Membaca Regulasi Politik Upah Murah di Indonesia

Membaca Regulasi Politik Upah Murah di Indonesia Oleh : Ismet Innoni (Kepala Dept. Hukum&Advokasi DPP.GSBI) Jargon Kebutuhan Fisik M...


Membaca Regulasi Politik Upah Murah di Indonesia
Oleh : Ismet Innoni
(Kepala Dept. Hukum&Advokasi DPP.GSBI)

Jargon Kebutuhan Fisik Minimum hingga Kebutuhan Hidup Layak
Membicarakan tentang upah tentu kita akan masuk pada persoalan perjuangan panjang serikat buruh Indonesia, yang memakan banyak waktu dan pikiran berserta tenaga meskipun sesungguhnya dasar pijakan pengupahan di Indonesia terus berkembang dari waktu-kewaktu dari istilah penentuan upah berdasarkan kebutuhan fisik minumum (KFM), kebutuhan hidup minimum (KHM) hingga penentuan upah berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL) sebagaimana undang-undang No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 88 dan pasal 89 dan Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak.

Untuk memahami tentang penetapan upah di Indonesia dapat kita telusuri di dalam perkembangan dasar penentuan upah yang bisa dilihat dari istilahnya, dari situ saja sudah sangat jelas bahwa penentuan upah di Indonesia adalah semangat dari politik upah murah yang sangat menempatkan upah sebagai kebijakan yang murah. Hal ini dapat dilihat dan nyata dari semangatnya yaitu upah berdasarkan kebutuhan fisik minimum (KFM) dan upah berdasarkan kebutuhan hidup minimum (KHM) artinya bahwa buruh Indonesia hanya diperbolehkan hidup minimum untuk mempertahankan kehidupannya agar bisa berproduksi, meskipun perkembangan berikutnya dasar penentuan upah ini menjadi kebutuhan hidup layak (KHL) tetapi pertanyaannya apakah kemudian dapat serta merta memberikan perubahan mendasar dari sistem kebijakan pengupahan di Indonesia dalam meningkatkan kesejahteraan buruh, tentu hal ini sangat menarik untuk kita diskusikan secara lebih mendalam, mengingat hingga hari ini faktanya hampir setiap tahun kita semua (baca serikat buruh/pekerja) selalu dihadapkan pada persoalan penentuan upah di Indonesia yang berdebat dan berame-rame unjukrasa mengusung upah yang adil, upah yang layak, upah 100% KHL tapi pemerintah tetap saja tak bergeming dengan sikap politiknya upah yang murah, dan penetapan UMK/P jauh dari 100%KHL.

Jadi kalau kita telisik lebih dalam meskipun sudah berdasarkan KHL dalam penetapan upah, namun secara kualitas tidak mengalami perubahan, dan hal itu sama sekali tidak membawa perubahan terhadap peningkatan atau perbaikan kesejahteraan kaum buruh. Ini karena perubahan tersebut tidak menyentuh substansi, tetapi hanya bersifat formal. Hanya sekedar berubah nama saja. Upah buruh tetaplah murah. Itu semua terjadi karena rezim yang berkuasa dari dulu hingga sekarang adalah rezim politik upah murah. Perubahan kebijakan di tataran regulasi hanya untuk memperhalus praktek politik upah murah di Indonesia.

Fakta lainya adalah meskipun upah telah ditentukan oleh pemerintah dalam hal ini oleh Gubernur tetapi modus penolakan upah terus berkembang dari waktu-kewaktu dari cara-cara yang legal dengan mengajukan penangguhan upah sebagaimana dengan Peraturan Menteri Tenagakerja No. 1 tahun 1999 tentang penangguhan pelaksanaan upah yang dilakukan oleh pengusaha sampai pada pengingkaran dengan sangat terang dipabrik-pabrik dimana para pengusaha tidak melaksanakan pembayaran upah berdasarkan ketentuan yang telah ditentukan oleh Gubernur tiap-tiap Propinsi dengan berbagai alasan yang dibuat-buat, fakta lain lagi adalah tidak berjalanya aparat pemerintah dalam menjalankan fungsinya (pengawasan) diberbagai daerah dan tempat dalam memastikan bahwa pengusaha menjalankan kebijakan pengupahan yang telah ditetapkan oleh pemerintah disisi lain. Tahun 2010 misalnya terjadi peningkatan yang luar biasa besar terhadap penangguhan pelaksanaan upah yang dilakukan oleh pengusaha. Seperti  di Jawa Barat misalkan ada 40 perusahaan di Jawa Tengah ada 33 perusahaan dan masih banyak di daerah2 lainnya.

