Laporan Lengkap Rekomendasi ILO untuk Kasus 1300 buruh Pabrik Sepatu Adidas dan Mizuno PT PDK

Laporan Lengkap Rekomendasi ILO untuk Kasus 1300 buruh Pabrik Sepatu Adidas dan Mizuno PT PDK. di Terbitkan oleh : Dewan Pimpinan Pusat G...


Laporan Lengkap Rekomendasi ILO untuk Kasus 1300 buruh Pabrik Sepatu Adidas dan Mizuno PT PDK.
di Terbitkan oleh : Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Indonesia (DPP GSBI).
 
Berikut ini adalah Laporan Interim—Laporan No. 380, Oktober 2016[1] yang di terbitkan resmi oleh ILO di Jenewa -Swiss untuk kasus 1300 buruh pabrik sepatu Adidas dan Mizuno PT PDK kota Tangerang Banten-Indonesia.

1300 buruh PT PDK di PHK sejak tahun 2012, sudah 5 tahun berjuang untuk hak dan keadilannya.

Dokumen yang DPP GSBI terbitkan ini adalah dokumen resmi yang telah di terjemahkan oleh Dina Septi dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS). Dokumen asli dapat dirujuk ke: http://www.ilo.org/dyn/norml/en/f?p=1000:50001:0::NO::P50001_COMPLAINT_FILE_ID:3240020:NO

Dugaan: Organisasi yang membuat aduan menduga pemecatan oleh perusahaan PT Panarub Dwi Karya terhadap para pimpinan serikat buruh, pembatasan atas penggunaan hak untuk mogok dengan menggunakan kekuatan polisi dan paramiliter terhadap buruh yang sedang mogok, pemecatan anggota serikat buruh dan buruh lainnya karena berpartisipasi dalam pemogokan dan campur tangan pengusaha dalam urusan serikat buruh dengan cara mengintimidasi buruh untuk mengubah afiliasi serikatnya agar lebih memilih serikat yang lebih didukung oleh manajemen perusahaan.
  1. 562. Aduan dimuat dalam komunikasi dengan Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) tertanggal 27 February 2015.
  2. 563. Pemerintah mengirimkan observasinya dalam komunikasi tertanggal 4 Maret 2016.
  3. 564. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Kebebasan Berserikat dan Perlindungan terahdap Hak untuk Berserikat, 1948 (No. 87), dan Konvensi Hak untuk berorganisasi dan Konvensi tentang Perjanjian Bersama, 1949 (No. 98).
A. Dugaan yang membuat Aduan
  1. 565. Dalam komunikasi tertanggal 27 Februari 2015, GSBI menduga pemecatan oleh perusahaan PT Panarub DwiKarya terhadap para pemimpin serikat,  pembatasan atas penggunaan hak untuk mogok dengan menggunakan kekuatan polisi dan paramiliter terhadap buruh yang sedang mogok, pemecatan anggota serikat buruh dan buruh lainnya karena berpartisipasi dalam pemogokan dan campur tangan pengusaha dalam urusan serikat buruh dengan cara mengintimidasi buruh untuk mengubah afiliasi serikatnya agar lebih memilih serikat yang lebih didukung oleh manajemen perusahaan. Yang membuat aduan mengindikasikan bahwa dugaan yang terkait dengan Pimpinan Tingkat Perusahaan  Serikat Buruh Garmen Tekstil dan Sepatu- PTP SBGTS GSBI PT Panarub Dwi Karya, yang berafilisasi dengan pihak yang membuat aduan, yang memproduksi sepatu di Kota Tangerang, Provinsi Banten, dan pada 2012 mempekerjakan 2650 buruh, 90 persennya adalah perempuan.
  2. 566. Secara khusus, Pihak yang membuat aduan menyatakan bahwa PTP SBGTS GSBI PT PDK didirikan pada tanggal 24 Februari 2012 dan didaftarkan pada 14 Maret 20112 dengan 610 anggota. Tidak lama setelah pendaftarannya, manajemen perusahaan memecat sembilan pimpinan serikat: buruh satu per satu dipanggil oleh manajemen dan diberi tahu bahwa dalam rangka meningkatkan efisiensi perusahaan mereka akan dipecat, bahkan meskipun sesuai dengan Pasal 164 (3) Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dan Keputusan MK No. 19/PUU-IX/2011, salah satu persyaratan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena rasionalisasi (efisiensi) adalah bahwa perusahaan tutup sementara atau selamanya, yang, menurut Pihak yang membut aduan bukanlah yang terjadi saat itu. Dari sembilan pimpinan, lima di antaranya menerima PHK dan empat lainnya menolak: Kokom Komalawati (Ketua Serikat), Harta, Jamal Fikri dan Dedi Sutomo. Harta dan Dedi Sutomo menerima PHK setelah mediasi dengan Kantor Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Tangerang dan Jamal Fikri menerima PHK pada bulan Agustus 2013. Kokom Komalawati belum menerima PHK dan kasusnya masih berada di Mahkamah Agung.
  3. 567. Pihak yang membuat aduan mengindikasikan bahwa pada tanggal 15 Februari 2012, Direktur Produksi perusahaan, yang juga mantan hakim ad hoc di Mahkamah Agung, menelpon Kokom Komalawati dan menawarkan untuk memindahkannya ke divisi yang lebih baik, yang, menurut pihak yang membuat aduan, adalah satu usaha untuk mempengaruhinya untuk menolak PTP SBGTS GSBI PT PDK. Direktur Produksi mengatakan kepada buruh bahwa ia tidak menyetujui pendirian serikat itu karena politik GSBI, ditambah lagi, ia hanya akan mengizinikan Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) untuk ada di pabrik itu dan juga menyebutkan satu rencana untuk mendirikan sebuah serikat lain. Pihak yang membuat aduan menginformasikan bahwa pada tanggal 23 February 2012, Kokom Komalawati diminta untuk bergabung ke SPN yang hal ini bertentangan dengan Pasal 28 Undang-Undang NO. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Buruh/Serikat Pekerja yang menyatakan bawha:
Siapapun dilarang menghalang-halangi atau memaksa pekerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus atau tidak menjadi pengurus, menjadi anggota atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara :
a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi;
b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh;
c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun;
d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh.
