Polemik Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua: Kepentingan Siapa?

Polemik Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua: Kepentingan Siapa? Di terbitkan oleh : Departeme...

Polemik Diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua: Kepentingan Siapa?

Di terbitkan oleh : Departemen Diklat dan Propaganda DPP GSBI 


Seminggu terakhir, berita tentang terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 46/2015 tentang Jaminan Hari Tua (JHT) memicu polemik dikalangan buruh. Melalui PP 46/2015 pemerintah menetapkan tentang perubahan pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT). Jika sebelumnya, pencairan/klaim dana JHT dapat dicairkan sekaligus dengan kepesertaan 5 tahun 1 bulan, maka melalui PP 46/2015 berubah menjadi : (i) Klaim terhadap nilai keseluruhan JHT hanya dapat dilakukan saat usia pekerja memasuki 56 Tahun (Usia Pensiun), (ii) Klaim terhadap JHT baru dapat dilakukan jika kepesertaan sudah mencapai 10 tahun (sesuai UU SJSN pasal 37 ayat 3) dengan pilihan; (a) Pencairan 10 % untuk keperluan apapun, (b) Pencairan 30% untuk pembiayaan perumahan.

Tentu saja perubahan kebijakan tersebut akan semakin menindas rakyat ditengah krisis yang terus berlangsung, dikarenakan rakyat dipersulit untuk mengakses dana miliknya sendiri. Tidak mengherankan apabila kemudian protes ketidakpuasan atas kebijakan tersebut langsung bermunculan dari berbagai pihak, mulai dari pekerja kantoran hingga buruh yang secara langsung dirugikan akibat kebijakan dari pemerintahan Jokowi.

Merespon berbagai protes yang muncul, Jokowi memanggil Menteri Tenaga Ketenagakerjaan (Menaker) M. Hanif Dhakiri dan Direktur BPJS Ketenagakerjaan Elvin G Masassya, mengumumkan revisi terhadap kebijakan yang telah ditetapkan. Revisi yang dimaksud terletak pada poin bahwa JHT bisa diambil oleh peserta yang terkena PHK atau berhenti kerja. Pengambilan JHT bisa diambil sebulan setelah PHK atau berhenti kerja.

Jika mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), pengambilan dana JHT secara penuh bisa dilakukan jika peserta meninggal, mengalami cacat tetap atau memasuki usia pensiun (Pasal 37 ayat 1). Sedangkan pembayaran manfaat JHT dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 tahun (pasal 37 ayat 3). Sehingga, apabila mengutip pernyataan Jokowi yang akan merevisi PP no 46/2015, yang memungkinkan peserta JHT bisa mengambil seluruhnya sebulan setelah di PHK maupun berhenti kerja maka ini akan memiliki potensi bertentangan dengan Undang-Undang SJSN. Hal tersebut juga secara gamblang telah disebutkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, tentang potensi pelanggaran UU SJSN yang akan terjadi jika pekerja diperbolehkan mengambil JHT secara keseluruhan sebulan setelah di PHK atau berhenti bekerja.

Terlepas dari hal tersebut, rencana revisi atas peraturan yang telah ditetapkan oleh pemerintah menunjukkan betapa rendahnya kredibilitas pemerintahan Jokowi dalam menetapkan sebuah kebijakan. Hal seperti ini bukan kejadian yang pertama, pada awal April 2015, Jokowi juga mengaku tidak membaca keseluruhan isi Perpres 39/2015 tentang Pemberian Fasilitas Uang Muka bagi Pejabat Negara untuk Pembelian Kendaraan Perorangan yang ditandatanganinya, dan kemudian merevisinya.

Dua fakta dalam penetapan kebijakan dan revisinya tersebut telah cukup menjadi bukti bahwa pemerintahan Jokowi ceroboh dalam membuat kebijakan yang menyangkut kehidupan rakyat Indonesia. Ini menunjukkan bagaimana pemerintah asal-asalan dan tidak peka terhadap kesulitan ekonomi yang dihadapi oleh rakyatnya. 


