GSBI Terus Soroti Penetapan Upah Padat Karya Sektor Industri Garmen

INFO GSBI- Jakarta.   Pengusaha-pengusaha garmen di Jawa Barat terutama yang tergabung dalam Korea Garmen (KoGa) serempak mengeluhkan pad...


INFO GSBI- Jakarta.  Pengusaha-pengusaha garmen di Jawa Barat terutama yang tergabung dalam Korea Garmen (KoGa) serempak mengeluhkan pada pemerintah atas kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang berlaku sama rata di semua sektor. Dan selalu begitu setiap tahunnya, kenaikan upah minimum selalu dijadikan alasan untuk PHK, tutup dan mengubah buruh tetap menjadi buruh kontrak dan atau outsourcing.

Sejak bulan Januari 2017 dan puncaknya pada Mei 2017 lalu, pengusaha garmen dari Bogor, Bekasi, Depok, dan Purwakarta  serta wilayah lain melalui Apindo meminta Gubernur Jawa Barat menetapkan UMK untuk buruh garmen, karena apabila mengikuti UMP/UMK, katanya pengusaha tidak sanggup membayar dan akan gulung tikar.

Mereka beralasan, apabila industri tutup, terdapat hampir 100 ribu buruh yang akan kena dampak. Hal ini yang akhirnya menjadi desakan untuk pemerintah bergegas menetapkan UMK buruh garmen sebagimana yang juga di nyatakan oleh Menaker RI Hanif Dhakiri, di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Kamis 13 Juli 2017.

“Ada 98 perusahaan garmen di Jawa Barat berpotensi hengkang, karena mengalami masalah pengupahan. Di 98 perusahaan itu ada 100 ribu lebih pekerja. Perusahaan ini tersebar di Kabupaten Purwakarta, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi, dan Kota Depok. Atas masalah itu Pemerintah berusaha menjaga perusahaan itu agar terus beroperasi. Pemerintah memfasilitasi pertemuan antara teman-teman serikat pekerja (SP) dengan teman-teman dari Apindo untuk mencarikan solusi terhadap masalah itu" .

Dari situlah tercetuslah angka Upah Minimum Sektor Padat Karya untuk Industri Garmen di empat Kota/Kabupaten tersebut yaitu, Kabupaten Purwakarta, Kota Bekasi dan Depok serta Kabupaten Bogor. Di Depok, nilai upah buruh Garmen di tetapkan Rp. 1,4 juta merupakan kesepakatan bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) dan perwakilan serikat pekerja buruh garmen yang diawasi langsung Kementerian Ketengakerjaan RI, demikian dikatakan Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Depok, Diah Sadiah.

Maka nyaris upah minimum sektor padat karya industri garmen di Kota Depok yang di tetapkan Rp. 1,4 juta ini adalah setengah upah minimum kota Depok yang mencapai Rp 3,29 juta.

Menurut Diah, besaran upah minimum Rp 1,4 juta sebenarnya terlalu rendah. Selain jauh di bawah UMP, besaran itu juga jauh lebih rendah dari survei hidup layak Kota Depok. Pada tahun 2017, survei hidup layak di Kota Depok mencapai Rp 2,9 juta.

Angka upah minimum sektor padat karya industri garmen ini ditetapkan dalam rapat yang dihadiri oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, wali kota dan bupati di Jawa Barat, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), serta perwakilan serikat pekerja.

Dan pemerintah berargumen kesepakatan keputusan ini menjadi solusi terbaik bagi industri dan pekerja di sektor industri Garmen.

Setiap keluhan pengusaha, selalu saja jalan yang di ambil oleh pengusaha dan pemerintah adalah memangkas upah buruh, mengurangi hak-hak buruh dengan sedemikian rupa. Padahal selama ini dengan upah minimum yang berlaku saja buruh masih mengalami defisit dari upahnya.

Bagi GSBI kebijakan upah sektor padat karya untuk industri garmen ini jelas bentuk dari praktek politik upah murah dan jelas merugikan buruh garmen. Sepengetahuan GSBI Industri garmen di Indonesia adalah salah satu industri manufaktur unggulan, sehingga sector ini merupakan asset penting dan menjadi perhatian dalam industri manufaktur. Karena terbukti, industri ini mampu memberikan kontribusi yang besar dalam bentuk devisa, serta penyedia lapangan kerja dalam jumlah yang besar.

Di regional Asia, Indonesia bersaing dengan Vietnam, Kamboja dan beberapa Negara lainnya dalam hal ekspor produksi Garmen. Upah buruh yang murah di Indonesia menjadi salah satu alasan kenapa brands besar seperti Nike dan Adidas, serta beberapa perusahaan dari China dan Korea Selatan berani membangun fasilitas produksi di Indonesia.

Jadi kebijakan penetapan upah minimum sektor padat karya untuk industri garmen ini harus di cabut dan di tiadakan. Selain bertentangan dengan UU No 13 tahun 2003 juga bertentangan dengan pengertian dari upah minimum itu sendiri. 

Merujuk pada Undang-Undang 13 tahun 2013, upah minimum terdiri dari Upah minimum provinsi, upah minimum sektor provinsi, upah minimum kabupaten/kota, dan upah minimum sektor kabupaten/kota. Di luar daripada upah-upah tersebut, ada yang namanya struktur skala upah. Ketika berbicara upah minimum sektoral baik provinsi maupun kabupaten/kota, maka nilainya harus diatas upah minimum provinsi maupun kabupaten/kota.

Bagi GSBI, apapun hasil pembicaraan antara Wakil Presiden, Menaker, Gubernur Jabar, Apindo, BKPM dan sebagainya itu bukanlah satu mekanisme dalam menetapkan upah, serta bukan rujukan untuk menetapkan upah minimum sektor padat karya atau Garmen seenaknya, jadi ini cacat hukum,
Artinya pengusaha sudah di nina bobokan oleh PP Nomor 78 tahun 2015 tadi, terus kalau sekarang ada permasalahan di sektor padat karya, itu seharusnya tidak menjadi persoalan dengan lantas secara brutal menetapkan upah jauh dibawah upah minimum provinsi atau kota. (Red2017)#.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item