PP No. 78/2015 tentang Pengupahan: Skema Baru Politik Upah Murah Pemerintahan Jokowi-JK

PP No. 78/2015 tentang Pengupahan; Skema Baru Politik Upah Murah Pemerintahan Jokowi-JK   Penetapan Upah Berdasarkan PP No. 78/2015 tenta...

PP No. 78/2015 tentang Pengupahan;
Skema Baru Politik Upah Murah Pemerintahan Jokowi-JK

 
Penetapan Upah Berdasarkan PP No. 78/2015 tentang Pengupahan
Tepat setelah satu tahun berkuasa, pemerintahan Jokowi-JK mengeluarkan satu kebijakan pengupahan baru. Dalam keterangan pers-nya pada Senin, 26 Oktober 2015, Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri menyatakan bahwa Presiden Jokowi telah secara resmi menandatangani PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Sebelum disahkan, PP Pengupahan ini telah menjadi polemik dikarenakan kebijakan ini dinilai sebagai skema rejim untuk mempertahankan politik upah murah di Indonesia. Peraturan Pemerintah ini akan mulai digunakan untuk menetapkan kenaikan upah tahun 2016 mendatang.

Didalam PP No.78/2015 Pasal 43 (5) dinyatakan bahwa untuk peninjauan komponen kebutuhan hidup layak dilakukan setiap lima tahun sekali. Dengan kata lain, pemerintah hanya akan melakukan peninjauan atas komponen kebutuhan hidup layak yang digunakan sebagai dasar penghitungan upah hanya sekali selama lima tahun. Selanjutnya, kenaikan upah buruh setiap tahunnya akan dihitung berdasarkan formula sebagaimana diatur dalam Pasal 44 sebagai berikut; UMn = UMt + (UMt X (Inflasit + Δ % PDBt). Jadi kenaikan upah tahunan bagi buruh akan berdasarkan pada upah tahun berjalan, ditambahkan dengan upah tahun berjalan dikali dengan inflasi ditambah prosentase pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah mengklaim formulasi upah didalam PP ini lebih memberikan kepastian perlindungan upah terhadap buruh, serta kepastian usaha bagi pengusaha. Akan tetapi benarkah pandangan yang disampaikan oleh pemerintah tersebut? Tulisan dibawah ini akan mencoba mengurai latar belakang dan kepentingan dibalik dilahirkannya aturan baru tentang pengupahan oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Latar Belakang Dibalik Hadirnya PP Pengupahan?
Hal yang tidak dapat dipungkiri saat ini adalah bahwa dinegeri-negeri imperialisme krisis tengah terjadi. Krisis yang terjadi secara berkala pada 1998, dimana di Indonesia berimbas pada runtuhnya dominasi rejim orde baru saat itu. Disusul satu dekade kemudian pada tahun 2008, ketika krisis keuangan juga melanda Amerika Serikat, berlanjut dengan krisis utang pada 2010. Sejak saat itu, situasi krisis tidak pernah menunjukkan tanda-tanda akan terjadi perbaikan. Setidaknya, gelombang krisis telah menghadirkan 27 juta angka PHK di AS, dan bertambah sebanyak 250.000 orang pencari kerja setiap tahunnya.

Krisis yang terjadi bukan dikarenakan negeri-negeri imperialis sedang terbatas dana atau kapitalnya. Justru sebaliknya, terjadi surplus kapital serta surplus barang dagangan di negerinya, dimana surplus ini sudah tidak dapat lagi memberikan nilai baru jika tetap berada di negeri imperialis. Jalan satu-satunya, untuk menghindarkan dari apa yang disebut sebagai pembusukan kapital, maka surplus kapital dan barang produksi tersebut harus dikirim keberbagai negeri, terutama negeri setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia. Di negeri seperti Indonesia, kapital dan barang tersebut akan bisa kembali menghasilkan nilai baru, dan memberikan keuntungan bagi imperialisme.
Agar surplus kapital dan barang produksi yang melimpah tersebut dapat dialirkan, maka negeri-negeri imperialis harus melakukan intervensi kebijakan supaya hambatan-hambatan kebijakan yang selama ini masih mempersulit proses aliran kapital dan barang dapat dihilangkan. Memaksa negara-negara setengah jajahan dan setengah feodal seperti Indonesia mereformasi kebijakan sektor keuangannya, agar mempermudah proses masuknya kapital. Memaksa agar seluruh negara memberlakukan kebijakan pasar bebas secara bilateral maupun regional, sehingga seluruh barang dari negeri imperialis bisa diperdagangkan dengan bebas. Memaksa agar pemerintahan boneka seperti Jokowi-JK mengeluarkan berbagai kebijakan ekonomi yang seluruhnya diabdikan untuk membantu penyelamatan negeri imperialis seperti AS dari krisis.