Masalah Utama dalam Polemik PP 46/2015
Sejak awal, penyusunan Sistem Jaminan Sosial Nasional semangatnya telah bertentangan dengan konsep jaminan sosial yang sejati, dimana seharusnya negara bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan dari sistem jaminan sosial rakyat. SJSN yang dikembangkan di Indonesia, secara esensi merupakan model dari bisnis asuransi dengan mengambil atau mengutip sebagian dari upah pekerja. Dengan dalih untuk meringankan beban perusahaan, maka pekerja diharuskan untuk membayarkan sebagian dari premi jaminan sosial melalui upah mereka yang dipotong setiap bulan.

Kongkretnya, dalam pelaksanaan sistem jaminan sosial di Indonesia, negara tidak memiliki kontribusi apapun dalam penyediaan dana jaminan sosial. Semua dana jaminan sosial diambil dari hasil keringat pekerja di Indonesia yang dipotong secara langsung setiap bulannya. Pemerintah dalam hal ini hanya berperan dalam pembentukan Badan Pelaksana Jaminan Sosial (BPJS) melalui UU no 24 tahun 2011 yang akan mengelola semua dana jaminan sosial, dimana dalam implementasinya dibagi menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Jika mencermati aspek kesejarahan dalam lahirnya UU SJSN di Indonesia, tentu tidak dapat dipungkiri bahwa aturan perundangan ini lahir sebagai akibat krisis ekonomi yang berlangsung pada periode 1997-1998. Ketika krisis ini terjadi, pemerintah Indonesia dipaksa menandatangani Letter of Intent (LoI) dengan IMF, dimana salah satu isinya adalah liberalisasi sektor keuangan, artinya pemerintah Indonesia harus menerima proyek hutang dari Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB).

Pada 1998, pemerintah Indonesia dipaksa menerima proyek utang dari ADB; Loan 1618-INO senilai USD 1,4 Miliar melalui program yang diberi nama Financial Governance Reforms: Sector Development Program – FGRSDP. Program ini adalah bagian paket yang ditandatangani pemerintah dalam LoI dengan IMF. FGRSDP adalah program yang fokus dalam merestrukturisasi sektor perbankan dan perbaikan alokasi sumberdaya finansial serta sektor publik dengan penguatan tata kelola, peningkatan transparansi informasi keuangan, penguatan kerangka legal dan regulasi sektor keuangan. 

Kelanjutannya, pada tahun 2000, diera pemerintahan Abdurrahman Wahid kemudian mulai mengusung gagasan tentang sistem jaminan sosial nasional. Hal ini tidak juga tak lepas dari tekanan negara-negara imperialis yang saat itu mengkritik Indonesia sebagai “negara tanpa jaminan sosial”. Proses penyusunan dan pembahasan atas RUU SJSN ini dilanjutkan pada masa kepemimpinan Megawati, sampai akhirnya disahkan pada tahun 2004, diakhir pemerintahan Megawati.

Pada hakekatnya mobilisasi dana yang dilakukan dengan dalih pelaksanaan jaminan sosial seperti saat ini, merupakan kedok pemerintah untuk mengambil dana publik secara paksa ditengah krisis ekonomi, maka mobilisasi dana publik menjadi salah satu upaya untuk mendapatkan dana segar dengan cuma-cuma yang dapat diinvestasikan dalam berbagai bentuk agar sistem ekonomi dapat terus berjalan.

Disinilah mengapa penting pemerintah mengumpulkan dana publik yang angkanya sangat fantastik. Hingga Februari 2015, dana pekerja yang dimobilisasi mencapai Rp 200 triliun lebih, yang didapat dari total peserja BPJS Ketenagakerjaan sejumlah 11.792.981 orang.  Jumlah tersebut naik dari akhir 2014 yang angkanya mencapai Rp. 187,02 Triliun.

