Play Fair Indonesia : Mengikat Buyer Melalui Protokol untuk Berperan dan Bertanggung jawab Memperbaiki Kondisi Buruh di Seluruh Rantai Produksi

P ada tanggal 7 Juni 2011 lalu, untuk pertama kalinya dilakukan penandatangan Protokol Kebebasan Be...


Pada tanggal 7 Juni 2011 lalu, untuk pertama kalinya dilakukan penandatangan Protokol Kebebasan Berserikat (FoA), diantara Pemilik merk/brand, para pemasok atau supplier dan perwakilan Serikat Buruh. Adapun para pihak yang turut menandatangi Protokol FoA tersebut diantaranya adalah, perwakilan brand/merk, diantaranya Nike, Adidas, Puma, New Balance Pertland dan WFSGI (Federasi Produsen Perlengkapan Olahraga Dunia), dan perwakilan pemasok/supplier diantara : Nikomas Gemilang (Pau Chen Indonesia), Panarub Industry, Tuntex Group dan Adis Demension Footwear (ADF). Sedangkan perwakilan  Serikat Buruh diantaranya : GSBI, SPN, KASBI, Garteks-KSBSI dan TSK-SPSI Reformasi, selain itu turut hadir menyaksikan proses penandatangani ini adalah perwakilan dari organisasi internasional yakni, ITGLWF, CCC dan Oxfam Australia.

Penandatangan protokol FoA ini dilakukan sebagai bentuk komitmen para pihak terkhusus pihak buyer/brand dan pemasok/supplier untuk menjamin kebebasan berserikat bagi buruh diseluruh rantai produksi terutama di perusahaan-perusahaan pemasok dari brand/merk yang menandatangani protokol FoA ini.

Play Fair : Latar Belakang & Perjalanannya

Gagasan atau inisiatif adanya protokol FoA ini sebenarnya dilatarbelakangi dari semangat kampanye Play Fair yang diluncurkan oleh beberapa organisasi internasional yakni, GUF (Global Union Federation), CCC dan Oxfam Internasional, yang mengawali kampenyenya pada even Olimpiade Athena, Yunani pada tahun 2004 lalu, dan kemudian berlanjut pada Olimpiade Beijing, Cina pada Juli 2008 lalu. Dimana para aktivis dari organisasi internasional tersebut dalam kampanyenya selain mengangkat persoalan-persoalan (fakta) yang dihadapi oleh kaum buruh di balik merk/brand yang menjadi sponsor utama dari perhelatan olahraga dunia (Olimpiade dan Piala Dunia), juga mendesak para pemilik merk/brand untuk terlibat dalam upaya untuk memperbaiki kondisi kerja dan kehidupan buruh yang memproduksi merk/brand mereka.  Hingga pada pertemuan “Roundtable Meeting” di Hong Kong, pada Juli 2008 lalu, seluruh perwakilan yang terdiri dari Pemilik merk/brand, para pemasok/ Supplier dan  perwakilan serikat-serikat buruh dari negara produsen, bersepakat (komitmen awal) untuk melakukan pertemuan serupa untuk membahas 3 masalah utama, yakni : Kebebasan Berserikat, Upah dan Sistem Kerja Kontrak, yang memang mendominasi dari sharing dan diskusi masalah perburuhan yang terjadi di negara-negara produsen, seperti Indonesia, Kamboja, Thailand, India, Bangladesh, Sri Lanka, dan lainnya.     

Di Indonesia sendiri, gagasan untuk membentuk Aliansi Play Fair Indonesia yang dibentuk  oleh SP/SB (GSBI, SPN, KASBI, Garteks-KSBSI, dan TSK-SPSI Reformasi) dan beberapa LSM pemerhati perburuhan, pada September 2009 lalu, merupakan kelanjutan dari  pertemuan “Roundtable meeting” di Hong Kong, pada Juli 2008 lalu. Dan bisa dikatakan serikat buruh di Indonesia adalah yang mempelopori adanya perundingan diantara SP/SB dengan pihak buyer/brand dan Pemasok/supplier, karena hingga saat ini belum ada negara pemasok lainnya yang melakukan hal yang sama.

Penyusunan Protokol Kebebasan Berserikat (Freedom of Association) sebagai protokol yang pertama disusun didasarkan pada pertimbangan, bahwa kebebasan berserikat menjadi yang sangat dasar (fundamental), karena serikat buruh merupakan wadah bagi kaum buruh untuk memperjuangkan kondisi dan kehidupannya dalam rantai produksi.  Prinsip yang dipegang dalam penyusunan protokol FoA ini adalah, bahwa semua pihak khususnya buyer dan supplier mengakui adanya praktek pelanggaran berserikat yang terjadi di masa lalu, dimana banyak buruh kehilangan hak-haknya ketika membentuk serikat buruh atau saat menggunakan hak berserikatnya, seperti ter-PHK, initimidasi, upahnya dikurangi, penurunan jabatan, dll.  Oleh karenanya, para pihak (Buyer, Supplier dan SP/SB) berkomitmen untuk menghapuskan pratek-praktek pelanggaran berserikat (union busting) tersebut, dan lebih meningkatkan penghormatan terhadap hak buruh untuk berserikat.

