Membongkar Politik Upah Minimum

“ meskipun angka nominal upah minimum klas buruh setiap tahunnya terlihat seakan-akan naik, namun pada hakikatnya Upah Riil klas buruh p...


“ meskipun angka nominal upah minimum klas buruh setiap tahunnya terlihat seakan-akan naik, namun pada hakikatnya Upah Riil klas buruh pada kenyataannya malah menurun”.

Pendahuluan
Setiap penghujung tahun, tuntutan atas kenaikan upah senantiasa menjadi isu yang paling mengemuka ditengah-tengah klas buruh Indonesia. Sebab, pada periode waktu itulah kenaikan angka nominal Upah Minimum yang berlaku untuk tahun berikutnya bagi tiap-tiap wilayah akan ditetapkan oleh pemerintah. Tetapi, setiap tahun itu jugalah harapan klas buruh untuk dapat sedikit bernafas lega di tahun berikut dari beban hidup yang semakin berat, selalu kandas dan menuai kekecewaan. Besaran kenaikan upah tak pernah sesuai harapan. Dibandingkan dengan laju rata-rata kenaikan harga barang dan jasa (inflasi) yang terjadi, upah selalu jauh tertinggal dibelakangnya. Bahkan, tak tertutupi dengan jumlah kenaikannya sekalipun. 

Sedangkan, kenaikan upah akan selalu disertai pula dengan lonjakan kenaikan harga barang dan jasa baru yang jauh lebih tinggi. Artinya, meskipun angka nominal upah minimum klas buruh terlihat seakan-akan naik, namun pada hakikatnya Upah Riil klas buruh pada kenyataannya malah menurun. Upah Riil adalah upah yang diukur dari banyaknya barang serta jasa yang dapat dibeli (dikonsumsi) oleh klas buruh. Kendati dalam segelintir kasus ada penurunan di beberapa harga barang atau jasa (yang sifatnya sangat sementara), namun pelonggarannya tak pernah sepadan dengan daya cekiknya.

Sekali lagi dan terus berulang-ulang, klas buruh diminta untuk tetap bersabar sekaligus bersyukur. Bersabar karena besaran kenaikan upah tidak sesuai harapan, dan bersyukur karena toh bagaimanapun tetap ada kenaikan. Para klas reaksioner senantiasa membujuk klas buruh untuk ikhlas menerimanya. Namun dalam waktu yang bersamaan, mereka menuding Gerakan Serikat Buruh yang secara tegas menolak terhadap rendahnya kenaikan upah minimum sebagai biang kerusuhan. Sebab, menganggu ketenangan, kenyamanan, serta merusak iklim investasi.

Terlebih ditengah situasi gelombang Krisis Umum Imperialisme yang saat ini semakin memburuk, dimana Indonesia menjadi bagian utuh didalam arus pusarannya. Rezim reaksioner yang berkuasa, malahan memberikan beban yang lebih berlipat-lipat ganda kepada klas buruh dan seluruh rakyat Indonesia. Di sektor buruh, atas nama krisis, klas buruh diharuskan berkorban untuk menekan kenaikan upahnya serendah mungkin. Permintaan yang bersifat memaksa itupun di legalisasi oleh rezim reaksioner dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 Menteri pada bulan Oktober 2008 tentang “Pemeliharaan Momentum Pertumbuhan Ekonomi Nasional Dalam Mengantisipasi Perkembangan Perekonomian Global”, yang salah satu isinya mengatur agar “kenaikan upah minimum klas buruh tidak boleh melebihi dari angka pertumbuhan ekonomi nasional”. Sedangkan, angka pertumbuhan ekonomi nasional berada dibawah angka inflasi (terlebih didalam situasi krisis). Artinya, kenaikan upah klas buruh harus dibawah rata-rata angka inflasi.

Pengertian upah
Apa itu Upah? Upah adalah Harga Tenaga Kerja. Maka, seperti layaknya Barang Dagangan (komoditi) yang lain, harga tenaga kerja juga tunduk dengan Hukum Pasar mengenai Permintaan dan Penawaran. Dalam konteks ketenagakerjaan, ia lazim disebut Pasar Tenaga Kerja.