Triliunan Rupiah Dana Terkumpul: Untuk Kepentingan Siapa?
UU SJSN mewajibkan seluruh rakyat Indonesia menjadi peserta. Artinya, sekitar 245 juta penduduk Indonesia akan menjadi sasaran dari program ini. Ketika transformasi empat BUMN (Asabri, Taspen, Jamsostek dan Askes) dilakukan, dana yang terkumpul telah mencapai 153 triliun dengan dana kelolaan sebesar 150 triliun. Tepat 1 Januari 2014, BPJS kemudian resmi diberlakukan. Jika menggunakan asumsi seluruh penduduk Indonesia wajib menjadi peserta BPJS Kesehatan, maka akan ada sekitar 158 juta rakyat yang mengiur untuk BPJS Kesehatan, ini setelah dikurangi dengan 86,4 juta rakyat miskin Penerima Bantuan Iuran (PBI). Jika asumsinya menggunakan iuran untuk pelayanan kelas 3 sebesar Rp. 25,500 maka dana yang terkumpul bisa mencapai Rp. 4,020 triliun/bulan atau Rp. 48,34 triliun/tahun. Total dana jaminan kesehatan ini pada tahun ke-10 akan mencapai Rp. 483,40 triliun dan akan terus berkembang.

Didalam White Paper yang disusun oleh Kementerian Keuangan, ADB dan Mitchell Wiener – Spesialis Sektor Keuangan untuk Dana Pensiun Bank Dunia, dijelaskan bahwa Program Jaminan Hari Tua SJSN memiliki potensi untuk menghimpun dana aset dalam jumlah yang sangat besar. Dengan proyeksi besaran iuran JHT yaitu 3 persen dari upah, dimana total upah adalah 35 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), maka aset program JHT pada tahun ke-5 akan mencapai 5 persen dari PDB dan pada tahun ke-20 mencapai 17 persen dari PDB. Sebagai gambaran, PDB Indonesia pada tahun 2014 saja telah mencapai Rp. 10.542,7 triliun.

Pertanyaannya kemudian adalah, untuk apa dana yang sangat besar tersebut? Dalam UU SJSN dan UU BPJS telah diatur tentang hal ini. Pasal 47 (1) UU SJSN menyatakan; “Dana Jaminan Sosial wajib dikelola dan dikembangkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial secara optimal dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, keamanan dana dan hasil yang memadai”. Sedangkan Pasal 11b UU BPJS menyatakan; “menempatkan Dana Jaminan Sosial untuk investasi jangka pendek dan jangka panjang dengan mempertimbangkan aspek likuiditas, solvabilitas, kehati-hatian, kemanan dana dan hasil yang memadai”.

Pemerintah mengklaim bahwa dana tersebut adalah jaminan buat pekerja di hari tua, ketika tertimpa kecelakaan kerja, terkena cacat yang mengakibatkan tidak bisa bekerja hingga jaminan kematian. Sehingga dana tersebut harus disimpan dalam jangka waktu tertentu dan tidak bisa diambil jika tidak memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Bahkan pemerintah juga menjanjikan keuntungan yang akan diperoleh dari simpanan dana tersebut, dengan imbal balik yang besar. BPJS mengklaim pertambahan nilai tahun 2014 di BPJS ketenagakerjaan mencapai 10,5 persen seperti yang disampaikan oleh Kepala Divisi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Abdul Cholik.

Faktanya, dana yang berhasil dihimpun tersebut banyak digunakan dalam investasi sektor keuangan. Berikut daftar instrumen investasi yang digunakan BPJS Ketenagakerjaan untuk mengelola dana pekerja senilai Rp 187,02 triliun hingga 2014 lalu:
Investasi
Nilai (Rp)
2014 (Rp)
Deposito
53,837 triliun
40,190 triliun
Surat Utang
79,52 triliun
64,809 triliun
Saham
37,767 triliun
31,811 triliun
Reksa Dana
14,737 triliun
12,011 triliun
Properti
1,118 triliun
358 miliar
Penyertaan Modal
42 miliar
45 miliar