Belum lama ini, pemerintah secara beruntun telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi I sampai V sebagai upaya pengabdiannya terhadap imperialisme. Didalam Paket Kebijakan Ekonomi I, selama bulan September-Oktober 2015, pemerintah mentargetkan akan merombak 98 peraturan untuk menghilangkan duplikasi, memperkuat koherensi dan konsistensi, serta memangkas peraturan yang menghambat daya saing industri nasional. Hal ini sesuai dengan isi paket kebijakan ekonomi yang menyatakan bahwa pemerintah akan mendorong daya saing industri nasional melalui deregulasi, debirokratisasi, serta penegakan hukum dan kepastian usaha.

Disektor perburuhan, implementasi dari pemangkasan aturan yang menghambat daya saing industri nasional terlihat pada Paket Kebijakan Ekonomi IV terkait ketenagakerjaan, secara lebih khusus membahas tentang formulasi upah buruh. Fleksibilitas pasar tenaga kerja, upah buruh murah yang sudah berlaku di Indonesia dianggap masih belum cukup untuk menjawab kepentingan investasi atas kepastian usaha di Indonesia. Sistem pengupahan yang berlaku dianggap oleh imperialisme masih memberikan peluang besar untuk terjadinya gelombang demonstrasi buruh setiap tahun jelang kenaikan upah, dan dimata investor ini mengganggu iklim investasi. Oleh karenanya, pemerintahan Jokowi kemudian bekerja keras untuk menghadirkan sebuah sistem pengupahan baru bernama PP No.78/2015 yang memiliki peranan ganda, pertama menekan upah buruh serendah-rendahnya, kedua melemahkan secara sistematis gerakan buruh yang berjuang atas perbaikan upahnya.  

PP Pengupahan untuk Kepentingan Siapa?
Ketika paket Kebijakan Ekonomi IV diumumkan, Menakertrans Hanif Dhakiri dengan percaya diri menyatakan bahwa formulasi upah yang dirumuskan oleh pemerintah adalah sebuah kemajuan karena memberikan keuntungan bagi pengusaha maupun buruh. Tentu saja klas buruh tidak boleh membenarkan apa yang keluar dan disampaikan oleh musuhnya. Kenyataan yang sesungguhnya adalah, formulasi upah yang diatur dalam PP Pengupahan hanya memberikan keuntungan bagi pengusaha, tidak ada sama sekali keuntungan bagi buruh.

Melihat PP Pengupahan tentu tidak dapat dipisahkan dengan berbagai kebijakan perburuhan yang ada sebelumnya. Selama satu tahun berkuasa, tidak ada hal baru yang dilakukan rezim Jokowi-JK tentang perbaikan kebijakan pengupahan. Inpres 9/2013 tentang Pembatasan Upah Minimum, Permen 7/2013 tentang Upah Minimum dan Kepmen 231/2003 tentang Tata Cara Penangguhan Pelaksanaan Upah Minimum hasil dari pemerintahan sebelumnya masih tetap diberlakukan. Intensifikasi perampasan upah terhadap buruh juga terus berlangsung melalui BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan. Jika memang pemerintah berpihak kepada buruh, cukup hapuskan saja berbagai kebijakan tersebut, serta bebaskan klas buruh dengan memberikan pembiayaan gratis untuk jaminan sosialnya, tanpa harus dipotong lagi dari upahnya.

