Sedikit Sejarah Perkebunan Sumatera

Sedikit Sejarah Perkebunan Sumatera : INFO GSBI. Sumatera Timur sampai pertengahan abad ke-19 didiami oleh kelompok etnis Melayu, Batak K...

Sedikit Sejarah Perkebunan Sumatera :
INFO GSBI. Sumatera Timur sampai pertengahan abad ke-19 didiami oleh kelompok etnis Melayu, Batak Karo, dan Batak Simalungun. Mereka inilah yang dikenal sebagai penduduk asli Sumatera Timur. Etnis Melayu Pesisir Sumatera Timur mendiami daerah Pantai Sumatera Timur yang membentang dari perbatasan Aceh (Tamiang) sampai ke Kerajaan Siak. Yang dimaksud dengan etnis Melayu adalah golongan bangsa yang menyatukan dirinya dalam pembauran ikatan perkawinan antar-etnis serta memakai adat Resam dan Melayu secara sadar dan terus-menerus. Etnis Melayu mayoritas beragama Islam, sehingga dikenal istilah “masuk Melayu sama dengan masuk Islam”.

Sampai pada pertengahan abad ke 19, di Sumatra Timur terdapat se-jumlah kerajaan kecil di daerah pesisir dan terdapat lebih banyak di daerah pedalaman. Wilayah kerajaan-kerajaan ini menjadi rebutan dan pengaruh antara Aceh di Utara dan Johor di Malaya.

Memasuki abad ke-20, pemerintah Belanda mulai menaklukkan wilayah Simalungun dan Tanah Karo, Batak Toba dan Dairi. Antara tahun 1870-1942 wilayah dan penduduk dari 41 kerajaan di Sumatera Timur telah digabungkan ke dalam jaringan birokrasi pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Semua kontrak politik yang ditandatangani antara kedua belah pihak, akhirnya telah mereduksi jumlah kerajaan itu menjadi 34 kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu telah diberi batas-batas wilayah tertentu dan secara bersama-sama digabungkan sebagai Residensi Sumatera Timur. Pada tahun 1915, Residensi Sumatera Timur dinaikkan statusnya menjadi Propinsi Sumatera Timur yang membawahi lima afdeling, yaitu Deli en Serdang, ibukotanya Medan, Langkat ibukotanya Binjai, Simalungun ibukotanya Siantar, Asahan ibukotanya Tanjung Balai, dan Bengkalis ibukotanya Bengkalis.

Dengan adanya penataan wilayah kerajaan Sumatera Timur, maka Belanda secara otomatis telah memasukkan daerah Sumatera Timur ke dalam struktur birokrasi kolonial yang berpusat di Batavia. Hal ini artinya Belanda telah berhasil menyatukan wilayah kerajaan yang belum pernah memiliki kesatuan politik dan administratif. Belanda pun secara tidak langsung telah memberi indentitas baru kepada daerah pesisir Sumatera Timur dan menghubungkan daerah itu dengan Jawa.

Perkebunan merupakan   aspek terpenting dalam pemandangan ekonomi di Indonesia pada masa kolonial sampai sekarang. Usaha perkebunan yang semula diadakan di Jawa itu, menjelang akhir abad ke-19 mulai dikembangkan dan meluas di luar pulau Jawa, khususnya Sumatera. Perluasan usaha perkebunan itu nampaknya sejalan dengan proses ekspansi dan pasifikasi kekuasaan kolonial Belanda di wilayah nusantara dalam rangka menerapkan kebijakan politik Pax Neerlandica-nya yang sukses.

Orang pertama yang pantas disebut dalam pembicaraan tentang sejarah perkebunan di Sumatera Timur adalah J. Nienhuys. Ia datang ke Deli tahun 1863 untuk menetap sebagai pengusaha dan menjadi peletak dasar budidaya tembakau yang mengantarkan Sumatera Timur terkenal ke seluruh dunia. Sejak datangnya Nienhuys sampai 1890 adalah masa berkembangnya perkebunan tembakau di Sumatera Timur. Pada tahun 1872, lima belas perkebunan tembakau telah berdiri di Sumatera Timur; 13 di Deli, 1 di Langkat dan 1 di Serdang. Investasi modal Eropa berkembang pesat. Dalam satu tahun antara 1869-1870 produksi tembakau telah meningkat dua kali lipat dari 1381 sampai 2868 bal. Dalam sepuluh tahun antara tahun 1873-1883 hasil tembakau meningkat 10 kali lipat dari 9238 menjadi 93.532 bal. Penghasilan perkebunan juga meningkat dari f. 2.500.000 menjadi f. 19.150.000 . Sampai tahun 1884 ada sejumlah 76 perkebunan, 44 di Deli, 20 di Langkat, 9 di Serdang, 2 di Bedagai dan 1 di Padang. Hanya dalam waktu 25 tahun setelah Nienhuys, daerah rawa Sumatera setelah Nienhuys, daerah rawa Sumatera Timur telah berubah menjadi kawasan perkebunan besar/
Era perkebunan tembakau kemudian digantikan dengan tanaman keras seperti karet, sawit, dan teh.