Melimpah ruahnya jumlah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan kebutuhan atau terbatasnya daya tampung industri akan tenaga kerja, tidak hanya menyebabkan besarnya cadangan tenaga kerja yang tidak terserap (pengangguran), tetapi secara otomatis juga akan melemahkan daya tawar buruh (penjual tenaga kerja) dihadapan pengusaha (pembeli tenaga kerja), sehingga menurunkan harga dari tenaga kerjanya (upah). Begitu pula sebaliknya. 

Karenanya, teori ekonomi apapun yang dikeluarkan oleh pengusaha, pada hakikatnya tidak akan pernah dapat -atau bersedia- menghilangkan pengangguran. Sebab, mereka memerlukan pengangguran. Tidak hanya sebagai cadangan tenaga kerja bagi kepentingan industri (barisan cadangan buruh), tetapi juga untuk menekan upah buruh serendah mungkin. 

Oleh karena itu, buruh dipaksa untuk saling berkompetisi antar sesamanya dalam memperebutkan pasar tenaga kerja yang terbatas. Semakin rendah harga tenaga kerja yang dapat dibeli oleh pengusaha, tidak hanya akan menekan biaya produksi yang harus dikeluarkannya, tetapi juga akan memberikan laba yang lebih besar kepada pengusaha dari Nilai Lebih yang dihasilkan oleh buruh.

Selain hukum pasar tenaga kerja (sebagai salah satu faktor utama dalam menekan upah), upah juga sangat rentan terhadap kenaikan harga barang dan jasa, yaitu Inflasi. Karena, ia menjadi ukuran terhadap Upah Riil buruh. Kenaikan rata-rata inflasi diatas kenaikan rata-rata upah, berakibat penurunan terhadap upah riil buruh. Begitu pula sebaliknya.

Apa itu Upah Minimum? Mengapa ia diberikan tambahan kata “minimum” dibelakangnya? Dan, apa fungsinya?
Upah Minimum adalah Harga Tenaga Kerja Terendah. Ia merupakan suatu kebijakan pengupahan yang dikeluarkan oleh otoritas politik yang berkuasa (rezim penguasa), sebagai standarisasi upah terendah di suatu wilayah dan/atau bagi Jenis Produksi tertentu dalam suatu wilayah (sektoral). Karena itulah, meskipun upah minimum diterapkan oleh berbagai negeri, namun ia dapat berbeda-beda fungsinya tergantung dari sistem ekonomi-politik yang berlaku di suatu negeri. Berarti, menjelaskan fungsi upah minimum di suatu negeri, juga akan memperlihatkan akan karakter dari rezim yang berkuasa.

Kendati upah dapat naik dan turun layaknya harga barang dagangan lainnya (komoditi), tetapi pergerakannya memiliki batas-batas serta dapat diukur sesuai dengan wilayah tertentu dan/atau jenis produksi tertentu di suatu wilayah. Ia terkait dengan sejumlah uang tertentu yang dibutuhkan oleh buruh bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya (secara rata-rata). 

Bagi pengusaha, minimal ia dapat memastikan agar buruh dapat memulihkan kembali tenaga-kerjanya untuk bekerja kembali keesokan harinya. Berhubungan dengan diatas, standarisasi kebutuhan hidup ini juga terkait dengan sistem ekonomi-politik yang berlaku di suatu negeri.

Secara esensial, kebutuhan hidup manusia yang paling dasar harus memenuhi tiga hal, yaitu : 1). Kebutuhan Fisik (makanan dan minuman, tempat tinggal, kesehatan, dsbnya); 2). Kebutuhan Non-Fisik (pendidikan, rekreasi, dsbnya); dan 3). Kebutuhan Sosial (yaitu, kebutuhan manusia untuk berkembang biak atau berkeluarga. Hal ini merupakan kebutuhan sosial manusia yang paling mendasar). Pemenuhan ketiga kebutuhan dasar tersebut, merupakan jaminan atas kualitas paling dasar dari hidup setiap manusia. 