Jika pertanyaannya adalah untuk kepentingan siapa, maka tidak lain ini adalah kepentingan pengusaha, dan dalam skala yang lebih besar lahirnya PP Pengupahan ini adalah kepentingan imperialisme. Dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia adalah sumber bahan baku utama bagi produksi imperialisme. Dengan 250 juta lebih jumlah penduduk, Indonesia adalah sumber tenaga kerja murah sekaligus pasar yang strategis bagi barang produksi imperialisme. Harus dipahami, ketika seluruh sumber bahan baku tersedia, bertemu dengan tenaga kerja yang murah, maka biaya produksi untuk membuat suatu barang didalam pabrik akan jauh lebih murah, sehingga keuntungan yang diterima akan semakin besar.

Disisi lain, karakter industri di Indonesia adalah industri yang sangat bergantung dari modal atau investasi asing. Ini dapat dilihat dari perbandingan investasi asing dengan investasi dalam negeri di Indonesia hingga tahun 2014 masih berada pada angka 60:40. Bahkan angkanya terus meningkat dari US$ 18 miliar pada 2013 menjadi US$ 22,6 miliar pada 2014. Artinya, seberapapun keuntungan yang diterima dari industri di Indonesia, tentu saja keuntungan terbesarnya akan menjadi milik asing.

Korelasi kepentingan imperialisme atas PP Pengupahan menjadi terang. Agar terhindar dari pembusukan surplus kapitalnya, mereka butuh tempat untuk berinvestasi, dimana investasi ini harus terjaga keamanan dan keberlangsungannya, serta terus memberikan nilai baru atau melipatgandakan keuntungan. Paket Kebijakan Ekonomi IV Jokowi yang didalamnya mengatur formulasi pengupahan baru di Indonesia telah berhasil menjawab kebutuhan imperialisme, sekaligus memberikan syarat bagi penyediaan buruh murah serta menjaga investasi asing yang ditanamkan tidak terganggu dengan aksi-aksi klas buruh setiap tahunnya.

Dampak PP Pengupahan bagi Klas Buruh Indonesia dan Kenapa PP Pengupahan Harus Dicabut?
Secara ekonomi, disahkannya PP Pengupahan tentu akan semakin memasifkan perampasan upah terhadap klas buruh. Menghitung kenaikan upah hanya bersandar pada inflasi serta pertumbuhan ekonomi semata tidak ada bedanya dengan membatasi kenaikan upah buruh dibawah 10 persen per tahun. Angka inflasi, meskipun berkorelasi dengan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok akan tetapi faktanya kenaikan harga-harga kebutuhan pokok jauh melampaui angka inflasi, ambil contoh inflasi 5% kenaikan harga-harga kebutuhan pokok bisa mencapai 100%. Selama ini pemerintah tidak pernah mempunyai upaya nyata dalam membantu kehidupan buruh untuk melakukan kontrol atas harga. Jika harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi, tentu nilai upah yang diterima oleh buruh tidak akan sebanding dengan beban untuk memenuhi kebutuhan pokoknya. Hasil studi internal organisasi menunjukkan, lebih dari 60% dari total upah yang diterima oleh buruh digunakan untuk memenuhi konsumsi kebutuhan pokoknya.

Jika demikian, bagaimana klas buruh di Indonesia bisa mendapatkan upah yang lebih baik jika inflasi dijadikan parameter untuk penetapan upah. Jika inflasinya tinggi, sudah pasti kenaikan harga juga lebih tinggi. Jika kenaikan harga tinggi, seberapapun kenaikan upah tentu akan terampas kembali oleh harga barang.

Selain inflasi, formulasi upah didalam PP Pengupahan juga dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi. Ditengah situasi krisis global yang melanda seluruh negeri, tren pertumbuhan ekonomi juga akan mengalami pelambatan. Sejak lima tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi global angkanya tidak pernah melebihi 4%, bahkan di Amerika sendiri pertumbuhan ekonominya mendekati nol persen, atau tidak tumbuh sama sekali. Jika pemerintah Indonesia selalu mengklaim memiliki pertumbuhan ekonomi yang tinggi hingga 6%, tentu hal ini patut dipertanyakan. Jikapun benar terjadi pertumbuhan ekonomi, pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi ini. Karena negeri ini dibangun dari dana hasil pinjaman, sebesar apapun pertumbuhan ekonominya tidak akan pernah mempunyai arti penting bagi rakyat Indonesia. Bahkan pada semester kedua tahun ini, proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali dikoreksi pada angka 4,9%. Artinya, kontribusi pertumbuhan ekonomi untuk kenaikan upah buruh tahun 2016 kemungkinan hanya akan berada pada kisaran 5%. Jika diasumsikan inflasi berada pada angka 5%, maka upah tahun 2016 hanya akan naik sebesar 10% saja.

