TKI, Urat Nadi yang Diabaikan

Rabu, 30 Desember 2009 | 09:15 WIB Oleh : Hamzirwan Lilies (34), tenaga kerja Indonesia asal Jatimakmur, Brebes, Jawa Tengah, mengipasi bayi...

Rabu, 30 Desember 2009 | 09:15 WIB

Oleh : Hamzirwan

Lilies (34), tenaga kerja Indonesia asal Jatimakmur, Brebes, Jawa Tengah, mengipasi bayinya di ruang tunggu khusus TKI di Terminal 2 Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, beberapa waktu lalu. Lilies adalah bagian dari 406 TKI bermasalah dari Kuwait dan Jeddah, Arab Saudi, yang dipulangkan pemerintah ke Tanah Air. Sekitar 6 juta TKI menyumbang devisa sekitar Rp 82 triliun per tahun.


KOMPAS.com — Awalnya keberangkatan tenaga kerja Indonesia besar-besaran ke luar negeri pascakrisis Asia hanya untuk sementara. Kini, pemerintah menjadikan pengiriman TKI sebagai salah satu program permanen mengatasi pengangguran domestik. Jerih payah 6 juta TKI di luar negeri yang menghasilkan devisa Rp 82 triliun tahun 2008 membuat pemerintah mengelu-elukan mereka.

Namun, perjuangan mereka meraup devisa ternyata belum sebanding dengan perhatian pemerintah. Migrant CARE, organisasi nonpemerintah yang aktif membela hak buruh migran Indonesia, mencatat ada 1.018 TKI yang tewas di negara penempatan. Sebagian mendapat pembelaan hukum dari pemerintah, tetapi ada juga yang luput.

Penderitaan Siti Hajar (33), TKI asal Garut, Jawa Barat, yang dianiaya majikan termasuk disiram air panas di Selangor, Malaysia, terungkap awal Juni 2009 karena korban kabur dan melapor ke KBRI di Kuala Lumpur. Kasus ini berlanjut ke pengadilan dengan majikan Siti Hajar sebagai terdakwa.

Namun, berbeda yang dialami Sumasri. TKI asal Blitar, Jawa Timur, ini dipulangkan dalam kondisi depresi akibat penganiayaan. Sekujur tubuh Sumasri, yang selama dua tahun terakhir bekerja kepada Atung di Puchong, Selangor, penuh bekas luka pukulan dan siraman air panas sehingga menjadi koloid.

Pemulangan Sumasri tidak melalui proses resmi TKI bermasalah. Sesampai di terminal IV Selapajang, Banten, Sumasri malah langsung dipulangkan ke Blitar menggunakan angkutan khusus TKI. Kasus ini terungkap setelah keluarga korban meminta advokasi Migrant CARE.

Kedua kasus ini contoh betapa TKI masih saja mengalami perlakuan tidak manusiawi. Walau jumlah mereka tidak sebanding dengan TKI yang sukses di luar negeri, tetap saja penganiayaan buruh migran Indonesia tak boleh dianggap sebagai statistik biasa. Mereka tetap manusia yang mutlak berhak mendapatkan perlindungan negara.

Dari enam juta TKI, Malaysia dan Arab Saudi merupakan negara tujuan utama. Sekitar 2,2 juta TKI di Malaysia dan 1 juta di antaranya tidak berdokumen. Di Arab Saudi, ada 800.000 TKI dan sebagian besar sebagai pembantu rumah tangga dan sopir. Iming-iming gaji tinggi, tekad memperbaiki nasib membuat ratusan ribu orang dari desa-desa miskin ke luar negeri. Ada yang menempuh jalur resmi, banyak juga yang tidak.

Sebagian besar calon TKI ternyata berpendidikan rendah. Banyak juga yang tidak lulus sekolah dasar. Persoalan semakin rumit saat calon-calon TKI tersebut tidak mengikuti program pelatihan minimal 200 jam untuk mendapatkan sertifikat kompetensi kerja sebagai syarat mendapat paspor dan izin pemberangkatan ke luar negeri.

Praktik korup telah membuat mafia sertifikat kompetensi kerja dan kesehatan asli, tetapi palsu (karena penerima tidak mengikuti prosedur) bebas berkeliaran. Mereka menawarkan sertifikat aspal seharga Rp 700.000 per orang. Lebih murah dibanding Rp 1,1 juta per orang untuk pelatihan minimal 200 jam hingga mendapat sertifikat.

Dengan memakai sertifikat aspal membuat TKI sengsara. Mereka dipukuli karena ternyata tidak bisa mengoperasikan mesin cuci atau setrika. Walau penganiayaan tetap tidak bisa diterima, majikan kerap kecewa mendapat pembantu rumah tangga tidak kompeten walau telah membayar mahal kepada agen penyalur.

Pemerintah harus menumpas perdagangan sertifikat aspal tersebut. Tidak hanya mencabut izin balai latihan kerja luar negeri dan lembaga sertifikasi profesi yang terlibat, pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) pembeli sertifikat aspal juga harus dicabut izin dan diajukan ke pengadilan. Mereka telah berniat mencelakakan orang lain.

Pemerintah dan aparat penegak hukum harus menekan jumlah TKI bermasalah dengan memperbaiki kebobrokan di dalam negeri. Sistem perekrutan yang selama ini mengandalkan sponsor sebagai perpanjangan tangan PPTKIS (walau bukan karyawan tetap PPTKIS tersebut) harus dihapus.

Pemerintah harus paham, keberadaan TKI ibarat urat nadi yang menggerakkan perekonomian riil di pedesaan. Mereka membangun rumah, membeli sawah dan ternak, serta membuka usaha kecil yang menyerap tenaga kerja. Tidak ada alasan bagi pemerintah pusat untuk tidak mau memperbaiki pelayanan TKI hingga ke daerah.

Pemerintah daerah, hingga ke level terendah seperti kelurahan/desa, harus mampu menyediakan data lengkap kualifikasi tenaga kerja di wilayahnya. Data ini selalu diperbarui setiap tiga bulan dan disimpan di dinas ketenagakerjaan kabupaten/kota. PPTKIS yang mendapatkan lowongan kerja di luar negeri (job order) akan langsung datang ke kabupaten/kota untuk mencari pekerja sesuai kebutuhan.

Proses ini akan lebih efektif dan efisien bagi PPTKIS dan pencari kerja karena tidak membutuhkan biaya tambahan untuk membayar operasional sponsor. Proses ini secara tak langsung akan membuat pemerintah daerah memiliki pusat data warga yang bekerja ke luar negeri. Hal ini memudahkan pemantauan masa kerja, keselamatan kerja, dan kesejahteraan.

Sudah saatnya pemerintah mengubah paradigma pelayanan penempatan dan perlindungan TKI dari pusat ke daerah. Keterlibatan pemerintah daerah dalam mengurusi penempatan TKI tentu akan membuat mereka lebih sadar akan peranan TKI mengalirkan dana segar.


Sumber : Kompas Cetak

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item