Walaupun faktanya sering kita temui bahwa alasan untuk mengajukan penangguhan pelaksanaan upah perusahaan tersebut penuh dengan kebohongan dan manipulasi, hal ini sebagaimana yang terjadi di perusahaan (PT LP) yang memprodukasi pakaian dalam perempuan yang lokasi di Gunung Putri Kabupaten Bogor pada pelaksanaan upah tahun 2010 lalu, perusahaan ini mengajukan penangguhan pelaksanan upah namun salah satu syarat dari lima persyaratan dalam Permennaker  no 1 tahun 1999 tentang penangguhan upah sebagimana berbunyi :”bahwa perusahaan bisa menangguhkan pelaksanaan upah adalah harus ada persetujuan dari serikat buruh/serikat.” pekerja (Permenaker No. 1 Tahun 1999)  tidak terpenuhi karena serikat buruh diperusahaan tersebut tidak menyetujui adanya penangguhan upah di tahun 2010 ini, namun penangguhan upah 2010 tetap saja berjalan, dan malah justru para pimpinan serikat buruh di perusahaan tersebut ditekan, diancam dan diputuskan hubungan kerjanya.

System Pengupahan di Indonesia Adalah Retorika Kesejahteraan.

Secara umum dasar pengupahan di Indonesia adalah Undang-undang No. 13 Tahun 2003 yang terdapat dalam pasal 88 dan pasal 89 serta Peraturan Menteri Tenagakerja No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak dan dijadikan landasan dalam menentukan upah. Untuk membongkar dimana letak retorika dan manipulasi penguasa dalam sistem pengupahan di Indonesia mari kita cermati kenyataan atas manipulasi tersebut. 

Dalam sistem pengupahan yang digariskan oleh kebijakan dari sistem pengupahan tersebut diatas bahwa perhitungan atas upah di Indonesia adalah standar kebutuhan hidup untuk kebutuhan hidup lajang, meskipun sudah ditentukan untuk kebutuhan hidup lajang masih terus dimanipulasi pada pelaksanaan teknis dalam penentuan upah.

Lebih lanjut pemerintah memang dengan sangat terang melakukan kampanye politik upah murah melalui kebijakan ini hal ini dapat dilihat pada daftar barang dan jasa yang menjadi panduan survei untuk menentukan upah yang diatur dalam lampiran Permen No. 17 tahun 2005 tentang Komponen dan pelaksanaan tahapan pencapaian kebutuhan hidup layak. Meskipun dalam Permen 17 tahun 2005 ini terdapat perbedaan dari peraturan sebelumnya dengan adanya penambahan yang diatur dalam peraturan sebelumnya dari 43 komponen menjadi 46 komponen ini artinya ada 3 (tiga) komponen yang ditambahkan. Tapi salah satu hal yang tidak pernah berubah adalah standar barang dan jasanya tidak pernah berubah kualitasnya sehingga peraturan ini dengan sangat jelas mengatakan bahwa buruh Indonesia, tidak boleh berkeluarga, buruh Indonesia tidak boleh tinggal ditempat yang lebih baik dan buruh di Indonesia juga tidak boleh memiliki rumah dan lain sebagainya semua barang dan jasa yang menjadi dasar perhitungan adalah barang dan jasa kelas 3 atau dalam lampiran tersebut disebutkan kualitas sedang satu kata yang sangat sumir tentunya meskipun barang yang diproduksi buruh Indonesia adalah barang dan jasa  kelas 1.

Kampanye Politik Upah Murah Masih Menjadi Komoditas Bagi Penguasa.