Hasil survei KHL yang dilakukan oleh GSBI dan beberapa serikat buruh lain dibeberapa kota/kabupaten menunjukkan bahwa seharusnya kenaikan upah untuk tahun 2016 berada pada kisaran 25-30%, akan tetapi apabila kenaikan upah tahun 2016 didasarkan pada formula penetapan kenaikan upah sebagaimana diatur didalam PP No. 78/2015, hampir dapat dipastikan kenaikan upah hanya berkisar 10%.

Diaspek politik, disahkannya PP Pengupahan memberikan dampak yang jauh lebih berbahaya. Formulasi yang telah ditetapkan melalui peraturan ini akan membatasi kesempatan bagi buruh untuk berjuang menentukan upahnya. Dalam pernyataan yang sama paska Paket Kebijakan Ekonomi IV diluncurkan, pemerintah menyatakan bahwa formulasi upah ini akan meredam “kegaduhan” yang selama ini terjadi setiap tahun menjelang kenaikan upah. Ini sejalan dengan Paket Kebijakan Ekonomi I yang secara tegas memberikan jaminan kepastian bagi investor. Jaminan kepastian yang disebut dalam hal ini adalah, investasi yang ditanamkan tidak mengalami gangguan, karena situasi keamanan yang kondusif. Sama artinya, bahwa setiap investasi yang ditanamkan harus bebas dari pemogokan maupun aksi-aksi demonstrasi, sehingga peranan aparat kepolisian dan tentara mutlak dibutuhkan.

Sejak era pemerintahan SBY, upaya tindasan terhadap kebebasan berserikat, termasuk menyampaikan pendapat serta pemogokan klas buruh telah disingkirkan secara sistematis. Penetapan kawasan industri dan perusahaan menjadi Objek Vital Nasional Indonesia (OVNI) adalah salah satu langkah yang dilakukan dalam rangka terus menarik investasi agar terus masuk ke Indonesia. Melalui paket kebijakan ekonominya, Jokowi semakin melapangkan jalan bagi investasi dengan memberikan berbagai kemudahan fasilitas berupa ijin investasi cukup 3 jam, insentif pengurangan pajak maupun keringanan biaya listrik untuk industri. Kedepan, aksi-aksi pemogokan yang dilakukan oleh klas buruh tidak akan menjadi mudah dengan skema yang demikian.

Selain itu PP No. 78/2015 juga mengancam kebebasan berserikat bagi buruh, sebab didalam pasal 24 ayat 4 dinyatakan bahwa pengurus serikat buruh yang akan menjalankan tugas serikat harus mendapatkan persetujuan dari pengusaha dan dibuktikan secara tertulis. Pengalaman selama ini pengurus serikat pekerja/serikat buruh yang hendak menjalankan tugas/kegitan serikat sangat sulit mendapatkan persetujuan dari pihak pengusaha. Jika perusahaan tidak memberikan persetujuan maka pengurus serikat tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pengurus, dan apabila pengurus serikat memaksakan diri manjalankan tugasnya maka akan dianggap mangkir. Konsekuensinya selain dipotong upahnya juga terancam mendapatkan sanksi berupa SP, bahkan bisa di-PHK. Artinya PP ini selain bertentangan dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 juga bertentangan dengan UU nomor 21 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.

Inilah yang menjadi landasan obyektif bagi organisasi dan klas buruh di Indonesia kenapa PP No.78/2015 harus dicabut. Karena secara ekonomi maupun politik, peraturan ini merampas hak sosial-ekonomi dan hak politik (hak normatif) buruh dan tidak akan memberikan kebaikan sama sekali terhadap klas buruh di Indonesia.

Satu tahun pemerintahan Jokowi-JK telah memberikan bukti nyata bahwa rejim ini tidak memiliki syarat untuk memperbaiki kondisi rakyat Indonesia. Terlebih ketika Jokowi mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi dimana salah satu paket tersebut mengatur formulasi upah baru di negeri ini.