Maka, seharusnya ketiga kebutuhan itulah yang harus dijadikan standar atas Kebutuhan Hidup Minimum buruh, sebagai dasar dalam menentukan Upah Minimum. Sifatnya adalah Minimum atau sebagai Jaring Pengaman, agar kualitas hidup buruh tidak jatuh hingga ke titik paling terendah. Dalam hal ini, upah minimum berfungsi sebagai perlindungan terhadap buruh.

Fungsi upah minimum yang ditujukan sebagai perlindungan bagi buruh, tentu saja tidak akan berlaku bagi sistem yang hidupnya justru didasarkan pada penindasan dan penghisapan terhadap buruh serta rakyat lainnya.

Dalam sistem kapitalisme yang saat ini berlaku di berbagai negeri imperialisme, patokan standarisasi upah terendah (upah minimum) terutama hanya dijadikan sebagai ukuran agar dapat terbelinya berbagai barang dagangan (komoditi) milik para kapitalis monopoli. Ia berfungsi sebagai ukuran daya beli atau konsumsi rakyat. Sebab, di negeri imperialisme, buruh secara kuantitas adalah yang mayoritas. Mereka menjadi sasaran pasar dari penjualan barang dagangan (komoditi) milik imperialis. Karenanya, peningkatan upah buruh, pada hakikatnya hanyalah penyesuaian inflasi untuk mendongkrak konsumsi buruh. 

Tetapi, kenaikan upah itu akan direbut kembali oleh pengusaha melalui berbagai macam cara, antara lain: lonjakan kenaikan harga barang dan jasa (inflasi), kenaikan pajak, dsbnya. Hal itu dapat dilakukan oleh pengusaha, sebab merekalah yang mendominasi secara ekonomi-politik di negeri imperialisme. Namun dalam keadaan krisis, sebuah situasi ekonomi yang tidak dapat dihindari dan menjadi bagian utuh dalam sistem kapitalisme, yaitu terutama over-produksi; fungsi upah diatas untuk sementara waktu tidak berlaku. Tidak hanya upah buruh yang terpuruk jatuh, bahkan kepastian kerja buruh pun terpukul. Peristiwa PHK massal tak terhindari. Buruh adalah tumbal pertama yang menjadi korban dari krisis di negeri imperialisme.

Dalam negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, tentu saja fungsi upah minimum akan memiliki perbedaan dengan negeri imperialisme yang menjadi tuannya. Sebab, kedua negeri yang disebutkan pertama (jajahan dan setengah-jajahan) merupakan sumber utama dari super-laba (super-profit) yang dihisap dan dikeruk oleh imperialisme. Mereka adalah sumber tenaga kerja murah serta penyedia bahan baku murah namun berlimpah. Buruh di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, bukanlah tujuan pasar utama dari barang dagangan (komoditi) milik para kapitalis monopoli. 

Meskipun begitu, buruh dan rakyat tertindas di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, merupakan penampung terbesar dari berbagai barang dagangan yang tidak terserap (terjual) di pasar imperialisme akibat dari over-produksi. Maka, fungsi upah minimum di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan bukanlah sebagai ukuran dari daya beli (konsumsi) apalagi perlindungan bagi buruh. Tetapi, upah minimum berfungsi untuk mempertahankan Politik Upah Murah. 

Karena itulah, mengapa di negeri jajahan dan negeri setengah-jajahan, level upahnya sangat jauh dibawah upah buruh di negeri imperialisme. Namun, perbedaan ini akan terus berlangsung, sepanjang imperialisme tetap memiliki negeri jajahan dan setengah-jajahan yang berada dibawah dominasi ekonomi maupun politiknya. Khususnya di negeri setengah-jajahan, seluruh proses diatas dapat berjalan dengan sangat lancar, karena dibantu oleh rezim boneka sebagai penguasa dalam negeri yang menjadi kaki-tangan imperialisme, serta merupakan penyokong utama dari sistem Setengah Jajahan.

System Pengupahan di Indonesia
Sistem Penentuan Upah (pengupahan) yang berlaku di Indonesia adalah sistem yang berbasis indeks biaya hidup dan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) per Kapita sebagai proksi dari tingkat kemakmuran, dengan kata lain berbasiskan angka Kehidupan hidup layak (KHL) dan tingkat inflasi. Sistem pengupahan di Indonesia juga mendasarkan penentuannya melalu mekanisme konsultasi tripartit dalam menetapkan upah minimum antara wakil pengusaha, wakil pekerja dan wakil dari pemerintahan. Wakil pemerintahan selain dalam fungsinya sebagai fasilitator dan mediator namun pada akhirnya akan juga berperan sebagai pengambil kebijakan sekaligus mengesahkannya secara hukum.