  1. 568. Pihak yang membuat aduan lebih jauh menyatakan bahwa terdapat kekurangan upah yang jumlahnya besar di dalam pabrik selama periode Januari sampai Maret 2012 dan kondisi kerja yang semakin buruh sejak awal 2012 ketika perusahaan menerapkan suatu sistem produksi baru—one piece flow—untuk meningkatkan produksi dengan secara bertahap mengurangi jumlah buruh. Dalam satu kasus, jumlah tenaga kerja di dalam line jahit adalah 48 orang untuk target produksi sebesar 140 pasang sepatu per jam, kemudian dikurangi menjadi 40 dan kemudian 34 buruh yang harus mencapai target produksi yang sama. Pihak yang membuat aduan menyatakan bahwa sistem produksi ini memberikan tekanan yang lebih besar kepada buruh dan membuat mereka takut, karena sistem ini mengurangi waktu buruh untuk meninggalkan sel kerjanya; buruh yang berusaha untuk istirahat untuk sholat, minum atau ke toilet akan meningkatkan beban kerja. Target produksi yang dibarengi dengan disiplin yang lebih ketat yang diterapkan oleh mandor dan pengawas; buruh dianggap bekerja terlalu lambat akan dihukum dengan teriakan, sumpah serapah atau PHK dan mereka yang tidak masuk kerja karena sakit atau alasan lain dipaksa untuk berdiri di depan line selama satu jam. Selain itu, setiap buruh dipaksa untuk menghadiri pertemuan selama 10 sampai 20 menit sebelum dan sesudah bekerja, yang membuat mereka harus sampai di tempat kerja lebih awal dari biasanya tetapi tanpa bayaran. Terhadap usul yang disampaikan oleh perwakilan serikat, manajemen setuju untuk melakukan negosiasi tentang kondisi kerja yang memburuk dan kekurangan upah tetapi kemudian secara sepihak membatalkan tanggal dan waktu yang sudah disetujui untuk melakukan negosiasi hanya dengan mengirimkan pesan singkat. Pembatalan negosiasi secara sepihak oleh manajemen ini dibarengi dengan kondisi kerja yang terus memburuk sehingga memicu mogok dari tanggal 12 sampai 23 Juli 2012 dalam mana 2000 buruh pabrik terlibat, menutut dibayarkannya kekurangan upah dan perbaikan kondisi kerja.
  2. 569. Selama pemogokan, buruh, yang kebanyakan adalah perempuan, yang sebagian juga sedang hamil, dikonfrontasi oleh satpam dan petugas polisi dan kelompok paramiliter (preman) dari Badan Pembina Potensi Keluarga Besar (BPPKB) Banten, Barisan Serbaguna (Banser), Masyarakat Pabuaran dan dari Surabaya. Pihak yang membuat aduan menduga bahwa pasukan-pasukan ini berusaha menghentikan mogok dengan paksa dan menembakkan gas air mata ke buruh yang sedang mogok, mendorong, memukul dan melempari mereka dengan benda tumpul, akibatnya dua perempuan jatuh pingsan dan 32 lainnya terluka. Pada tanggal 19 Juli 2012, ketika perwakilan buruh melakukan dengar pendapat dengan perwakilan brand di Jakarta, 75 buruh yang ikut dalam mogok digiring ke halaman oleh manajemen dan dipaksa untuk berdiri di bawah terik matahari dan membuat pernyataan untuk tidak ikut dalam aksi protes apapun dan mengundurkan diri dari keanggotaan serikat dan dari perusahaan.
Lebih jauh lagi, pada hari kelima mogok, manajemen tidak mengizinkan buruh untuk bekerja, mengumumkan bahwa mogok hari itu adalah ilegal dan dengan paksa menyatakan bahwa 1300 buruh yang sedang mogok harus mengundurkan diri meskipun kemudian perusahaan mempekerjakan kembali sebagian dari mereka sebagai buruh baru. Pada tanggal 20 Juli 2012, manajemen mendirikan Serikat Pekerja Independen dan setiap pekerja masih bekerja di perusahaan wajib menjadi anggota SPI dan mengundurkan diri dari keanggotaannya di SBGTS GSBI PT PDK ataupun SPN. Pihak yang membuat aduan mengindikasikan bahwa manajemen menyewa pasukan paramiliter (preman) untuk membuat buruh bergabung dengan serikat baru dan untuk memaksa mereka untuk menyerahkan kartu anggota serikat yang asli. Pada Oktober 2012, SBGTS GSBI PT PDK menggelar protes menuntut dipekerjakan kembalinya 1300 buruh tetapi aksi itu dibubarkan oleh buruh lainnya, diduga yang dimobilisasi oleh manajemen, yang menggunakan senjata tumpul seperti kayu dan batu, yang melukai 11 buruh. Pihak yang membuat aduan lebih jauh membenarkan bahwa PHK 1300 buruh memiliki konsekuansi penting dalam hidup mereka: beberapa anak buruh harus putus sekolah karena mereka tidak mampu membayar uang sekolah, beberapa buruh diusir dari rumah kontrakan karena tidak mampu membayar sewa dan lainnya diceraikan karena persoalan ekonomi. Pada Juli 2014, buruh yang di-PHK masih menentang PHK yang terjadi kepada mereka dan menuntut hak-hak mereka untuk berserikat dan bernegosiasi. Menurut pihak yang membuat aduan, sebagian dari mereka bekerja sebagai buruh kontrak atau buruh lepas di ekonomi formal maupun informal dengan upah harian atau kontrak jangka pendek, sebagaian lagi berhutang dan sebagian lain ditolak oleh perusahaan-perusahaan karena mereka dianggap sebagai buruh PT Panarub Dwi Karya.
  1. 570. Dalam pandangan Pihak yang membuat aduan, pabrik melanggar hak-hak buruh akan kebebasan berserikat dengan mem-PHK pimpinan serikat dan anggota-anggotanya, mencegah mereka menggunakan hak-haknya untuk mogok, mem-PHK buruh yang ikut serta dalam mogok dan memaksa buruh untuk meninggalkan serikat mereka dan masuk menjadi anggota serikat lainnya yang disukai oleh perusahaan. Pihak yang membuat aduan meminta Komite untuk mendorong Pemerintah dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sekaligus Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kota Tangerang, Provinsi Banten untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjamin hak kebebasan berserikat, termasuk mempekerjakan kembali seluruh buruh yang di-PHK atas alasan anti-serikat.
B. Jawaban Pemerintah
  1. 571. Dalam komunikasi bertanggal 4 Maret 2016, Pemerintah memberikan hasil observasinya sekaligus observasi pengusaha, yang diwakili oleh manajemen perusahaan lain dari Panarub Group, karena perusahaan yang dipersoalkan sudah tutup.