Bagi klas buruh, kebijakan baru Jokowi ini adalah amunisi baru untuk terus memperterang siapa sesungguhnya pemerintahan Jokowi-JK. Ini bukanlah pemerintahan nasionalis, rejim ini tidak berbeda dengan rejim yang pernah ada sebelumnya, yang hanya setia untuk menjadi pelayan imperialisme dan tidak akan pernah menunjukkan keberpihakannya kepada rakyat Indonesia. Pengabdian kepada tuan imperialisme, khususnya Amerika ditunjukkan oleh Jokowi dengan lawatannya ke AS beberapa hari yang lalu, paska mengeluarkan lima paket kebijakan ekonomi, serta ditengah tuntutan rakyat di Sumatera dan Kalimantan yang tengah dikepung asap dampak pembakaran hutan. Kunjungan Jokowi ke AS tidak lebih sebagai upaya untuk kembali menarik investasi dari AS melalui skema kerjasama bilateral Indonesia-AS.

Momentum lahirnya PP Pengupahan ini harus digunakan oleh klas buruh sebaik mungkin untuk secara kontinyu mengkampanyekan persoalan-persoalan buruh dan rakyat secara umum. Pergunakan isu tentang PP Pengupahan sebagai bahan diskusi internal dalam organisasi untuk mendidik seluruh pimpinan dan anggota, agar memahami karakter pemerintahan Jokowi-JK melalui skema-skema kebijakan yang dikeluarkan. Pekerjaan pendidikan yang diselenggarakan harus mengabdi kepada kepentingan untuk memajukan kesadaran seluruh anggota organisasi tanpa terkecuali.

Bagian selanjutnya, pengesahan PP Pengupahan oleh Jokowi harus menjadi isu dan menjadi bahan perjuangan bagi klas buruh. Berbagai bentuk aksi, penting untuk diselenggarakan guna menyuarakan pencabutan terhadap PP Pengupahan mulai dari tingkat pabrik hingga nasional.
 
Mempererat Persatuan dan Solidaritas Sesama Buruh dan Rakyat Tertindas Lainnya
Klas buruh harus menyadari bahwa tanpa persatuan yang kuat diantara sesama buruh dan rakyat tertindas lainnya, kebijakan tentang pengupahan sebagaimana diatur dalam PP No.78/2015 yang menghisap dan menindas buruh tidak akan dapat dibatalkan atau dicabut kembali oleh pemerintah Jokowi. Atas dasar itulah maka buruh harus bersatu dan berjuang bersama-sama melawan kebijakan Jokowi yang anti buruh dan anti rakyat. Pertentangan diantara buruh akan sangat merugikan bagi buruh dan menguntungkan pengusaha, dan kebijakan tersebut akan sukses dijalankan oleh pemerintah.

Selain bersatu dan berjuang dengan sesama buruh, kita juga harus bisa bersatu dan berjuang dengan rakyat tertindas dan terhisap lainnya. Sebab persatuan diantara seluruh klas, sektor dan golongan rakyat tertindas dan terhisap adalah kunci sejati keberhasilan perjuangan klas buruh Indonesia.  

Selama Indonesia masih dibawah dominasi imperialisme dan dipimpin oleh pemerintahan boneka, maka krisis ekonomi akan semakin tajam dan kronis. Krisis ini tentu saja akan melahirkan penindasan dan penghisapan yang semakin dalam bagi buruh dan rakyat Indonesia. Dan hanya serikat buruh sejati yang besar dan kuatlah yang akan mampu melawan segala bentuk penindasan dan penghisapan serta dapat memperjuangkan kepentingan dan hak-hak klas buruh Indonesia. (gsbi2015)#


Selamat Bekerja dan Berjuang!
Tingkatkan Pengetahuan, Perkuat Persatuan!
Galang Solidaritas Lawan Penindasan dan Penghisapan!



Di terbitkan Oleh :
Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP.GSBI)
Jl. Cempaka Baru V No.30A Rt.001/07, Kel. Cempaka Baru
Kemayoran, Jakarta Pusat,10640. INDONESIA.
Telp/ Fax :  +6221.4223824
Email: gsbi_pusat@yahoo.com dan infogsbi@gmail.com
Website : http://www.infogsbi.org

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item