Perkebunan karet pertama didirikan di Serdang tahun 1902. Usaha perkebunan di Sumatera Timur dirintis pertama kali oleh Jacobus Nienhuys, seorang pengusaha Belanda, yang berkesimpulan bahwa tanah di daerah itu sangat cocok untuk usaha perkebunan, selain itu juga tanaman tersebut memiliki prospek yang sangat menguntungkan dalam pasaran dunia. Pada tahun 1863, Nienhuys memperoleh tanah seluas 4.000 bau (bouw) dari Sultan Mahmud, penguasa Deli, untuk membuka usaha perkebunan tembakau. Usaha Nienhuys itu ternyata berhasil, karena lahan di daerah tersebut mampu menghasilkan daun tembakau pembungkus cerutu yang halus dan mahal harganya di pasaran dunia.

Melihat usaha yang menguntungkan dari Nienhuys itu, maka kemudian banyak pengusaha perkebunan Eropa lainnya, seperti Inggris, Perancis, Amerika Serikat, dan Swiss, yang tertarik untuk menanamkan investasi dan mengambil keuntungan dalam bidang perkebunan di daerah Sumatera Timur. Pemerintah kolonial Belanda sendiri, tentu saja, mendorong dan membuka pintu lebar-lebar bagi masuknya investasi dan modal asing swasta itu sesuai dengan politik liberalnya. Ditambah lagi oleh suatu kenyataan bahwa ketergantungan pemerintah kolonial pada pajak tanah dan pajak perorangan, semakin lama semakin berkurang. Sehingga sekarang lebih mengandalkan pada pajak keuntungan dari sektor usaha perkebunan.

Keberhasilan usaha perkebunan di Sumatera Timur, sebenarnya tidak bisa dilepaskan juga dari keberhasilan perusahaan-perusahaan Belanda dalam melakukan negosiasi dan mempengaruhi para penguasa lokal di daerah itu  seperti Sultan Deli, Serdang, dan Langkat agar mau mengadakan perjanjian dan menandatangani kontrak jangka panjang untuk menyediakan lahan perkebunan yang luas. Seperti telah disebutkan bahwa Nienhuys mula-mula berhasil memperoleh tanah seluas 4.000 bau itu dengan masa sewa selama 20 tahun dan biaya sewa yang sangat murah. Usaha itu kemudian diikuti oleh para pengusaha perkebunan Eropa lainnya, sehingga wilayah di Sumatera Timur itu telah menjadi “lautan perkebunan” yang luas.

Dengan beralihnya perkebunan tembakau ke perkebunan karet, maka tenaga kerja beralih dari kuli kontrak Cina ke kuli kontrak Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kuli kontrak Jawa sangat menguntungkan berdasarkan kondisi objektif (orang Jawa juga terkenal memiliki tenaga yang kuat, gigih dalam bekerja, tidak mudah protes  dan mudah di intervensi) maupun geografis (orang Jawa telah terbiasa menanam tanaman keras, sejak masa cultuurstesel, hal ini sangat menguntungkan karena orang Jawa sudah mamahami tentang tanaman keras). Walaupun indusri karet mempekerjakan kuli-kuli kontrak Jawa namun  penguasaan kuli-kuli kontrak Jawa oleh pengusaha perkebunan karet pada tahun 1914  telah mului dihapuskan. Padahal koeli ordonantie (1915) menyatakan pelaksanaan Poenale Sanctie dapat dihapuskan dengan kemauan atau pemakluman Gubernur Jenderal.

Perkembangan perusahaan-perusahaan asing di Sumatera Timur sangat memerlukan tenaga kerja manusia. Pembukaan hutan dan penebangan pohon-pohon besar, pembuatan saluran air, pengelolaan tanah penanaman tembakau dan sebagainya sangat memerlukan tenaga manusia. Sulitnya mencari tenaga kerja sudah diketahui sejak semula. Para pengusaha perkebunan mengetahui penduduk asli tidak bersedia bekerja di perkebunan dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan. Penduduk setempat Sumatera Timur tidak diambil sebagai pekerja di perkebunan, baik karena jumlah mereka yang tidak cukup besar maupun karena psikologis mereka itu tidak senang bekerja diperkebunan. Akhirnya mereka tergantung pada buruh yang didatangkan dari luar, berawal dari buruh Cina lalu buruh Jawa.
 Keberhasilan mereka mengeksploitasi lahan adalah apabila tersedianya tenaga manusia. Sumatera yang mempunyai lahan yang luas sedangkan penduduknya sedikit menjadi masalah tersendiri. Rakyat Sumatera pada  umumnya memiliki tanah yang luas. Dalam masalah ekonomi mereka bukanlah termasuk ekonomi lemah. Mereka lebih suka bekerja di lahannya sendiri.