Observasi dari Perwakilan Perusahaan
  1. 572. Terkait dengan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap para pimpinan serikat, perwakilan pengusaha mengindikasikan bahwa: (i) pabrik beroperasi sejak 2007 tetapi tutup dikarenakan kesulitan keuangan pada Januari 2014; (ii) pemutusan hubungan kerja terhadap Kokom Komalawai dan buruh lainnya pada tahun 2012 adalah langkah yang diambil oleh manajemen unutk mengurangi ongkos produksi dikarenakan kerugian finansial yang dialami oleh pabrik; (iii) pemutusan hubungan kerja dilakukan dalam tiga tahap: 69 buruh di-PHK pada bulan Februari 2012, seluruhnya kecuali Kokom Komalawati menerima PHK dan pesangon masing-masing sesuai dengan Pasal 156 (2) Undang-undang Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, 45 karyawan di-PHK pada bulan April 2012 dan 80 karyawan pada bulan Juli 2012, yang jumlah totalnya adalah 190 buruh yang di-PHK; (iv) karena Kokom Komalawati menolak PHK, perusahaan men-skors yang bersangkutan pada tanggal 24 Februari 2012 dan membayar upahnya secara penuh dan sengketa pemutusan hubungan kerja diselesaikan oleh Pengadilan Hubungan Industrial; dan (v) SBGTS GSBI PT PDK didaftarkan ke Departemen Tenaga Kerja RI pada tanggal 14 Maret 2012, yaitu setelah proses efisiensi tenaga kerja terjadi.
  2. 573. Terkait dengan hak untuk mogok, perwakilan pengusaha mengindikasikan bahwa mogok pada bulan Juli 2012 dipicu oleh perusahaan yang menangguhkan upah minimum tetapi menegaskan bahwa penangguhan itu disetujui oleh Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dari Gubernur Provinsi Banten, penangguhan itu berlaku selama tiga bulan. Mereka lebih jauh memberikan kronologi mogok sebagai berikut:
    • – Pada tanggal 10 Juli 2012, negosiasi bipartit dilakukan antara manajemen dengan perwakilan serikat untuk mendiskusikan pembayaran upah dan tunjangan lainnya tetapi tidak mencapai kesepakatan apapun dalm pertemuan itu.
    • – Pada tanggal 12 Juli 2012, Koordinator Lapangan Serikat meniup peluit untuk simulasi latihan kebakaran dan membuat sebagian besar karyawan berlarian ke lapangan sepak bola. Koordinator lapangan kemudian memberikan pidato sementara sebagaian buruh berusaha memaksa buruh lainnya untuk keluar dari ruang kerja. Karyawan kemudian diarahkan ke gerbang keluar di mana Kokom Komalawati membuat pidato meminta untuk negosiasi selanjutnya dengan manajemen, yang setuju untuk melakukan negosiasi dengan syarat bahwa buruh harus kembali bekerja, tetapi permintaan itu ditolak dan total 1745 karyawan tetap melakukan mogok sampai jam 7 malam.
    • – Pada tanggal 13 Juli 2012, Kokom Komalawati dan kawan-kawannya mengintimidasi karyawan yang ingin masuk kerja dan meminta negosiasi dengan perusahaan, yang kemudian dikabulkan dengan syarat bahwa diskusinya akan dihadiri oleh perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja. Namun, negosiasinya dihentikan karena situasinya tidak kondusif pada saat itu.
    • – Pada tanggal 16 Juli 2012, Kokom Komalawati dan kawan-kawannya lagi-lagi menghalang-halangi dan mengintimidasi karyawan yang hendak bekerja dan hampir terjadi perkelahian dengan mereka. Kokom Komalawati memberikan pidato lagi dimana ia salah memahami situasi di perusahaan. Diskusi lebih jauh dihadiri oleh tiga perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja, tiga perwakilan dari perusahaan dan Kokom Komalawati dan kawan-kawannya yang memformulasikan beberapa tuntutan, termasuk mempekerjakan kembali dirinya sekaligus Jamal Fikri. Manajemen menyatakan bahwa kedua kasus ini sedang ditangani sebagai sengketa hubungan industrial sebelum entitas relevan dan pertemuan yang gagal mencapai persetujuan apapun. Pada tahapan selanjutnya, perusahaan mengeluarkan himbauan terakhir kepada karyawan yang mogok untuk kembali ke unit kerjanya masing-masing tetapi mogok tetap berlangsung sampai pukul 10 malam dan sebagian besar karyawan menginap di halaman pabrik, menyandera para leader dan beberapa anggota manajemen. Ada 150 orang karyawan yang mogok dan 818 karyawan yang bekerja.
    • – Pada 17 Juli 2012, Kokom Komalawati dan 100 kawannya kembali melakukan aksi dan meminta negosiasi, yang disetujui oleh perusahaan dengan syarat para karyawan diperbolehkan untuk kembali bekerja. Karena syarat kami ditolak, negosiasi dibatalkan dan pabrik mengeluarkan kembali himbauan bagi karyawan yang ikut aksi untuk bekerja. Kemudian Aliansi Kota Tangerang dan DPC SBGTS mengundang manajemen untuk bernegosiasi di luar lingkungan pabrik, yang perusahaan berharap untuk bisa menghasilkan kesepakatan akhir dengan menginstruksikan seluruh buruh yang mogok untuk kembali bekerja berdasarkan jadwal normal. Ada 100 karyawan mogok sementara 929 lainnya bekerja. Perusahaan sekali lagi mengeluarkan himbauan kepada buruh yang mogok untuk bekerja.
    • – Pada 18 Juli 2012, Kokom Komalawati dan kawan-kawannya menghalang-halangi karyawan yang hendak bekerja dan hampir memulai perkelahian. Sebagai respon terhadap insiden ini, pabrik meminta Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang untuk melakukan mediasi yang dipinta oleh Kokom Komalawati dan kawan-kawannya tetapi perwakilan dari Dinas Tenaga Kerja tidak bisa hadir dan negosiasinya batal. Ada 100 karyawan yang mogok dan perusahaan mengeluarkan himbauan kepada mereka untuk kembali ke unit kerja masing-masing.
    • – Pada 19 Juli 2012, Kokom Komalawati dan kawan-kawannya kembali menghalang-halangi dan memaksa karyawan untuk tidak bekerja dan hampir terjadi perkelahian antara mereka. Perusahaan mencatat bahwa ada 155 karyawan yang tidak masuk kerja selama lima hari, yang dianggap mengundurkan diri sesuai dengan Pasal 140 Undang-undang No.13 Tahun 2003. terkait dengan sengketa hubungan industrail yang terjadi, mediasi selanjutnya dilakukan oleh Pusat Mediasi Nasional yan menyerahkan laporannya pada tanggal 21 Mei 2013.
