomi China terintegrasi dalam ekonomi kapitalisme dunia.  Pembangunan Sosialisme telah membangun industri dasar nasional yang solid untuk tinggal landas. Kondisi ini telah memungkinkan investasi modal asing dan tersedianya tenaga kerja murah sebagai akibat dari reform kapitalisnya Deng telah mendorong maju pertumbuhan ekonomi sampai dua digid seperti yang terjadi dari tahun 1983-1985 (10%-16%). Yang harus di ingat adalah angka pertumbuhan itu dicapai antara lain melalui penghisapan kejam terhadap kaum buruh,  mengakibatkan pencemaran air, udara, dan tanah yang serius, dan penyempitan tanah pertanian.

Harapan AS, ketika China sudah dianggap semakin kaya, dengan sendirinya rakyat akan mulai menuntut reform politik yang pada gilirannya akan mendorong China membuka tanpa batas pasarnya dan menjadi masyarakat konsumsi serta lenyapnya kediktaturan yang dipegang oleh kaum revisionis. Namun itu tidak terjadi. China justru berkembang menjadi kekuatan ekonomi imperialis yang menantang dominasi tunggal AS.

Globalisasi telah memberi keuntungan luar biasa kepada para kaum kapitalis monopoli dunia termasuk AS, tapi juga membuat China menjadi pabrik dunia dan membantu melahirkan saingan terbesar serta menghilangkan industri manufaktur Amerika. Industri manufaktur inilah yang ingin dipulihkan oleh kebija- kan tarif Trump: membuat AS jaya kembali, to make United States Great again!

Siapa yang akan memenangkan perang dagang ini?
Barangkali hanya Trumps sendiri serta para pendukung setianya yang berpikir bahwa perang dagang yang ia lancarkan akan dimenangkan oleh AS dan kembalinya industri manufaktur betul-betul dapat diwujudkan dan membuat negara imperialis nomer satu ini (AS) menjadi jaya kembali. Pertanyaan besar lainnya adalah apakah Trump betul-betul akan konsekwen meninggalkan free-trade/ globalisasi dan menerapkan proteksionisme?

Di China, berbagai macam propaganda termasuk ketokohan Mao diangkat dan digunakan untuk terus mendorong nasionalisme  yang ditujukan supaya warga lebih suka membeli produk buatan dalam negeri sendiri dan mencampakkan produk import dari AS.

Memanfaatkan Artificial Inteligence (AI), di medsos ramai beredar video yang menggambarkan bagaimana orang Amerika bekerja di sweatshop (artinya pabrik atau bengkel di mana buruh bekerja dengan upah sangat rendah, jam kerja panjang,kondisi kerja buruk dan diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi) seperti yang dialami buruh murah China di pabrik-pabrik tekstil dan iphone. Itu lah karikatur kembalinya industri manufaktur ke AS. Pertanyaannya siapkah dan bersediakah orang Amerika bekerja dan menerima perlakuan seperti yang dialami buruh murah China di bawah rezim kapitalis Deng dan para penerusnya?

Hambatan lain yang membuat tidak realistisnya memindahkan industri manufaktur China ke Amerika adalah kenyataan: data bulan Maret 2025 menunjuk- kan kurang dari 13 juta buruh Amerika bekerja di sektor manufaktur, 7 juta yang menganggur. Sementara di China, sektor manufaktur dikerjakan oleh 100 juta buruh dengan upah rendah, dan kondisi kerja buruk. Itulah sebabnya produk manufaktur China relatif murah! Apakah Amerika akan bisa menjamin harga murah dari produk manufakturnya seperti China?

Di kalangan buruh China sendiri, sekarang ini semakin banyak buruh yang tidak mau lagi bekerja di sektor manufaktur. Terjadi perpindahan Industri manufaktur China ke Vietnam dan negeri-negeri di Afrika termasuk ke Indonesia. Ironis sekali  Amerika juga meng-inginkan pindahnya industri manufaktur China ke negerinya.

Meskipun aliran produk China yang di impor AS menurun, tapi masih ada produk China yang belum bisa atau hampir tidak mungkin dihilangkan dari pasar AS. Misalnya, produk metal dan elektronik yang tidak dapat dihindari kehadiran nya bagi industri manufaktur dan energi Amerika. China menduduki tempat pertama di dunia sebagai produktor smartphone. Paling tidak 50% dari pemprosesan global untuk litium, nikel, kobalt dan mangan, yang dibutuhkan untuk pem-buatan baterai dan barang elektronik lainnya dikuasai oleh China. Kalau China membatasi eksportnya, maka harga baterai akan melonjak dan pada gilirannya akan meningkat pula biaya kendaraan listrik.