Pada dasaranya Perlindungan Kebebasan Berserikat telah diatur dalam Kode Perilaku bisnis yang hampir dimiliki oleh seluruh Buyer/Brand, khususnya yang mengingkatkan diri dalam protokol ini.  Tetapi karena Code of Conduct tersebut dinilai hanya dibuat secara sepihak oleh Buyer/Brand dan hanya menjadi tanggung jawab sepihak Supplier untuk melaksanakannya.  Maka untuk mengikat Buyer/Brand turut berperan dan bertanggung jawab serta dalam perlindungan kebebasan berserikat serta perbaikan kondisi kerja buruh di seluruh rantai produksi Buyer/Brand, pihak SP/SB di Indonesia menilai perlu disusun satu protokol yang mengikat semua pihak terutama Buyer/Brand untuk berperan dan bertanggung jawab dalam dalam menjamin pelaksanaan kebebasan berserikat, termasuk dalam mengurangi penggunaan buruh kontrak/outsourcing di seluruh rantai produksi mereka (buyer/brand) serta meningkatkan nilai upah buruh, sehingga buruh mendapatkan peningkatan hidup yang lebih layak. Keberadaan Buyer/Brand memiliki peran penting sebagai pihak yang selama ini menikmati keuntungan besar dari seluruh hasil produksi yang diciptakan oleh buruh.

Pertemuan awal dari perundingan ini pada 9 November 2009 lalu, yang diadakan di LBH Jakarta, dan dihadiri perwakilan buyer/brand (Nike, Adidas, Puma, New Balance, Pertland dan WSGFI), perwakilan pemasok/supplier (Nikomas Gemilang/Pou Chen Indonesia, Tuntex, Panarub Industry) dan perwakilan SP/SB (GSBI, SPN, KASBI, Garteks-KSBSI, dan TSK-SPSI Reformasi). Para pihak bersepakat (komitemen) untuk bersama-sama melakukan perbaikan dalam 3 isu utama yakni, Kebebasan Berserikat, sistem kontrak dan Upah, yang akan  disusun dalam bentuk protokol secara terpisah. Yang seharusnya tahun 2012 ini, seluruh protokol sudah selesai sehingga tinggal melihat komitmen serius pihak buyer/brand dan pemasok/supplier untuk menjalankannya. Akan tetapi, perdebatan subtansi dalam proses penyusunan protokol Kebebasan Berserikat (FoA) sendiri memakan waktu yang cukup panjang, hampir 2 tahun lamanya hingga penandatangan protokol ini dilakukan.

Dalam perjalanannya negosiasi protokol FoA ini pernah terjadi Deadlock pada Maret 2010 lalu, karena tidak adanya sikap kompromi yang dilakukan oleh pihak Supplier dan kecenderungan pihak Buyer/Brand hanya menyerahkan proses negosiasi antara SP/SB dan pihak Supplier, yang kemudian SP/SB yang tergabung dalam coreteam Play Fair mengorganisasikan aksi kampanye publik atas ketidak konsistenan pihak Buyer/Brand. Namun pada akhirnya pihak Buyer/Brand yang meminta agar negosiasi dapat dilanjutkan kembali.

Meski belum dapat dilihat secara nyata keberadaan protokol ini akan dapat membawa satu perubahan yang signifikan dalam kebebasan berserikat, dan tentu saja mengingkat dua protokol lainnya yang masih harus dinegosiasikan. Akan tetapi, ini merupakan satu pengalaman pertama yang berharga, dimana SP/SB di Indonesia dapat mengikat pihak Buyer/Brand dan Suplier untuk mulai memperbaiki kondisi kerja buruh di seluruh rantai produksi mereka. Dan kelak, keterlibatan para Buyer/Brand dan Supplier dalam Protokol ini tidak hanya pada merk-merk pakaian olahraga tapi juga bisa melibatkan serta merk/merk dari produksi garmen dan pakaian jadi skala internasional yang diproduksi di Indonesia, dan bisa menjangkau seluruh rantai produksi mereka di Indonesia.  

Sebagai catatan akhir, GSBI adalah serikat buruh yang mengikuti sejak awal gagasan Play Fair ini dilahirkan (tahun 2004), tapi tidak harus menyandarkan perjuangan perbaikan kondisi buruh pada Protokol ini (Kebebasan Berserikat, Sistem Kontrak/Outsourcing dan Upah Layak). Karena yang paling pokok adalah kekuatan internal buruh itu sendiri, oleh karenanya hal yang pokok untuk tetap dilakukan adalah terus memperluas, memperkuat dan meningkatkan kapasitas organisasi. (EYM#Redaksi).

Penulis adalah Emelia Yanti Siahaan.
Sekretaris Jenderal DPP GSBI yang juga diterbitkan dalam Tabloid Suara Independen (SI) edisi Januari -Pebruari 2012 yang akan terbit Maret 2012 


Posting Komentar

  1. Sesudah itu tentunya dibutuhkan lagi semacam sistem dan mekanisme pemantauan dan pengawasan bagi realisasi secara teknis gagasan dimaksud. Konsekuensinya, SB/OB mesti lebih sehati-sepikir untuk senantiasa dapat merumuskan pola-pola yang berdaya-guna dan semata-mata bermuara kepada pememuhan kepentingan buruh.

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item