    • – Pada 20 Juli 2012, Kokom Komalawati dan kawan-kawannya kembali menghalang-halangi, memaksa dan mengintimidasi karyawan yang hendak bekerja. Perusahaan mencatat ada 21 karyawan yang tidak bekerja selama lima hari, mereka dianggap sudah mengundurkan diri sesuai dengan peraturan yagn berlaku.
    • – Pada 23 Juli 2012, ada 500 karyawan yang tidak bekerja selama tujuh hari dan dianggap mengundurkan diri sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Karena Kokom Komalawati dan kawan-kawannya memaksa dan mengintimidasi buruh yang dipulangkan oleh perusahaan, hanya sebagian dari mereka yang menggunakan bus karyawan, lainnya mengikuti Kokom Komalawati dan kawan-kawannya.
  3. 574. Terkait aksi mogok pada Oktober 2012, perwakilan pengusaha mengindikasikan bahwa SBGTS GSBI PT PDK dan organisasi masyarakat Badan Pembina Potensi Keluarga Besar (BPPKB) menyerang karyawan dan menghancurkan fasilitas perusahaan. Pada September 2012, seorang buruh yang terlibat dalam pemogokan menyebarkan ancaman bom kepada beberapa karyawan di pabrik dan yang kemudian dilaporkan kepada Kepolisian Resort Tangerang dan ditangkap, tetapi pada November 2012, manajemen pabrik meminta Polres Tangerang untuk menangguhkan penyelidikannya terhadap tersangka dan membebaskannya.
Pemeriksaan terhadap Pemerintah
  1. 575. Pemerintah memberikan informasi tentang pendirian dan aktivitas SBGTS GSBI PT PDK, dugaan intimidasi terhadap Kokom Komalawati, dan pemutusan hubungan kerja terhadap pimpinan serikat buruh, anggota dan buruh lainnya atas alasan efisiensi dan setelah keikutsertaan mereka dalam pemogokan.
  2. 576. Terkait dugaan intimidasi, pemerintah mengindikasikan bahwa pada 22 November 2012, Kokom Komalawati memasukkan laporan kepada Kepolisian Resort Metro Kota Tangerang, menduga tindakan kriminal menghalang-halangi kebebasan berserikat dengan mengintimidasinya untuk tidak mendirikan SBGTS GSBI PT PDK. Dalam laporannya, ia menjelaskan kronologi pelanggaran kebebasan berserikat dan mengklaim bahwa manajemen mencegahnya untuk mendirikan serikat buruh dengan mengintimidasinya dan menawarinya promosi. Secara khusus, buruh itu mengindikasikan bahwa, pada tanggal 10 Februari 2012, ia dipanggil oleh manajemen perusahaan, yang memberitahunya bahwa ia akan dipromosikan ke posisi yang lebih baik jika ia tidak mendirikan serikat buruh dan diminta untuk bergabung ke SPN yang sudah ada. Pemerintah menyatakan bahwa dugaan pelanggaran kebebasan berserikat ini ditangani oleh polisi, yang melakukan penyelidikan dan menemukan bukti pendirian, pendaftaran dan aktivitas SBGTS GSBI PT PDK. Laporan polisi mengindikasikan bahwa serikat buruh didirikan pada tanggal 25 Februari 2012 dan didaftarkan pada tanggal 14 Maret 2012 di Dinas Tenaga Kerja Kota Tangerang. Laporan itu juga menemukan bahwa serikat melakukan beragam aktivitas sebagaimana dibuktikan oleh surat-surat yang menyebutkan beragam persoalan yang dikomunikasikan kepada manajemen perusahaan mulai dari Maret sampai Juli 2012. Pemerintah lebih lanjut mengindikasikan bahwa pada 31 Desember 2015, polisi mengeluarkan surat terkait dengan penyelidikannya terhadap dugaan tindakan intimidasi menyatakan bahwa hasil penyelidikan dan kesaksian para saksi menyimpulkan bahwa kondisi dalam Pasal 28 Undang-undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja tidak terpenuhi.
  3. 577. Terkait dengan dugaan pemutusan hubungan kerja terhadap para pimpinan serikat, Pemerintah menyatakan bahwa karena perusahaan berada dalam kesulitan keuangan, sebagaimana dibuktikan oleh laporan audit keuangan tertanggal 31 Desember 2009, 2010, dan 2011 yan dibuat oleh auditor independen Kokasih, Nurdiyaman, Tjajo & Partners, pemutusan hubungan kerja merupakan tindakan efisiensi yang diambil oleh manajemen pabrik untuk menjaga aktivitas bisnisnya. Pemerintah menyatakan bahwa pada Februari 2012, 69 buruh, termasuk Kokom Komalawati di-PHK atas alasan efisiensi, 68 di antaranya sudah mengambil haknya dan mendapatkan pesangon sebagaimana yang ditetapkan oleh pasal 164 (3) Undang-undang No.13 Tahun 2003, sementara proses PHK Kokom Komalawati dilakukan melalui Pengadilan Hubungan Industrial karena si buruh menolak PHK-nya. Dalam putusan tertanggal 10 Juli 2013, PHI menyatakan pemutusan hubungan kerja antara pabrik dengan Kokom Komalawati berdasarkan alasan efisiensi yang berlaku mulai 10 Juli 2013 dan memerintahkan pabrik untuk membayarkan pesangonnya sebesar 37.240.910 rupiah. Buruh itu mengajukan banding dan keputusan Mahkamah Agung pada tanggal 19 Agustus 2014 tetapi, dalam keputusan bertanggal 19 Februari 2015 Mahkamah Agung menyatakan bahwa banding itu tidak memenuhi syarat karena diajukan terlambat lebih dari 14 hari dari dikeluarkannya putusan PHI, yang oleh karenanya putusan PHI inilah yang berlaku.
  4. 578. Terkait dengan dugaan pemutusan hubungan kerja bagi buruh yang ikut serta dalam pemogokan, Pemerintah menyatakan bahwa hal ini sesuai dengan pasal 137 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pemogokan, yang merupakan akibat dari gagalnya perundingan, adalah hak dasar buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja yang harus ditegakkan demi hukum, secara tertib dan damai. Hal ini lebih jauh mengindikasikan bahwa Pasal 140 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur:
(1) Sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
(2) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat
a. waktu (hari, tanggal dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
b. tempat mogok kerja;
c. alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan
d. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.
(3) Dalam hal mogok kerja akan dilakukan oleh pekerja/buruh yang tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, maka pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditandatangani oleh perwakilan pekerja/buruh yang ditunjuk sebagai koordinator dan/atau penanggung jawab mogok kerja.