Dasar penentuan Upah di Indonesia saat ini adalah UUK No. 13 Tahun 2003 psl 88 dan psl 89 serta Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”. Setidaknya ada enam hal yang patut untuk kita cermati dan kritisi didalam pelaksanaannya:

Pertama; Upah Minimum Hanya Ditujukan Bagi Buruh Lajang, Dasar penetapan upah minimum di Indonesia adalah Kebutuhan Hidup Layak, yang nilainya diperoleh melalui Survei Harga. Secara normatif, yang dimaksud dengan Hidup Layak adalah standar kebutuhan hidup seorang buruh baik secara fisik, non-fisik, maupun sosial untuk satu bulan. 

Namun pada kenyataannya kebutuhan hidup yang menjadi dasar dari survei harga itu, hanya ditentukan berdasarkan pada Kebutuhan Hidup Buruh Lajang. Artinya, kebutuhan hidup bagi para buruh yang berkeluarga, tentu saja tidak akan pernah masuk dalam hitungan (untuk kebutuhan makan keluarga sajapun tak masuk hitungan, apalagi bagi pendidikan anak).

Istilah layak telah dimanipulasi sedemikian rupa sehingga seolah-olah pemerintah hari ini telah memberikan satu perhatian terhadap upah kaum buruh, akan semakin terang apabila melihat pada Daftar Barang dan Jasa yang menjadi panduan survei. Ia diatur dalam Lampiran Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”

Kedua;  “Kebutuhan Hidup Layak” adalah merupakan ilusi semata, Tahun 2005, pada saat rezim SBY jilid-I, melalui Permenaker No. 17 Thn. 2005 tentang “Komponen Kebutuhan Hidup Layak Untuk Pekerja Lajang”, pemerintah mengubah standar kebutuhan yang menjadi dasar dalam penetapan upah minimum, yaitu dari Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) menjadi Kebutuhan Hidup Layak (KHL). 

Perbedaan yang utama, ada penambahan 3 komponen dari 43 komponen yang diatur dalam KHM menjadi 46 komponen didalam KHL. Namun, sesuatu yang tidak pernah berubah (baik KHM maupun KHL) adalah dasar penghitungannya tetap saja Buruh Lajang. Dengan Dasar Pengertian dan Fungsi Upah Minimum maka istilah KHL terlihat secara jelas sisi manipulatifnya. Sebab, upah minimum sifatnya adalah jaring pengaman. Ia (seharusnya) merupakan bentuk perlindungan kepada buruh, yang upahnya sangat rentan berhadapan dengan pasar tenaga kerja serta inflasi (kenaikan rata-rata harga barang dan jasa). 

Maka, pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan fisik, non-fisik, maupun sosial, haruslah dijamin oleh pemerintah sebagai standar kualitas hidup buruh. Ukuran dari standar kebutuhan hidup itulah yang telah di manipulasi. Karena pada kenyataannya, jangankan kebutuhan sosial buruh (dengan dasar penghitungan buruh lajang), kebutuhan fisik dan non-fisik buruh pun tidak terpenuhi didalam penghitungan KHL. Maka dapat kita simpulkan bahwa UMK/UMP yang di hitung berdasarkan Kebutuhan Hidup Layak, adalah merupakan penipuan. 

Ketiga; tentang pelaksanaan Survei Harga. Survei yang menjadi dasar penetapan KHL, dilakukan pada saat situasi harga dan pasokan masih stabil, yaitu di sekitar pertengahan tahun. Tetapi, lonjakan kenaikan harga secara umum malahan terjadi di penghujung tahun. Hal itulah yang menjadi selubung dari dasar alasan mengapa Upah Minimum Provinsi selambat-lambatnya harus ditetapkan 60 hari sebelum tanggal berlakunya upah minimum (yaitu setiap tanggal 1 Januari) dan upah minimum Kota/Kabupaten adalah 40 hari sebelumnya. 

