Membungkam Suara Lantang di Istana

International Migrant Day 20008//SP/Ruht Semiono Buruh bernegosiasi dengan polisi yang ingin merebut mobil pengeras suara saat berunjuk rasa...


International Migrant Day 20008//SP/Ruht Semiono

Buruh bernegosiasi dengan polisi yang ingin merebut mobil pengeras suara saat berunjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia, Kamis (18/12). Para buruh tertahan dan tidak bisa melanjutkan aksi menuju istana menggunakan pengeras suara.

Dilarang berdemo dengan pengeras suara! Barangkali begitu perintah presiden kepada kapolri. Alhasil, aksi demo ratusan buruh migran hampir tak terdengar meskipun digelar di depan Istana Negara, baru-baru ini. Seperti biasa terjadi, para buruh seolah “baru diperbolehkan” menjerit saat disiksa majikan.

Siang itu, tarian reog dan kuda lumping terlihat ramai dan menarik di antara sekian bangunan pencakar langit di bundaran Hotel Indonesia Jakarta. Di sekitar atraksi budaya ini, ratusan demonstran terus-menerus berteriak dan berorasi meluapkan kesesakan di dada.

Remitansi Rp 167 triliun sejak tahun 2003 seolah tidak bisa meluluhkan hati pemerintah untuk memberi perlindungan maksimal bagi buruh migran. Pemerintah hanya mau mengambil gulanya saja. Bahkan, mereka yang berjuang untuk menyuarakan aspirasi saudara-saudarinya yang tidak bisa bersuara dilarang tanpa alasan yang jelas. Aksi solidaritas dalam rangka memperingati Hari Buruh Migran Sedunia disabotase. Suara lantang dan jeritan buruh migran dibungkam satuan polisi dari Polres Metro Jakarta Pusat.

Mobil kijang pikaup biru bernomor polisi B 9055 VC yang memuat 1 generator, 6 box loudspeaker, 2 TOA, 1 amplifier dan 1 Mixer dihadang sekelompok polisi. Tidak ada yang boleh melintas ke Istana dengan pengeras suara.
Setelah mobil pertama dihadang, massa kemudian memindahkan peralatan pengeras suara ke mobil kedua, Suzuki Carry 1.0 hitam bernomor polisi F 8915 R. Mobil ini juga dicegat.

Sekelompok polisi dengan beberapa mobil pengendali massa membuat kerumunan massa tersudut. Tiga mobil polisi dengan kerangkeng bernomor polisi 71141-VII, 71143-VII, 71228-VII dan sebuah truk Isuzu 120 ps 71234-VII serta beberapa sedan polisi menutupi jalan yang akan dilalui demonstran.

Massa yang membawa sapi buatan simbol buruh yang terus diperah pemerintah tidak bisa melewati hadangan tersebut. Bahkan, sempat terjadi aksi saling dorong antarpolisi dan massa. Alasan penghadangan dan sabotase ini menurut pihak kepolisian seperti yang dituturkan Benhard Nababan, advokat Migrant Care adalah pelanggaran terhadap UU No 9/1999 tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

“Kami sudah memenuhi semua persyaratan yang tertera dalam UU tersebut. Namun, mengapa kami dilarang dengan cara seperti ini? Mengapa kami didiskriminasi?” tanya Benhard.
Tiga hari lalu massa dari Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia menggelar aksi di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengusung begitu banyak pengeras suara. Kelompok ini tidak dilarang polisi.

Bernard juga mengatakan bahwa pihak kepolisian yang dipimpin Komisaris Edy Purbo beberapa kali berupaya menghadang, mengintimidasi, membentak, dan merebut kunci kendaraan yang berisi pengeras suara.

“Polisi sangat tidak profesional dan pemerintah yang berada di balik polisi-polisi ini sangat tidak demokratis. Kenapa perlakuan ini hanya ada di Indonesia, sedangkan PBB sendiri sangat menghargai nasib buruh migran,” imbuh mantan majelis wilayah PBHI Sumatera Utara.

Tentang pelarangan ini dan genealogi UU No 9/1999, pengamat hukum dari Universitas Atma Jaya, Daniel Yusmic mengatakan bahwa ada batas-batas yang harus diperhatikan dalam pelarangan. Konteks pascareformasi 1998 jelas berbeda dengan situasi 2008. UU ini lahir melalui Perpu yang berisi subjektivitas pemerintah dengan syarat kegentingan yang memaksa dan situasi darurat. UU ini sangat tidak cocok kalau mendapat penekanan utama pada masa sekarang, apalagi sampai mengesampingkan Pasal 28 UUD 1945.
“Kalau pemerintah tidak berani untuk mengamandemen atau mencabut UU No 9/1999, berarti pemerintah ingin terus menjadikan UU tersebut sebagai alat kekuasaan. UU ini lahir tiga hari sebelum peringatan tragedi 27 Juli dan tidak melalui sebuah dialektika yang bisa mengakomodasi aspirasi masyarakat,” lanjut Yusmic.

Masyarakat sebenarnya hanya ingin menggelar aksi solidaritas secara damai dan simpatik, bahkan dengan warna seni dan budaya yang kental. Demikian juga para buruh migran yang berharap bisa membuka mata pemerintah untuk memperhatikan nasib tenaga kerja Indonesia yang memungut devisa di negeri orang. Tapi jika hak asasi buruh masih ditindas dan teraniaya, dengan pengeras suara atau tidak, jeritan mereka akan terus menggema dan menyayat telinga. [Ermalindus Sonbay]

---------------

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item