(4) Dalam hal mogok kerja dilakukan tidak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka demi menyelamatkan alat produksi dan aset perusahaan, pengusaha dapat mengambil tindakan sementara dengan cara ;
a. melarang para pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi kegiatan proses produksi; atau
b. bila dianggap perlu melarang pekerja/buruh yang mogok kerja berada di lokasi perusahaan.
  1. Pemerintah menyatakan bahwa mogok yang dilakukan oleh Kokom Komalawati dan karyawan lainnya dapat dianggap sebagai tidak sah secara hukum karena tidak sesuai dengan prosedur pelaksanaan mogok sebagaimana diatur dalam Pasal 140  Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini mengindikasikan lebih jauh bahwa karyawan yang melakukan mogok dari tanggal 12 sampai 23 Juli 2012 didorong oleh pabrik untuk bekerja kembali pada 12, 13, 14, 15, 16, 17 dan 18 Juli 2012. karena mereka mengabaikan himbauan perusahaan untuk kembali bekerja, mereka kemudian dianggap mengundurkan diri oleh perusahaan sesuai dengan Pasal 168 Undang-undang No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan bahawa:
    • (Pekerja/buruh yang mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut
    • tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah
    • dipanggil oleh pengusaha 2 (dua) kali secara patut dan tertulis dapat diputus
    • hubungan kerjanya karena dikualifikasikan mengundurkan diri .
    • Keterangan tertulis dengan bukti yang sah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
    • harus diserahkan paling lambat pada hari pertama pekerja/buruh masuk bekerja.
    • Pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh
    • yang bersangkutan berhak menerima uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal
    • 156 ayat (4) dan diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur
    • dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  2. 579. Pemerintah menyimpulkan dengan menyatakan bahwa sebagai anggota Negara anggota ILO, Indonesia tetap berkomitmen untuk memenuhi hak-hak buruhnya dan menjamin kebebasan berserikat di Indonesia, terutama dalam perusahaan PT PDK dengan memastikan berdirinya serikat buruh di dalamnya—SPN, SPSI, SBGTS GSBI, dan dengan memberikan keleluasaan bagi serikat buruh untuk menjalankan aktivitasnya sesuai dengan prosedur dan peraturan nasional.
Kesimpulan Komite
  1. 580. Komite mencatat bahwa kasus yang berhubungan dengan dugaan pemutusan hubungan kerja oleh PT PDK terhadap pimpinan serikat buruh PTP SBGTS-GSBI PT PDK, pembatasan terhadap hak untuk mogok dengan menggunakan kekuatan polisi dan paramiliter terhadap buruh yang sedang mogok, PHK terhadap anggota serikat dan buruh lainnya karena berpartisipasi dalam pemogokan dan intervensi dalam urusan serikat dengan mengintimidasi buruh untuk mengubah afiliasi serikat buruh ke serikat yang didukung oleh manajemen.
  2. 581. Dengan merujuk kepada PHK sembilan pengurus serikat pada Februari 2012, Komite mencatat bahwa sementara pihak yang mengajukan tuntutan menduga bahwa PHK terjadi segera setelah pendaftaran PTP SBGTS-GSBI PT PDK menunjukkan karakter mereka yang anti-serikat dan bertentangan dengan Pasal 164 (3) Undang-undang Ketenagakerjaan yang dilakukan dengan dalih rasionalisasi (efisiensi) meskipun perusahaan meneruskan produksinya, baik Pemerintah maupun perwakilan pengusaha mengklaim bahwa PHK terhadap para pimpinan serikat terjadi sebelum pencatatan serikat yang baru terjadi pada tanggal 14 Maret 2012 dan jumlah total 190 buruh di-PHK dengan kompensasi penuh dari Februari sampai Juli 2012 dengan alasan rasionalisasi (efisiensi) juga sebagai cara untuk mengatasi kesulitan keuangan perusahaan; terlepas dari berbagai usaha ini, pabrik/perusahaan harus menutup usahanya pada Januari 2014. Komite lebih jauh mencatat pernyataan pihak yang mengajukan tuntutan bahwa adalah hal yang lumrah di Indonesia untuk mem-PHK pimpinan serikat dengan alasan efisiensi dan bahwa dengan pengecualian Kokom Komalawati, kedelapan pimpinan serikat telah menerima PHK pada bulan berikutnya. Komite mencatat bahwa indikasi Pemerintah bahwa karena Kokom Komalawati tidak menerima PHK-nya, kasusnya kemudian dilimpahkan ke Pengadilan Hubungan Industrial, yang menyatakan bahwa PHK antara buruh dengan perusahaan dengan alasan efisiensi mulai berlaku pada tanggal 10 Juli 2013 dan bahwa banding ke Mahkamah Agung oleh buruh dinyatakan tidak sah karena keterlambatan mendaftarkan.
  3. 582. Dengan tetap menjadikan catatan, kesulitan keuangan yang dialami oleh perusahaan yang mungkin dalam situasi tertentu bisa membenarkan program pengurangan staff, Komite mencatat dengan perhatian bahwa PHK terhadap sembilan pimpinan serikat buruh, termasuk Kokom Komalawati, terjadi selama periode di mana serikat sedang didirikan dan bahwa pimpinan serikat termasuk yang akan di-PHK pertama pada Februari 2012, terlepas dari masih beroperasinya perusahaan sampai dengan Januari 2014. Komite kemudian lebih lanjut menemukan bahwa jika indikasi pihak yang mengajukan tuntutan bahwa, beberapa hari sebelum PHK, Kokom Komalawati ditawari jabatan dan ditekan oleh manajemen untuk tidak mendirikan serikat dan bergabung dengan serikat yang sudah ada, terbukti, maka akan mendukung dugaan bahwa PHK terhadap sembilan pimpinan serikat buruh tidak dimotivasi sepenuhnya oleh alasan-alasan ekonomi. Dengan demikian, Komite hendak menunjukkan bahwa pemberlakuan program pengurangan staf tidak bisa digunakan untuk melakukan tindakan diskriminasi anti serikat [Lihat Digest of decisions and principles of the Freedom of Association Committee, fifth (revised) edition, 2006, para. 796] dan bahwa Komite menekankan kelayakan memberikan prioritas kepada perwakilan buruh dengan merujuk kepada ingatan mereka dalam pekerjaan dalam kasus pengurangan tenaga kerja untuk memastikan perlindungan efektif bagi mereka [Lihat Digest, op. cit., para. 833]. Lebih jauh lagi, Komite merujuk kepada Workers’ Representatives Convention, 1971 (No. 135)(Konvensi Perwakilan Pekerja, 1971 No.135), and Rekomendasi, 1971 (143), dalam mana secara tegas menyatakan bahwa perwakilan buruh dalam perusahaan harus mendapatkan perlindungan terhadap segala tindakan yang merugikan mereka, termasuk PHK, berdasarkan pada status atau aktivitas sebagai perwakilan pekerja atau pada keanggotaan serikat, atau partisipasi dalam aktivitas serikat, sejauh buruh bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku atau perjanjian bersama yang berlaku atau kesepakatan lainnya yang disepakati bersama [Digest, op. cit., para. 800]. Oleh karena itu, Komite berpendapat bahwa berbagai upaya seharusnya sudah dilakukan dalam situasi ini untuk memberikan prioritas untuk mempertahankan para pemimpin serikat buruh tetap bekerja, yang akan memungkinan konsultasi terjadi antara serikat buruh dengan perusahaan tetntang rasionalisasi dan proses pengurangan staff. Komite mendorong Pemerintah agar menghormati prinsip-prisip yang disebutkan di atas.