Kampanye politik upah murah ini terus berlanjut sebagaimana slogan rejim SBY-Boediono LANJUTKAN!! Mengapa demikian saya kira makin terang bagi kita dimana rejim hari ini terus berperan aktif melakukan kampanye politik upah murah sebagaimana kita rasakan beberapa waktu lalu, rejim SBY telah mengeluarkan kebijakan yang berhubungan dengan sistem pengupahan di Indonesia sebagaimana tercermin dalam kebijakan keputusan bersama (SKB) 4 Menteri dalam menyikapi dan menanggulangi dampak krisis global dan guna mempermudah investasi di Indonesia kembali buruh Indonesia yang dikorbankan dimana dalam keputusan (SKB) 4 menteri tersebut menentukan bahwa upah buruh buruh di Indonesia tidak boleh melebihi angka pertumbuhan ekonomi Indonesia tentu hal ini membuat berang semua buruh Indonesia dan pada akhirnya pasal yang mengatur bahwa kenaikan upah tidak boleh melebihi dari angka pertumbuhan ekonomi ini berhasil ditolak dan terpaksa diubah oleh rejim SBY melalui tekanan para buruh, namun sekali lagi tetap saja penguasa negeri ini tetap tidak kehilangan cara bagaimana agar upah buruh Indonesia tetap saja kecil dan murah dengan menentukan bahwa kenaikan upah di Indonesia tidak boleh melebihi angka inflasi.  

Dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, upah tenaga kerja Indonesia paling murah. Kondisi ini dimanfaatkan pemerintah untuk mengundang investasi-investasi negara asing masuk ke dalam negeri. Hal tersebut juga diakui Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Gita Wirjawan yang mengatakan dunia internasional sudah mengakui murahnya ongkos tenaga kerja Indonesia dibanding negara-negara lain di Asia. BPS sendiri mengakui upah rill buruh Indonesia sesungguhnya hanya 40%—60% dari upah nominal yang diterima. Maka tak heran jika upah buruh Indonesia tercatat sebagai salah satu yang terendah dari daftar 10 negara dengan upah buruh terendah di dunia.

Politik upah murah secara resmi dan menyolok digunakan oleh BKPM untuk mengundang investasi. Dalam promosinya yang bertajuk Invest in Remarkable Indonesia, upah buruh yang murah dijadikan daya tarik. Mengutip Economic Intelligence Unit, brosur BKPM mencantumkan upah buruh Indonesia yang hanya USD 0.6 per jam dibandingkan dengan India (1.03), Filipina (1.04), Thailand (1.63), Cina (2.11) dan Malaysia (2.88). Menyertai angka-angka tersebut brosur promosi itu mencantumkan ‘labor cost is relatively low, even as compared to investment magnets China and India’.

Upaya BKPM menarik investasi asing dengan menonjolkan murahnya upah buruh di Indonesia mengingatkan kembali  pada kebijakan pemerintah di masa Orde Baru dengan politik upah murahnya dan sekaligus menunjukkan kemunduran arah kebijakan. Upaya ini juga memperlihatkan kesenjangan pemahaman pemerintah terhadap perubahan tuntutan perusahaan dalam kompetisi global. Dalam kompetisi global,  investor menuntut ketepatan waktu dan mutu kerja yang tinggi serta pelayanan birokrasi yang efisien. Para pengusaha tekstil dan garmen Indonesia yang telah melihat perkembangan industri di Vietnam dan Cina menyatakan bahwa keterampilan dan mutu hasil kerja buruh Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan buruh di kedua negara tersebut dan menyatakan bahwa sesungguhnya apabila biaya birokrasi dan berbagai pungutan dapat dihapuskan, upah minimum yang ditingkatkan dua kali lipat sekalipun dapat diberikan.

Sekali lagi makin terang bagi kita bahwa rejim SBY tidak memperbolehkan buruh Indonesia hidup dengan layak maka upah lagi-lagi menjadi retorika tetapi  kenyataanya adalah hanya ilusi semata.