Penentuan waktu survei itu, secara gamblang menggambarkan bahwa berapapun kenaikan upah minimum buruh tentunya akan terlibas dengan laju inflasi. Begitu juga dengan tempat survei yang dipilih di pasar-pasar induk atau tradisional, yang tentu saja harganya akan jauh lebih rendah dari harga di tingkat retail, dimana rantai perdagangannya masih pendek. Padahal kenyataannya kaum buruh selama ini berbelanja barang di toko-toko kelontong serta di warung-warung yang berada di sekitar tempat tinggalnya! Dimana harganya sudah jauh melambung disebabkan panjangnya rantai perdagangan. Artinya, dengan dasar komponen barang survei yang terbatas dan itupun kuantitas serta kualitasnya rendah, penentuan waktu serta tempat survei semakin menenggelamkan hasil dari nilai KHL yang akan dicapai.

Keempat; Tentang Dasar Penetapan Upah Minimum, Situasinya semakin bertambah jelas, ketika KHL serta Survei yang sudah sangat bermasalah diatas ternyata hanya digunakan sebagai Salah Satu Bahan Pertimbangan dalam penetapan upah minimum. Sebab, secara normatif ada pertimbangan lainnya dalam penetapan upah minimum, yaitu : Produktivitas (hasil perbandingan antara jumlah Produk Domestik Regional Bruto [PDRB] dengan jumlah tenaga kerja pada periode yang sama); Pertumbuhan Ekonomi (merupakan pertumbuhan nilai PDRB), serta Usaha Yang Paling Tidak Mampu (marjinal). Tentu saja hal ini merupakan kekejian tersendiri yang secara vulgar menghancurkan dasar pengertian dari upah minimum.

Kelima; Persoalan lainnya didalam penentuan upah adalah tentang Konspirasi Jahat Dibalik Penetapan Upah Minimum di Dewan Pengupahan, karena meskipun komposisi dari Dewan pengupahan adalah tipartit yaitu perwakilan dari Buruh, Pengusaha dan Pemerintah tetapi tetap saja yang paling menentukan didalam penentuan upah adalah Kepala daerah (Bupati, Wali Kota dan Gubernur), sedangkan dewan pengupahan hanya mengusulkan berdasarkan hasil survei, sehingga berapapun usulan yang di ajukan oleh dewan pengupahan  Kepala daerah  yang berhak menentukan. Jadi berapapun besaran upah yang di usulkan oleh dewan pengupahan dari hasil survei tetap keputusan ada di Gubernur. 

Terkait dengan perjuangan buruh dalam menuntut UMP di DKI Jakarta misalnya, buruh di DKI Jakarta telah melakukan tekanan/pengawalan bahkan berkali-kali menyerbu kantor Gubernur dengan membawa massa ribuan. tujuanya hanya satu ingin menyampaikan kepada Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo agar menetapkan UMP DKI Jakarta lebih manusiawi.

Forum Buruh DKI Jakarta (beranggotakan :ASPEK Indonesia, FSPMI, SPN, SPSI LEM, SBSI 92, KSBSI, FSBI, GSBI, FB KBN, SP KEP, FSP Farkes, FB Cakung-Cilincing dan IBU) misalnya, dalam tuntutanya,  tidak muluk-muluk, mereka meminta agar penetapan UMP nanti Gubernur DKI Jakarta bisa lebih Bijak dan pro terhadap rakyat dan buruh, dan itu musti sesuai dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL). dimana, pada tahun ini, Dewan pengupahan DKI Jakarta dan BPS telah mendapatkan Nilai KHL dari survey selama beberapa kali sebesar 1.401.829 (satu juta empat ratus satu ribu delapan ratus dua puluh sembilan ribu rupiah).
 