  4. 583. Terkait dengan dugaan pembatasan hak untuk mogok dengan menggunakan intervensi polisi dan paramiliter terhadap buruh yang melakukan mogok, Komite mencatat bahwa dugaan Pihak yang mengajukan tuntutan adalah: (i) mogok terjadi di pabrik mulai dari 12 sampai 23 Juli 2012 dengan lebih dari 1300 buruh ikut serta; (ii) buruh yang sedang mogok dikonfrontasi dengan intervensi keras dari petugas keamanan, polisi dan kelompok paramiliter yang berusaha membubarkan pemogokan dengan kekerasan dan menggunakan gas air mata terhadap buruh dan sekaligus mendorong, memukul, dan melempari mereka dengan benda tumpul; (iii) sebagai akibat dari intervensi itu, dua perempuan pingsan dan 32 orang lainnya terluka; dan (iv) 75 buruh dipaksa oleh manajemen untuk berdiri di halaman pabrik dan membuat pernyataan untuk tidak ikut serta dalam aksi protes dan mengundurkan diri dari serikat dan juga dari perusahaan. Komite menunjukkan keprihatinan terhadap tingginya jumlah buruh yang terluka yang berhasil dilaporkan dan menyesalkan bahwa baik perwakilan pengusaha maupun Pemerintah tidak melakukan penyelidikan terhadap dugaan khusus ini, tetapi Komite mencatat dengan baik seluruh informasi mendetil tentang perkembangan mogok dan, meski gagal, beragam upaya negosiasi dan mediasi, yang tidak dapat diteruskan karena ketidakhadiran Pemerintah. Komite lebih jauh mencatat bahwa, menurut perwakilan pengusaha, beberapa anggota serikat memaksa buruh lain untuk ikut dalam pemogokan, melarang mereka bekerja dan mengintimidasi mereka, hampir memicu perkelahian antar-buruh, dan pada titik itu mereka bertahan di pabrik sampai malam, menyandera leader pabrik dan beberapa orang manajemen. Dengan mencatat bahwa perwakilan pengusaha dan Pemerintah, sambil tetap menyebutkan bahwa tindakan seperti intimidasi dan larangan terhadap manajemen untuk meninggalkan pabrik, tidak merujuk kepada tindakan spesifik atau pelanggaran atau gangguan terhadap kepentingan umum dan, pada saat yang sama, tidak mengingkari dugaan bahwa intervensi polisi dan pasukan lain digunakan untuk tujuan membubarkan pemogokan, dan Komite ingat bahwa, penggunaan hak untuk mogok harus menghormati kebebasan untuk bekerja bagi mereka yang tidak ikut mogok, sebagaimana dinyatakan dalam peraturan, namun juga hak manajemen untuk memasuki lingkungan perusahaan [Lihat  Digest, op. cit., para. 652], otoritas harus memanggil polisi ke tempat pemogokan hanya jika terjadi ancaman yang sungguh-sungguh terhadap ketertiban umum. Intervensi polisi harus sebanding dengan ancaman terhadap ketertiban umum dan pemerintah harus mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pihak yang berwenang menerima instruksi yang memadai untuk menghindari terjadinya kekerasan yang berlebihan dalam usaha  mengendalikan demonstrasi yang mungkin mengganggu ketertiban umum. Penggunakan polisi untuk tujuan membubarkan pemogokan adalah sebuah pelanggaran terhadap hak serikat buruh [Lihat Digest, op. cit., paras 643 and 647]. Komite juga hendak menekankan bahwa terjadinya serangan terhadap fisik ataupun integritas moral individu, Komite telah mempertimbangkan bahwa suatu pemeriksaan judisial independen harus diselenggarakan segera dengan pendangan untuk mengklarifikasi sepenuhnya beragam fakta, menentukan tanggung jawab, memberikan hukuman kepada mereka yang bertanggung jawab dan mencegah berulangnya tindakan serupa [Digest, op. cit., para. 50]. Dengan merujuk kepada prinsip-prisip itu, Komite meminta kepada Pemerintah untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk melakukan penyelidikan independen atas dugaan penggunaan polisi dan kekuatan lainnya terhadap buruh yang sedang mogok dan percaya kepada Pemerintah bahwa prinsip-prinsip yang disebutkan di atas akan dihormati sepenuhnya. Komite meminta kepada Pemerintah untuk memberikan informasi tentang hasil penyelidikan, termasuk tindakan apa saja yang diambil sebagai hasil dari penyelidikan itu, dan yakin bahwa Pemerintah akan melakukan tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa polisi, petugas keamanan, dan kekuatan lainnya tidak digunakan untuk tujuan membubarkan pemogokan dan bahwa intervensi apapun selama pemogokan atau aksi sangat terbatas pada situasi di mana hukum dan ketertiban benar-benar terancam.
  5. 584. Lebih lanjut lagi, Komite mencatat indikasi Pihak yang mengajukan tuntutan bahwa aksinya pada Oktober 2012 diinterupsi oleh buruh, dimobilisasi oleh manajemen, yang menggunakan senjata tumpul yang melukai 11 buruh yang melakukan aksi, dan juga pernyataan perwakilan pengusaha bahwa selama aksi anggota serikat buruh dan organisasi masyarakat (ormas) menyerang karyawan perusahaan dan merusak fasilitas, dan bahwa, sebulan sebelumnya, seorang buruh melayangkan ancaman bom di pabrik. Komite mencatat dengan penuh perhatian tindakan kekerasan yang dilakukan kedua belah pihak dan hendak menunjukkan bahwa prinsip kebebasan berserikat  tidak melindungi pelanggaran yang terdiri dari tindakan kriminal ketika menggunakan hak untuk mogok [Lihat Digest, op. cit., para. 667].