Jika demikian, sesungguhnya keuntungan terbesar justru akan dinikmati bukan oleh pekerja atau penyimpan dana, tetapi keuntungan besar akan diperoleh oleh para pengusaha maupun perusahaan yang memperolah keuntungan dari penggunaan dana jaminan sosial yang diinvestasikan kedalam berbagai skema. Perusahaan (BPJS) akan memperoleh keuntungan dari investasi yang didapatkan melalui penyaluran dana publik tersebut, sedangkan pengusaha maupun perusahaan keuangan akan terbantu dengan adanya dana milik publik yang bisa mereka akses. Dan ketika model investasi demikian yang menjadi prioritas, maka ini akan menjadi dana segar yang dapat diakses dengan mudah oleh lembaga-lembaga keuangan milik negeri-negeri imperialis, khususnya Amerika Serikat yang tengah tepuruk akibat krisis.
Kesimpulannya, dana SJSN memberikan keuntungan yang besar bagi klas-klas yang selama ini menjadi penikmat keringat rakyat, seperti halnya borjuasi besar komprador, tuan tanah. Dana ini juga menjadi ajang korupsi dari kapitalis birokrat yang memperoleh suntikan modal secara cuma-cuma. Jadi Sistem Jaminan Sosial yang dilaksanakan saat ini tidak memberi manfaat sama sekali terhadap rakyat Indonesia. Dana milik rakyat tidak bisa diakses oleh rakyat, hanya semata untuk memastikan ketersediaan dana publik untuk berbagai proyek investasi.
Jangka waktu yang ditetapkan untuk skema pengambilan dana jaminan sosial merupakan kebohongan pemerintah agar perampasan uang rakyat dapat terus menerus dilakukan. Negara melakukan pengambilan sebesar-besarnya uang rakyat dengan berbagai skema tanpa sekalipun memberikan jaminan terhadap kesejahteraan rakyat maupun kepastian dalam pekerjaan.

Bagaimana Sikap dan Tindakan Rakyat atas Kebijakan ini?
Respon cepat yang dilakukan untuk menolak kebijakan baru pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, adalah sikap dan tindakan yang baik oleh rakyat. Karenanya, penting tindakan yang demikian agar terus dimajukan, terus melawan berbagai skema perampasan uang rakyat yang dilakukan negara. Pemahaman akan pentingnya melawan mesti terus meluas. Rakyat harus terus diberikan pemahaman bahwa watak sesungguhnya dari sistem jaminan sosial yang dijalankan oleh pemerintahan Jokowi-JK adalah perampasan uang rakyat. Tidak ada satu rupiahpun yang dikeluarkan negara ini untuk memberikan jaminan sosial bagi rakyat.

Kelas buruh dan pekerja formal lainnya harus terus diingatkan bahwa setiap bulannya upah atau gaji mereka dirampas, dan perampasan tersebut akan terus semakin masif dan meningkat seiring dengan meningkatnya jaminan sosial yang harus dibayarkan. Sedangkan bagi kaum tani dan pekerja informal lainnya juga harus menyadari bahwa mereka juga akan diambil uangnya agar ikut dengan sistem jaminan sosial yang sedang dijalankan saat ini. Secara bertahap kaum tani maupun pekerja informal lainnya akan dipaksa menjadi peserta JHT dan membayar premi setiap bulan selayaknya BPJS Kesehatan yang saat ini berlangsung.

Kedepannya beban rakyat Indonesia akan semakin berat dengan berbagai tanggungan yang harus dipikul, sedangkan negara tanpa susah payah justru menikmati keuntungan berkali lipat. Oleh karena itu perlawanan atas skema jaminan sosial ini harus terus dilakukan. Karenanya kelas buruh, kaum tani dan pekerja lainya, harus bersatu menuntut pemerintah untuk mencabut undang-undang SJSN sebagai sumber masalahnya, melalui hearing, demonstrasi maupun pemogokan adalah cara-cara yang bisa ditempuh dalam perjuangan ini. Menggerakkan seluas-luasnya massa untuk mengambil bagian dalam perjuangan adalah syarat untuk memenangkan tuntutan kita.

Namun kelas buruh dan kelas pekerja lainya, harus waspada dengan tipu muslihat kalangan yang seolah-olah memperjuangkan kepentingan kelas buruh dan kelas pekerja lainya, tetapi sebenarnya mereka menipu dan membelokkan perjuangan sejati rakyat, dan mengambil keuntungan dengan memanfaatkan kebangkitan gerakan dan perjuangan rakyat. (red372015)#.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item