Dewan Pengupahan alat Konspirasi untuk Politik Upah Murah

Keberadaan dan wewenang dewan pengupahan sebagaimana diatur dalam Kepres Republik Indonesia No.107 tahun 2004 tentang dewan pengupahan, jika kita membaca dengan teliti peraturan yang berkaitan dengan sistem pengupahan sebagaimana Kepres tersebut diatas seolah Kepres tersebut sangat demokratik tetapi dewan pengupahan ini sesungguhnya tidak memiliki daya tawar apapun khususnya wakil dari buruh karena seringkali kolaborasi antara pengusaha dan perwakilan pemerintah bergitu kental, maka makin terang bagi kita tentang adanya konspirasi dibalik penetapan upah di lembaga yang bernama Dewan Pengupahan ini, selanjutnya meskipun komposisi dari Dewan pengupahan adalah terdiri dari tiga pihak atau yang biasa disebut tripartite yaitu perwakilan dari Buruh, Pengusaha dan Pemerintah tetapi tetap saja yang paling menentukan didalam penentuan upah adalah Kepala daerah seperti Bupati untuk ditingkat Kabupaten, Wali Kota untuk Kota Madya dan Gubernur pada Tingkat Propinsi, sedangkan kedudukan dewan pengupahan hanya bersifat usulan berdasarkan hasil survei yang syarat manipulasi. Sementara wewenang untuk menentukan upah tetap menjadi hak Gubernur Propinsi. Kemudian penentuan upah ini juga hanya menggunakan dasar hasil survei pasar padahal tersedia banyak metode dalam penentuan upah seperti survei kebutuhan buruh dimana hingga hari ini belum juga dilakukan.

Sebagai bahan perbandingan berikut saya kutif hasil penelitian yang dilakukan oleh AK3 dengan beberapa serikat buruh oktober 2009 lalu, 74,3 % rata-rata pengeluaran riil dan UMK hanya mampu memenuhi 62, 4 % rata-rata pengeluaran riil buruh. Lebih lanjut dalam penelitian AK3 tersebut ditemukan bahwa nilai rata-rata nasional kebutuhan hidup layak untuk buruh Indonesia yang menanggung dirinya sendiri (lajang) adalah Rp. 2.551.460,- selanjutnya masih dalam hasil penelitian tersebut dikatakan bahwa rata-rata nasional kebutuhan hidup layak Rp. 4.066.433,- coba  bandingkan dengan upah yang berlaku di DKI Jakarta tahun 2011ini yang hanya Rp. 1.290.000,- dan inipun masih jauh dibawah hasil survei yang di usulkan oleh dewan pengupahan DKI Jakarta yang sebesar Rp. 1.401.829 (satu juta empat ratus satu ribu delapan ratus dua puluh sembilan ribu rupiah), maka sekali lagi dimana letak dan peranan dewan pengupahan DKI Jakarta dalam hal ini.

Dari paparan diatas menjadi terang bahwa jika kita berharap perbaikan upah yang layak pada regulasi dan seluruh perangkat yang manipulatif yang dibuat dan dipertahankan oleh rejim sebelumnya hingga rejim SBY-Boediono hari ini adalah satu kesalahan yang harus dibayar mahal kelas buruh Indonesia. Maka menjadi suatu hal yang sangat tepat saat-saat ini bagi gerakan serikat buruh Indonesia untuk mengkaji ulang sistem pengupahan di Indonesia termasuk regulasi-regulasinyan karena belum memberikan kontribusi berarti pada kesejahteraan kaum buruh. Kesenjangan upah antara buruh dan majikan masih sangat tinggi dan jauh, sehingga buruh tepat miskin dan pengusaha semakin kaya raya. Upah buruh Indonesia masih upah murah. Dan tak kalah penting adalah bagaimana merumuskan perjuangan pemenuhan atas hak upah tersebut, mengingat dari upah yang minim yang sudah ditetapkan masih sering banyak di langgar oleh pihak perusahaan.

Sebenarnya, kalangan  dunia usaha dapat memelopori  usaha-usaha memajukan  kehidupan  kaum  buruh  (para  pekerjanya). Mereka  sangat  berkepentingan  karena  jika kesejahteraan  buruh  itu  meningkat  (hak-haknya dipenuhi) upahnya sangat baik dna layak  dan  iklim  kerjasama  win-win  (menang-menang)  dapat  diciptakan  maka  produktivitas  buruh dapat  di tingkatkan.   Peningkatan  ini  akan memberikan kontribusi   yang  besar  bagi   kemajuan  perusahaan. Namun  sayangnya,  pihak-pihak  yang  paling diuntungkan  oleh  pembangunan  ini   tidak  berpikir demikian.  Karena Wajah  industrialisasi   dan  liberalisasi   ekonomi   yang  selama  ini   terkesan  mengagumkan  ternyata  juga menyimpan  sisi   lain  yang  mengerikan.  Apa  yang kemudian  tampak  adalah:  manusia-manusia  yang saling bersaing dan berusaha mengeksploitasi  manusia lainnya untuk kemakmuran dirinya sendiri.##


Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item