  6. 585. Dengan merujuk kepada dugaan PHK terhadap buruh yang mogok atas alasan anti-serikat, Komite mencatat indikasi Pihak yang membuat tuntutan bahwa: (i) pada hari kelima mogok, manajemen tidak mengizinkan buruh yang mogok untuk bekerja dan 1300 buruh dipaksa menyatakan mengundurkan diri; (ii) sebuah aksi protes diorganisir pada bulan Oktober 2012 yang meminta dipekerjakan-kembalinya seluruh buruh; dan (iii) meskipun sebagain buruh kemudian dipekerjakan kembali sebagai buruh baru atau bekerja sebagai buruh harian atau sementara, banyak buruh yang mengalami konsekuensi sosio-ekonomik sebagai akibat dari hilangnya pendapatan pasti mereka dan terus menentang PHK yang terjadi kepada mereka. Komite mencatat bahwa Pemerintah dan perwakilan pengusaha tidak menentang fakta bahwa sejumlah besar buruh kehilangan pekerjaan mereka setelah mereka berpartisipasi dalam pemogokan pada Juli 2012, tetapi Komite mencatat bahwa ada beragam pandangan yang berbeda antara Pihak yang mengajukan tuntutan, di satu sisi, dengan Pemerintah dan perwakilan pengusaha, di sisi lain, dalam hal jumlah yang pasti buruh yang terlibat (Pihak yang mengajukan tuntutan menyatakan 1300 dan perwakilan pengusaha menyatakan sekitar 600) dan atas keabsahan tindakan yang diambil. Sementara pihak yang mengajukan tuntutan menegaskan bahwa buruh di-PHK karena alasan anti-serikat dan meminta dipekerjakan kembali, Pemerintah dan perwakilan pengusaha mengindikasikan bahwa manajemen telah mengeluarkan himbauan berulangkali kepada buruh yang mogok untuk kembali ke unit kerjanya masing-masing tetapi karena buruh mengabaikan himbaun perusahaan dan sudah tidak bekerja selama lima hari kerja atau lebih secara berturut-turut maka mereka dianggap mengundurkan diri sebagai akibat dari berhentinya produksi sesuai dengan Pasal 168 Undang-undang No. 13 tahun 2003. Komite ingat bahwa undang-undang yang relevan menyatakan bahwa buruh yang absen-tidak bekerja selama lima hari kerja berturut-turut tanpa pemberitahuan tertulis dan bukti yang valid dan yang telah dipanggil dua kali oleh pengusaha dengan menggunakan surat tertulis dapat diputus hubungan kerjanya dan dianggap sebagai buruh yang mengundurkan diri. Komite juga mencatat pandangan Pemerintah dan perwakilan pengusaha bahwa mogok yang dilakukan dapat dianggap ilegal karena tidak mematuhi persyaratan yang dicantumkan dalam Pasal 140 Undang-undang No. 13 tahun 2003, tetapi melihat bahwa mereka tidak memberikan detil/rincian tentang persyaratan yang mana yang tidak dipenuhi. Dengan catatan bahwa Komite tidak memiliki informasi yang mencukup yang bisa digunakan untuk menilai apakah untuk menyatakan bahwa prasyarat suatu pemogokan sudah dipenuhi atau belum dalam kasus ini, Komite hendak menunjukkan bahwa tanggung jawab untuk menyatakan bahwa suatu pemogokan itu ilegal seharusnya berada pada badan yang independen dan imparsial, seperti pengadilan independen. Dengan mempertimbangkan situasi kasus ini dan mengingat bahwa, sebagaimana diakui oleh Pemerintah dan perwakilan perusahaan, Perusahaan belum membayarkan upah beberapa bulan, Komite berpendapat bahwa menggelar pemogokan jika diperlukan untuk memprotes tindakan tidak membayar sebagian dari upah buruh dan untuk menuntut kondisi kerja yang lebih baik termasuk suatu aktivitas serikat buruh yang sah dan tidak akan menimbulkan  dan dengan demikian tidak akan menimbulkan pertimbangan tentang dibenarkan atau tidak dibenarkan sesuai dengan Pasal 168 Undang-undang No.13 Tahun 2003. Dengan menunjukkan perhatian serius terhadap besarnya jumlah buruh yang dianggap mengundurkan diri setelah berpartisipasi dalam pemogokan pada Bulan Juli 2012, Komite mengingat bahwa penangkapan dan pembubaran mogok dalam skala besar melibatkan kekerasan dan menempatkan kebebasan berserikat pada bahaya yang besar. Otoritas terkait harus diberikan instruksi yang tepat sehingga dapt menghindarkan bahaya terhadap kebebasan berserikat yang terlibat dalam penangkapan dan pembubaran seperti itu [Lihat  Digest, op. cit., para. 674]. Dengan merujuk kepada prisip-prinsip ini dan PHK buruh skala besar, Komite meminta kepada Pemerintah untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk menginisiasi penyelidikan independen untuk mengungkap dugaan PHK anti serikat terhadap 1300 buruh dan untuk mengungkap motif yang sebenarnya di belakang tindakan ini dan, jika terbukti bahwa mereka di-PHK karena aktivtias serikat buruh yang sah, maka Pemerintah harus mengambil tidnakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh buruh mendapatkan kompensasi sepenuhnya, jika memang mempekerjakan kembali tidak mungkin karena perusahaan sudah tutup. Komite meminta kepada Pemerintah untuk terus memberikan informasi kepada Komite tentang perkembangan apapun dalam kasus ini.
  7. 586. Mengenai dugaan campur tangan dalam aktivitas serikat buruh, Komite mencatat, di satu sisi, dugaan Pihak yang mengajukan tuntutan bahwa, beberapa hari sebelum PHK, Kokom Komalawati ditekan oleh manajemen untuk tidak mendirikan PTP SBGTS-GSBI PT PDK dan untuk bergabung dengan serikat yang ada dan ditawari kenaikan jabatan sebagai imbalannya, dan, di sisi lain, Pernyataan Pemerintah bahwa, sebagai respon dari tuduhan ini, penyelidikan yang dilakukan oleh polisi yang menyimpulkan bahwa PTP SBGTS-GSBI PT PDK sudah berhasil berdiri dan berfungsi, dan bahwa, dalam hubungannya dengan dugaan intimidasi, sebuah surat kepolisian tertanggal 31 Desember 2015 menemukan bahwa persyaratan yang disebutkan dalam Pasal 28 Undang-undang No.21 Tahun 2000 tidak terpenuhi.  Komite meminta kepada Pemerintah untuk memberikan salinan laporan penyelidikan atas dugaan tindakan intimidasi (dalam Bahasa Inggris, jika memungkinkan).
