FPR : PP JHT No. 46 Tahun 2015 adalah Cerminan Buruknya Jaminan Sosial di Indonesia

JAKARTA. Pada tanggal 30 Juni 2015 yang lalu, Pemerintah Jokowi-JK menerbitan PP No 46 thn 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Terbitnya ...

JAKARTA. Pada tanggal 30 Juni 2015 yang lalu, Pemerintah Jokowi-JK menerbitan PP No 46 thn 2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT). Terbitnya PP ini langsung mendapat penolakan dari klas buruh dan rakyat Indonesia dengan berbagai protes dan aksi-aksi masa khususnya dari kalangan klas buruh. PP JHT dianggap sebagai aturan baru BPJS yang  merugikan klas buruh dan rakyat Indonesia secara umum.

Peraturan baru ini  salah satu pasal nya mengatur tentang pencairan dana JHT yang hanya dapat diambil setelah 10 tahun kepesertaan dengan pencairan JHT hanya dapat diambil 10%  untuk keperluan apapun dan 30% untuk pembiayaan perumahan dan baru bisa di cairkan 100% setelah masa pensiun yaitu 56 tahun usia pensiun (UU SJSN Pasal 37 Ayat 3).

Kebijakan baru ini semakin menyulitkan dan menindas buruh dan rakyat di tengaah krisis yang terus berlangsung, karena dengan PP tersebut buruh dan rakyat di persulit mengambil dana JHT yang hakekatnya adalah hak mereka. Maka sangat wajar ketika rakyat khususnya klas buruh di berbagai daerah kecewa dan langsung melakukan protes keras menolak aturan PP JHT ini. Menanggapi penolakan PP JHT ini, pemerintah Jokowi-JK memanggil Menaker dan Direktur BPJS Ketenagakerjaan dan memerintahakan untuk melakukan revisi PP No. 46 tahun 2015 tentang JHT ini.  Point dari revisi ini adalah “Bahwa peserta yang di PHK atau mengundurkan diri dalam tenggang waktu masa tunggu 1 bulan dapat mengambil/mencairkan dana JHT 100%, tanpa harus menunggu masa kepersertaan 10 tahun atau masa pensiun 56 tahun”.

Atas hal tersebut Front Perjuangan Rakyat (FPR) menilai, bahwa rencana revisi PP JHT ini bukanlah sebuah bentuk responsif atau keberpihakan dari pemerintahan Jokowi-JK terhadap aspirasi rakyat, namun, ini bentuk “permainan” Jokowi untuk meloloskan kebijakan-kebijakan yang anti rakyat dan menunjukkan betapa rendahnya kredibilitas pemerintahan Jokowi dalam menetapkan sebuah kebijakan. Hal seperti ini bukan kejadian yang pertama, pada awal April 2015, Jokowi juga mengaku tidak membaca keseluruhan isi Perpres 39/2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan yang ditandatanganinya, setelah ada gelombang protes kemudian merevisinya.

Dua fakta dalam penetapan kebijakan dan revisinya tersebut telah cukup menjadi bukti bahwa pemerintahan Jokowi ceroboh dalam membuat kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana pemerintah asal-asalan dan tidak peka terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyatnya. 

Menyikapi revisi PP JHT ini, Front Perjuangaan Rakyat (FPR) melalui Kordinatornya di Jakarta (13/7/2015), Rudi HB Daman mengatakan, bahwa akar persoalan dari PP No.46 tahun 2015 adalah UU No. 40 Tahun 2004 tentang  SJSN. Sebab, UU SJSN menjadi payung hukum penyelenggaraan BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenakerjaan termasuk didalamnya program JHT. Dalam hal JHT 10 tahun maupun 56 tahun serta pencairan 10% - 30% sebagaimana yang telah ditegaskan, merupakan amanat dari UU SJSN pasal 37 Ayat 3. Maka sebenarnya yang harus diubah ialah UU SJSN, sebab Sistem Jaminan Sosial Nasional yang di kembangkan semangatnya telah bertentangan dengan konsep jaminan sosial yang sejati, dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan dari sistem jaminan sosial rakyat.  sementara SJSN yang dikembangkan di Indonesia, secara esensi merupakan model dari bisnis asuransi dengan mengambil atau mengutip sebagian dari upah pekerja dan pendapatan rakyat. Sehingga Revisi yang akan pemerintah terkait PP JHT tidak akan mampu menyelesaikan masalah sepenuhnya atas jaminan sosial di Indonesia. 

UU SJSN dan Penyelenggaranya BPJS seyogyanya bukanlah sebuah jaminan sosial yang diberikan negara sepenuhnya. Namun UU SJSN yang mewajibkan kepesertaan BPJS termasuk JHT, adalah bentuk asuransi yang  bermotif profit. Jadi, BPJS bukanlah sebuah jaminan sosial yang benar-benar melayani rakyat Indonesia. Tapi, UU SJSN dan BPJS adalah wujud asuransi yang merampas upah dan pendapatan rakyat Indonesia untuk meraup keuntungan.

Jika demikian, sesungguhnya keuntungan terbesar justru akan dinikmati bukan oleh pekerja atau rakyat penyimpan dana, tetapi keuntungan besar akan diperoleh oleh para pengusaha maupun perusahaan yang memperolah keuntungan dari penggunaan dana jaminan sosial yang diinvestasikan kedalam berbagai skema. Perusahaan (BPJS) akan memperoleh keuntungan dari investasi yang didapatkan melalui penyaluran dana publik tersebut, sedangkan pengusaha maupun perusahaan keuangan akan terbantu dengan adanya dana milik publik yang bisa mereka akses. Dan ketika model investasi demikian yang menjadi prioritas, maka ini akan menjadi dana segar yang dapat diakses dengan mudah oleh lembaga-lembaga keuangan milik negeri-negeri imperialis, khususnya Amerika Serikat yang tengah tepuruk akibat krisis.

Kesimpulannya, dana SJSN memberikan keuntungan yang besar bagi klas-klas yang selama ini menjadi penikmat keringat rakyat, seperti halnya borjuasi besar komprador, tuan tanah. Dana ini juga menjadi ajang korupsi dari kapitalis birokrat yang memperoleh suntikan modal secara cuma-cuma. Jadi Sistem Jaminan Sosial yang dilaksanakan saat ini tidak memberi manfaat sama sekali terhadap rakyat Indonesia. Dana milik rakyat tidak bisa diakses oleh rakyat, hanya semata untuk memastikan ketersediaan dana publik untuk berbagai proyek investasi.

Untuk itu Front Perjuangan Rakyat (FPR) mengajak kepada seluruh klas buruh dan rakyat Indonesia untuk terus melawan berbagai skema perampasan uang rakyat yang dilakukan negara, menggerakkan seluas-luasnya massa untuk mengambil bagian dalam perjuangan menuntut di revisi PP 46 tahun 2015 dan di cabutnya UU SJSN sebagai sumber masalahnya. (rd-SI1372015)#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item