China juga bergantung pada import Amerika, misalnya kacang kedelai, gandum dan frozen pig organ (organ babi beku). Jelaslah terganggunya hubungan export dan import antara kedua negeri ini sangat merugikan produktor AS dan konsumen China. Begitu juga sebaliknya. Tidak heran kalau Xi Jin-ping cepat-cepat mengunjungi Vietnam, Kamboja dan Malaysia untuk meningkatkan kerja sama dan bersama-sama menghadapi perang dagang Amerika.

Chinakah yang akan memenangkan perang dagang ini?
Banyak sekali orang  kagum dengan pembangunan infrastruktur raksasa yang menjulang tinggi, pusat-pusat perbelanjaan dan gedung-gedung perumahan mewah dan megah di China. Mereka menganggapnya sebagai keberhasilan “sosialisme dengan karakteristik China”. Orang lupa pada kaum buruh bangunan yang dikembalikan statusnya menjadi barang dagangan murah dan tidak tahu bahwa semua itu dibiayai oleh utang! China membangun lebih banyak dari pada yang dibutuhkan! Orang bilang China masih belum bebas dari “debt hang over”(mabuk utang)

Sampai sekarang China masih menderita akibat dari “property buble burst” tahun 2020. Total terdapat 79 juta units yang tak terjual dan kosong. Dari 79 juta unit, ada 54 juta yang terjual tapi kosong. 21 juta unit yang tak selesai dibangun dan tak terjual, 4 juta units yang selesai dibangun tapi tak terjual. Krisis properti sejak tahun 2021 telah menghancurkan sekitar $18 triliun kekayaan rumah tangga warga (menurut perkiraan Barcklays: bank multinasional).

Diberitakan juga China menderita deflation: artinya harga barang-barang konsumsi dan layanan turun. Deflasi memang menguntungkan pembeli. Tapi negatif bagi mereka yang punya utang, karena harus bayar utangnya dengan uang yang mempunyai nilai lebih tinggi dari pada ketika mereka melakukan transaksi utang itu. Dan ini juga berarti ekonomi menurun.

Angka kelahiran di China sekarang termasuk paling rendah di dunia. Artinya penduduk semakin tua maka penduduk usia kerja mulai menurun. Dampaknya pertumbuhan ekonomi juga menurun.

Pertanyaannya adalah seberapa jauh masalah dan kelemahan yang dihadapi China itu dapat diatasi sehingga memungkinkan China untuk berkembang menjadi kekuatan ekonomi pertama di dunia?

Dampak perang dagang untuk Indonesia
Krisis ekonomi permanen yang menjadi salah satu sifat hakiki dari negeri setengah jajahan setengah feodal (SJSF) sudah pasti akan semakin dibikin lebih parah lagi oleh perang dagang ini.

PHK puluhan ribu buruh di ambang bulan puasa dan konsumsi yang menurun di hari-hari lebaran yang baru lalu dengan nyata menunjukkan semakin gawat nya situasi ekonomi dan kehidupan kelas menengah kebawah.

Praktek telah membuktikan free trade/globalisasi adalah alat imperialis untuk mendominasi dan mematikan ekonomi nasional negeri-negeri setengah jajahan setengah feodal seperti Indonesia yang bergantung pada import dan eksport. AS saja sekarang mempraktekkan proteksionisme. Kalau pemerintah Indonesia masih tetap meneruskan free-trade dengan membuka pintu lebar-lebar bagi aliran produk yang tertutup pasarnya di AS, tak ada kata lain kecuali itu sebuah tindakan untuk membunuh para produktor dalam negeri sendiri.

Indonesia dan Dunia “gelap” adalah satu-satunya solusi yang ditawarkan kaum oligarki, kelas tuan tanah besar, kaum borjuis besar komprador dan kaum kapitalis monopoli serta imperialis dunia yang dipimpin AS.

Adakah jalan keluar lain kecuali mendorong terlaksananya reform agraria sejati sebagai syarat pokok untuk membangun industri nasional yang harus dilindungi melalui kebijakan proteksionisme??

Adakah jalan keluar lain bagi massa rakyat pekerja Indonesia selain mendidik dan memberdayakan serta mempersenjatai dirinya sendiri dengan ilmu yang telah dibuktikan ampuh untuk membimbing perjuangan panjang memenangkan hari depan yang cerah bagi generasi anak cucu kita, yaitu terwujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? [T.L.]

ND.21 April 2025

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item