  8. 587. Komite lebih jauh menemukan bahwa Pihak yang mengajukan tuntutan mengindikasikan bahwa, pada tanggal 20 Juli 2012, manajemen mendirikan sebuah serikat buruh baru di pabrik dan mewajibkan setiap buruh, termasuk melalui penggunaan tukang pukul paramiliter (preman), untuk mengundurkan diri dari keanggotaan serikat buruh sebelumnya dan bergabung dengan yang serikat yang baru saja dibuat yang didukung oleh manajemen, dan Komite menyesalkan bahwa baik Pemerintah maupun perwakilan pengusaha tidak memberikan pengamatan terhadap dugaan spesifik campur tangan ini. Komite menyampaikan keprihatinannya terhadap dugaan tindakan campur tangan dalam urusan serikat buruh dan hendak menekankan bahwa Pasal 2 Konvensi No. 98 menetapkan kebebasan penuh bagi organisasi pekerja dari pengusaha dalam melaksanakan aktivitasnya. Adanya ketentuan legislatif yang melarang tindakan campur tangan dari pihak yang berwenang, atau dari organisasi buruh dan pengusaha terhadap urusan masing-masing, tidak mencukupi jika tidak dibarengi dengan prosedur yang efisien untuk memastikan implementasinya [lihat Digest, op. cit., paras 855 and 861]. Komite juga sebelumnya sudah menyatakan bahwa sehubungan dengan dugaan taktik anti serikat dalam bentuk suap yang ditawarkan kepada anggota serikat untuk mendorong mereka keluar dari serikat buruh dan menyodorkan pernyataan mengundurkan diri kepada buruh, sekaligus dugaan usaha menciptakan serikat boneka, Komite berpendapat bahwa tindakan-tindakan itu bertentangan dengan Pasal 2 Konvensi No. 98, yang menyatakan bahwa organisasi buruh dan organisasi pengusaha mendapatkan perlindungan yang mencukupi terhadap tindakan campur tangan apapun dari agen masing-masing pihak dalam pendirian, fungsi atau administrasi masing-masing [lihat Digest, op. cit., para. 858]. Komite mendorong Pemerintah untuk memberikan perhatian atas beberapa dugaan ini. Komite berharap bahwa Pemerintah akan mengambil segala tindakan yang diperlukan untuk memastikan tindakan campur tangan dalam pengusaha dalam urusan serikat buruh diidentifikasi dan dipulihkan sebaik-baiknya dan, jika tepat, bahwa sanksi yang cukup tegas dan mencukupi diterapkan sehingga tindakan yang demikian tidak akan terjadi lagi di masa depan.
  9. 588. Mengingat betapa kompleksnya kasus ini dan banyaknya dugaan yang saling berhubungan (kurangnya pembayaran upah, PHK pengurus serikat setelah mendirikan serikat, pembatasan penggunaan hak untuk mogok, PHK setelah mengikuti mogok dan campur tangan dalam urusan serikat), Komite percaya bahwa penyelidikan yang akan dilakukan akan melihat insiden-insiden ini secara keseluruhan dengan pandangan yang mencerminkan dengan tepat situasi kasus ini.
Rekomendasi Komite
  1. 589. Dengan merujuk pada kesimpulan-kesimpulan interim, Komite mengundang Governing Body untuk menyetujui rekomendasi-rekomendasi berikut:
    • Dengan merujuk dan menghargai seluruh respon pemerintah, Komite meminta kepada pemerintah untuk mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melaksanakan investigasi independen terhadap dugaan penggunaan pasukan polisi dan kekuatan lain terhadap buruh yang sedang melakukan mogok. Komite meminta Pemerintah untuk memberikan laporan kepada Komite atas investigasi yang dilakukan, termasuk setiap tindakan yang diambil berdasarkan hasil investigasi itu, dan Komite memberikan kepercayaan kepada Pemerintah bahwa Pemerintah akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa polisi, petugas keamanan dan pasukan lainnya tidak digunakan untuk tujuan membubarkan mogok dan bahwa intervensi apapun selama mogok atau aksi lainnya sangat terbatas pada situasi di mana hukum dan tatanan sangatlah terancam, dan harus sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam kesimpulan yang dibuat oleh Komite.
    • (b) Dalam hal prinsip-prinsip yang disebutkan di atas, dan PHK buruh yang melakukan mogok dalam jumlah besar, Komite meminta Pemerintah untuk mengambil tindakan yang diperlukan untuk menginisiasi pemeriksaan independen untuk mengungkap dugaan PHK 1300 buruh yang bersifat anti-serikat dan untuk menemukan motif yang sebenarnya di belakang tindakan ini, dan jika ditemukan bahwa buruh itu di-PHK karena aktivitas serikat yang legal, Pemerintah harus mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa buruh ter-PHK mendapatkan kompensasi penuh, jika memang tidak mungkin bisa dipekerjakan kembali dikarenakan pabrik yang sudah tutup. Komite meminta Pemerintah untuk terus memberikan informasi kepada Komite atas segala perkembangan yang terjadi dalam hal ini.
    • (c) Komite meminta Pemerintah untuk menyediakan salinan laporan penyelidikan atas dugaan tindakan intimidasi terhadap Kokom Komalawati, Komite mendorong Pemerintah untuk memberikan pengamatan terhadap dugaan khusus adalanya intervensi di dalam urusan serikat buruh dengan memaksa buruk untuk mengubah afiliasi serikat buruhnya untuk condong kepada serikat yang dipilih oleh manajemen. Komite berharap Pemerintah akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa intervensi pengusaha dalam urusan serikat diidentifikasi dengan baik, dan jika memungkinkan, bahwa ada sanksi yang cukup tegas dikenakan sehingga tindakan yang demikian tidak akan terjadi lagi di masa depan.
    • (d) Dengan mengingat betapa kompleksnya kasus ini dan banyaknya dugaan yang saling berhubungan (kurangnya pembayaran upah, PHK pengurus serikat setelah mendirikan serikat, pembatasan penggunaan hak untuk mogok, PHK setelah mengikuti mogok dan campur tangan dalam urusan serikat), Komite percaya bahwa investigasi yang akan dilakukan akan melihat insiden-insiden ini sebagai satu kesatuan dengan satu pandangan yang tepat yang mencerminkan situasi yang sebenarnya dari kasus ini.



[1] Dokumen ini diterjemahkan oleh Dina Septi dari Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS). Dokumen asli dapat dirujuk ke: http://www.ilo.org/dyn/normlex/en/f?p=1000:50001:0::NO::P50001_COMPLAINT_FILE_ID:3240020:NO

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item