Peringati Hari HAM dan Migrant Day, JBMI Tuntut Akhiri Permbudakan Buruh Migran dan Cabut UUPPTKILN

Hong Kong, 14/12/2014. Massa buruh migran dari Indonesia, Filipina, Thailand dan Nepal kembali turun ke jalan memperingati hari hak asa...

Hong Kong, 14/12/2014. Massa buruh migran dari Indonesia, Filipina, Thailand dan Nepal kembali turun ke jalan memperingati hari hak asasi manusia dan hari migran internasional. Seribu orang yang tergabung di aliansi JBMI dan Badan Koordinasi Migran Asia (AMCB) melakukan unjuk rasa di depan kantor Konsulat RI dan Imigrasi di Hong Kong pada hari Minggu (14/12).

“Pemerintah Indonesia dan Hong Kong harus segera mencabut aturan-aturan diskriminatif dan perbudakan terhadap PRT migran” ujar Eni Lestari, selaku koordinator kedua aliansi.

JBMI menuntut Jokowi untuk segera mencabut Undang-Undang Penempatan dan Perlindungan TKI diluar negeri (UUPPTKILN) No. 39/2004 yang dinilai melegalisasikan pemerasan dan praktek perbudakan terhadap buruh migran diluar negeri.

Untuk undang-undang penggantinya, JBMI menekankan agar pemerintah mendasarkan pada isi Konvensi PBB tahun 1990 tentang perlindungan buruh migran dan keluarga yang telah diratifikasi pemerintah di tahun 2012.

“Cabut kuasa PPTKIS untuk pengurusan buruh migran dari undang-undang. Kami ingin diurus pemerintah bukan swasta. Sudah terlalu banyak penyalahgunaan dan pelanggaran. Waktunya negara bertanggungjawab” tegas Eni dalam orasinya.

Eni menjabarkan undang-undang kedepan harus mencakup hak-hak dasar termasuk melakukan kontrak mandiri, menciptakan mekanisme pengaduan dan penuntutan kompensasi ketika hak buruh migran dan keluarganya dilanggar. Para pendemo memakai kaos hitam dengan design wajah Erwiana Sulistianingsih dan bertuliskan keadilan bagi seluruh buruh migran.

“Dunia telah mengecam namun pemerintah Hong Kong menolak untuk megubah aturan diskriminatif. Aturan pembatasan visa, pemaksaan serumah dengan majikan (live-in) dan pembiaran praktek penarikan komisi agen lebih dari 10% tetap dipertahankan. Karena ini, banyak PRT tidak berani mengadu“ jelas Eni.

Kasus Erwiana, PRT migran yang disiksa parah oleh majikan Law Wan Tung diawal tahun 2014, menguak kondisi perbudakan yang menimpa PRT migran di Hong Kong dan juga di seluruh dunia. Jam kerja panjang, pelarangan libur, akomodasi tidak layak, penahanan paspor dan kontrak kerja, tidak diupah dan tidak diberi makan, penyiksaan, kekerasan verbal hingga seksual menjadi fakta umum pahlawan devisa yang bekerja di sektor rumah tangga ini.

Di awal persidangan Erwiana, JBMI telah melaunching kampanye hastag #Justice4Erwiana, #Justice4AllMigrants, #JokowiAkhiriPerbudakanModern, #JokowiRatifikasiC189.

“Segera ratifikasi Konvensi ILO C189 agar PRT migran punya payung hukum. Kami buruh dan kami bukan budak. Hormati kami sebagai manusia, buruh dan perempuan” tutup Eni di akhir pidatonya di depan kantor Imigrasi Hong Kong. (el-rd2014).

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item