Pertumbuhan perusahaan-perusahaan perkebunan di Sumatera Timur berjalan dengan sangat pesat. Perkembangan dan perluasan daerah-daerah perkebunan, diikuti pula oleh kebutuhan tenaga buruh yang semakin meningkat. Hal ini menyebabkan terjadinya persaingan dalam usaha mendapatkan tenaga buruh. Pada awalnya para perantara ini mengambil tenaga buruh yang rajin dan terampil, tetapi setelah permintaan jumlah tenaga buruh makin meningkat, mereka tidak lagi memilih buruh yang akan dibawa. Untuk itu dibangunlah AVROS sebagai perekrut tenaga kerja.

Dengan demiklan, pada hakekatnya AVROS sangat memegang peranan panting dalam membantu meringankan beban anggotanya untuk mengatasi kakurangan tenaga kerja dan lahan yang diperlukan untuk kemajuan perkebunan. Sesungguhnya organisasi perkebunan didirikan tidak terlepas dari kebijaksanaan sistem liberal pemerintah kolonial Belanda terhadap sumber daya manusia yang harus diatur.

Peranan AVROS sebagai organisasi penyalur tenaga kerja di perkebunan dalam menunjang hubungan tenaga kerja, pengusaha dan pemerintah di Sumatera Timur. AVROS sebagai organisasi penyalur tenaga kerja di perkebunan diharapkan mampu menjelaskan hubungan perkebunan dengan tenaga kerja tembakau dalam mengatasi kekurangan tenaga kerja, hubungan perkebunan dengan pengusaha untuk memberi lahan dan bibit yang dibutuhkan serta hubungan perkebunan dengan pemerintah (pengusaha) untuk membantu usaha-usaha mendapatkan konsesi tanah perkebunan.

Berbagai peristiwa yang menyedihkan terjadi dalam masyarakat perkebunan setelah jumlah tenaga buruh semakin ramai. Sejak permulaan Nienhuys membuka usaha perkebunannya, ia sudah melakukan tindakan-tindakan sesuka hati. Perkara yang paling penting bagi Tuan Kebun ialah keinginan untuk memperoleh hasil yang tinggi. Mereka tidak mengenal arti sabar.

Selain itu timbul pula masalah buruh dari semenanjung yang sudah diberi uang panjar, tetapi tidak sampai di perkebunan tempat bekerja. Ada yang sudah sampai tetapi malas bekerja dan sering pula terjadi perkelahian antara sesama buruh, lari dan sebagainya. Perkara-perkara yang timbul akibat lari, kurang kuat bekerja, perkelahian dan sebagainya itu membuat mereka harus diadili. Dalam hal ini Tuan-Tuan Kebun sangat berat hati mengirim mereka untuk diadili di Mahkamah Sultan. Dasar pemikiran mereka ialah, semua buruh harus ada di perkebunan dan bekerja untuk meningkatkan produksi setinggi mungkin. Apapun yang terjadi di luar perkebunan asal tidak mengganggu kelancaran produksi, mereka tidak peduli.

Sultan memberi kelonggaran bagi Tuan-Tuan Kebun untuk mengadakan semacam pengadilan dan hakim sendiri. Diputuskan bahwa semua orang yang bekerja di perkebunan, asal etnik apapun yang bukan warga asli Raja-raja setempat, berdasarkan kelahiran mereka di Sumatera Timur, dikeluarkan dari yurisdiksi atau pengadilan penguasa lokal dan ditempatkan di bawah yurisdiksi dan administrasi langsung pemerintahan Hindia Belanda.

 Praktek negara dalam negara itu berjalan sejak Nienhuys dan Tuan-Tuan Kebun menganggap “fasilitas” itu sudah cukup serasi. Bila ada buruh yang malas bekerja Tuan Kebun bisa memberikan hukuman penjara. Oleh karena hukuman penjara itu memboroskan waktu dan tenaga buruh menjadi mubazir, maka kebiasaan bagi Tuan Kebun main tendang dan pukul saja dan selepas itu mereka disuruh bekerja kembali.

Pihak perkebunan merasa puas dengan adanya kebebasan mengadili sendiri semua peristiwa ringan maupun berat yang terjadi dalam “wilayah” perkebunan. Akan tetapi status orang-orang Belanda yang berada di perkebunan adalah warga pemerintahan Hindia Belanda maka mereka harus mempunyai hukum yang sah menurut undang-undang. (red)#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item