Tercatat tiga kali Forum buruh DKI melakukan aksi massa mendatangi kantor Gubernur DKI, yaitu pada tanggal 28 Oktober 2010, kemudian dilanjtukan tanggal 4 Oktober 2010 dan yang terakhir pada tanggal 10 Nopember 2010. akan tetapi Gubernur DKI jakarta tidak pernah merespon tuntutan kaum buruh DKI. Bahkan pada tanggal 25 Nopember 2010 Forum buruh DKI Menggelar aksi Demonstrasi dan pemogokan besar-besaran di KBN Cakung yang menyebabkan Kawasan Berikat Nusantara Cakung (KBN) mengalami lumpuh total. Akan tetapi tetap saja Gubernur DKI Jakarta menetapkan UMP hanya sebesar  Rp 1.290.000,- jauh dari tuntutan buruh yang sebesar Rp 1.404.829,- (hasil surve UMP Berdasarkan pada KHL yang dilakukan oleh Dewan pengupahan DKI)

Berikut adalah tabel yang bisa di lihat bagaimana penetapan upah minimum dibeberapa kota yang rata-rata masih jauh dari nilai KHL yang sudah di temukan: 

PROPINSI

2006
2007
2008
2009
2010
2011
DKI Jakarta
UMP
819.100
816.100
972.604,80
1.069.865
1.118.009
1.290.000

KHL
831.336
991.988
1.055.276
1.314.059
1.317.017
1.404.829
Banten
UMP
661.613
661.613
837.000
917.500
955.300
1.000.000

KHL
735.126
764.214
851.500
917.638
1.300.00
1.319.000
Jawa Timur
UMP
390.000
448.500
500.000
570.000
630.000
705.000

KHL
580.054
458.755
544.157
706.698
820.000
-
Jawa Barat
UMP
447.654
447.654
568.193,39
628.191
671.500
732.000

KHL
542.621
607.425
614.275
731.680
n/a
-
Jawa Tengah
UMP
450.000
500.000
547.000
575.000
660.000
675.000

KHL
582.128
586.219
612.223
793.694
850.000
833.465
Kalimantan Timur
UMP
684.000
766.500
889.654
955.000
1.002.000
1.084.000

KHL
764.756
882.797
935.440
1.209.870
1.300.000
1.400.000
Sulawesi Selatan
UMP
612.000
673.200
740.520
905.000
1.000.000
1.100.000

KHL
672.650
677.333
754.884
1.154.080
n/a
1.183.000

Keenam; Tidak Adanya Kepastian Hukum Atas Upah Minimum. Hal ini mendasarkan pada satu kenyataan bahwa tidak adanya jaminan atas diterapkannya UMK/UMP di perusahaan. Sebab dengan alasan tidak mampu perusahaan-perusahaan dapat saja melakukan penangguhan upah. Bahkan Dalam prakteknya, banyak pengusaha yang tidak memberikan upah buruh sesuai dengan standar upah minimum, bahkan tanpa izin “penangguhan”-nya sekalipun. Sedangkan, tindakan itu merupakan Tindak Pidana Kejahatan yang sanksinya adalah penjara (paling singkat adalah 1 tahun) atau denda (paling sedikit Rp. 100.000.000). 

Tidak ada satupun tindakan aktif yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja atau Kepolisian terhadap hal tersebut selama ini. Situasi itu baru dapat tersingkap apabila kenaikan perjuangan kaum buruh di suatu pabrik. Itupun, belum ada jaminan bahwa pengusaha tersebut akan dipidanakan, dengan seribu satu dalih yang pastinya akan diutarakan oleh para pihak berwenang serta proses yang sangat berliku-liku.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut, jelas bahwa fungsi upah minimum yang berlaku di Indonesia bukanlah ditujukan bagi perlindungan terhadap buruh, namun untuk mempertahankan Politik Upah Murah di Indonesia. Selain itu, ada beberapa hal yang tidak secara langsung berhubungan dengan upah, namun pada kenyataannya sangat berpengaruh terhadap upah buruh. Dasar pandangannya adalah kemenangan tuntutan kenaikan upah yang digelorakan oleh buruh, hanyalah bergantung atas perjuangan buruh itu sendiri melalui Gerakan Serikat Buruh yang memiliki watak Sejati. Berharap pada kebaikan hati sang pengusaha, penguasa atau mengandalkan rezeki nomplok dari perdebatan-perdebatan di Dewan Pengupahan yang penuh dengan konspirasi jahat adalah merupakan ilusi semata.# redaksi SI 2011

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item