Siaran Pers IPA : RPSO adalah skema Ilusif praktik cuci tangan Korporasi atas konflik SDA di Indonesia

Tepat satu hari lalu, Indonesia berhasil menyelenggarakan RSPO 11th Annual Roundtable Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11). Se...

Tepat satu hari lalu, Indonesia berhasil menyelenggarakan RSPO 11th Annual Roundtable Meeting on Sustainable Palm Oil (RT11). Sebuah pertemuan tentang minyak sawit berkelanjutan terbesar di dunia.  Pertemuan yang berlangsung di Medan Sumatera Utara ini telah menghasilkan banyak kesepakatan diantaranya adalah dimana Unilever sebagai perusahaan yang memiliki kepentingan besar disektor sawit ini mendorong sertifikasi Sawit bagi petani sawit Indonesia.

RSPO pada awalnya dikonsep untuk memastikan bahwa seluruh aktifitas yang terkait dengan sawit dari hulu ke hilir agar berkelanjutan. Tujuannya agar Hak dan penghidupan masyarakat setempat, buruh dan petani sawit terkena dampak terjamin, dilindungi dan meningkat lebih baik dalam produksi minyak sawit berkelanjutan sesuai dengan prinsip dan kriteria RSPO.

Menurut Ahmad SH Koordinator IPA seberapa baikpun tujuan pembentukan RSPO tersebut, IPA memandang bukan sebagai solusi dari konflik yang lahir dari ekspansi sawit dan monopoli perkebunan skala besar. “RSPO hanyalah instrument yang dibuat untuk dan oleh pasar” imbuh Ahmad. Upaya ini merupakan jalan keluar yang diciptakan untuk terus melegitimasi perampasan tanah dalam upaya perluasan sawit di Indonesia.“ Pertemuan WTO di Bali Desember ini adalah upaya untuk memperkuat berbagai komitmen perdagangan yang terus dimonopoli kapital asing”, tandas Ahmad

Sebagaimana perkembangan perdagangan harga minyak dan inti sawit relatif terus meningkat dalam 20 tahun terakhir. Permintaan minyak dan inti sawit terus meningkat, khususnya dari  Eropa, Amerika, China dan India. Dua negara terakhir menyerap hampir dua pertiga produksi minyak sawit Indonesia yang angka produksinya diperkirakan akan mencapai 25 juta ton. China menampung 6,65 juta ton, dan India mengimpor 7,1 juta ton minyak sawit Indonesia tahun 2012. . Di Indonesia sendiri, luas perkebunan sawit dalam 20 tahun terakhir meningkat pesat dari hanya sekitar 500.000 hektar tahun 1990-an, menjadi 12 juta hektar tahun 2012 (Sawit Watch, 2013).

Irhash Ahmady dari Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia RSPO terbukti tidak menghentikan konflik yang terus terjadi di daerah. “RSPO adalah ilusi yang diciptakan oleh rejim korporasi untuk terus merampas sumberdaya alam khususnya tanah produktif rakyat Indonesia”. Faktanya demikian berbagai korporasi yang tergabung dalam RSPO terus melanggar komitmen terhadap RSPO. Mereka terus memperluas ekspansi perkebunan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya meskipun mendapatkan perlawanan rakyat. Beberapa perusahaan besar yang dianggap masih terlibat konflik dengan petani dan pemilik. Antara lain, PT Wilmar, PT London Sumatera (Lonsum), PT Sinar Mas, dan beberapa perusahaan besar lain.

Irhash Ahmady yang juga Koordinator Kegiatan People Global Camp/ PGC menambahkan bahwa Pertemuan WTO bulan Desember ini semakin memperkuat berbagai komitmen seperti RSPO yang dibangun rejim perdagangan global hari ini untuk terus memonopoli perdagangan khususnya yang berbasis sumberdaya alam. “WTO harus dibubarkan untuk menghentikan monopoli perdagangan oleh rejim global hari ini, begitu WTO di bubarkan maka forum-forum dibawahnya seperti RSPO juga harus bubar”, tandas Irhash.

Rudi HB Daman dari Gabungan Serikat Buruh Independen/GSBI mengatakan persoalan buruh sektor perkebunan sangat besar dan butuh perhatian serius.“tidak ada jaminan bagi buruh kebun sawit untuk hidup layak, ketidak jelasan kontrak serta pengekangan serikat buruh padahal berserikat dan berorganisasi dilindungi undangan-undangan serta yang paling jelas adalah perampasan atas upah”. Rudi yang juga Ketua Steering Committee People Global Camps menambahkan RSPO hanya alat untuk melegitimasi perampasan upah dan pelanggaran HAM di perkebunan Sawit, sehingga RPSO harus di bubarkan.

Indonesia People Alliance/ IPA juga berharap dan mengajak seluruh masyarakat kebun sawit agar mandiri dan tidak bergantung pada modal asing yang justru menjerumuskan petani sawit itu sendiri. RPSO dapat dikatakan hanya akan merugikan petani sawit, memperluas perampasan tanah di Indonesia. Sesungguhnya perdagangan global hari ini dengan berbagai forumnya seperti RSPO dan WTO desember nanti adalah bentuk nyata dari praktik liberalisasi perdagangan yang tidak menguntungkan rakyat.#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item