Semangat Hari Perempuan Internasional untuk Kebangkitan Gerakan Perempuan Indonesia

Semangat Hari Perempuan Internasional untuk Kebangkitan Gerakan Perempuan Indonesia “Memperingati Hari Perempuan Se-Dunia adalah moment...




Semangat Hari Perempuan Internasional untuk Kebangkitan Gerakan Perempuan Indonesia
“Memperingati Hari Perempuan Se-Dunia adalah momentum terbaik yang dimiliki oleh kaum perempuan untuk menyuarakan apa yang menjadi problem dan tuntutan kaum perempuan”.

Sejarah telah mencatat bahwa pada tanggal 8 Maret 1857 terjadi demonstrasi perempuan kelas buruh dari berbagai pabrik di New York, Amerika Serikat yang menuntut penghapusan diskriminasi dalam hubungan produksi dan membawa tuntutan kelas buruh untuk pengurangan jam kerja dan perbaikan kondisi kerja. Peristiwa ini menjadi titik awal bangkitnya gerakan perempuan yang membawa tradisi progresif klas buruh dalam memperjuangkan hak-haknya di dalam masyarakat penuh penindasan ini. Pengorbanan yang dilakukan oleh beberapa pimpinan gerakan 8 Maret 1857 ini ditunjukkan ketika polisi dan aparat mesin negara reaksioner Amerika Serikat membubarkan dan menangkap mereka, pada saat aksi massa ini semakin meluas dan mulai bergerak ke luar pabrik.

Pada tahun 1908, diselenggarakan peringatan peristiwa 8 Maret 1857 dalam sebuah Rapat Umum yang diikuti oleh 30.000 perempuan kelas buruh dan para pendukungnya. Tuntutan utama masih terus dikumandangkan dan tuntutan tentang hak politik untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum mulai disuarakan.

Pada tahun 1910, dalam Kongres Internasional Perempuan Kelas Buruh, Clara Zetkin (pemimpin lembaga perempuan pada partai Demokrasi Sosialis Jerman) mengusulkan bahwa tanggal 8 Maret harus diperingati sebagai hari perlawanan kaum perempuan kelas buruh dan upaya untuk membangkitkan gerakan pembebasan perempuan di dalam garis perjuangan. Sejak saat itu, setiap 8 Maret berkumpul jutaan perempuan dan para pendukungnya di berbagai pelosok dunia untuk mengenang peristiwa 8 Maret 1857 dan membangkitan gerakan pembebasan perempuan di seluruh dunia. Semangat 08 maret ini yang akan selalu menginspirasi gerakan perempuan melawan segala bentuk diskriminasi dan penindasan terhadap perempuan. 

Di Indonesia, pengalaman turut sertanya kaum perempuan dalam perjuangan rakyat Indonesia dilakukan sejak era kolonialisme belanda, dan semakin tumbuh dan berkembang maju di masa pemerintahan Soekarno. Namun akibat tindasan dan pembantaian rezim fasis Soeharto boneka imperialis Orde Baru, kaum perempuan belumlah sanggup berjuang untuk membebaskan dirinya dan membangun organisasi massa yang militan dan demokratis. Ketika rezim Orde Baru jatuh di tahun 1998 oleh gerakan massa demokratis anti-fasis, kaum perempuan turut memberikan andil dalam perjuangan anti-fasis ini. Akan tetapi imperialisme dan kaki tangannya mengerti dengan potensi kaum perempuan dan keterlibatannya dalam perjuangan pembebasan demokratis nasional. Mereka berupaya keras untuk menjinakkan dan menghancurkan dari dalam gerakan perempuan sendiri melalui penyebarluasan ide-ide non-proletar dan non-kerakyatan, sehingga terkucil, eksklusif, dan cenderung berkontradiksi dengan gerakan massa demokratis yang lain.

Dari pengalaman tersebut di atas, bahwa perjuangan kaum perempuan untuk menuntut hak kesetaraan anti-diskriminasi jenis kelamin dalam masyarakat berkelas di berbagai belahan dunia berhubungan erat dengan perjuangan kelas di dalam masyarakat. Gerakan pembebasan perempuan bukan hanya milik kaum perempuan semata. Persoalan obyektif kaum perempuan harus mempunyai penyelesaian yang menyeluruh dan mendasar. Jalan keluar dari persoalan-persoalan tersebut adalah: Penghapusan diskriminasi jenis kelamin dalam lapangan ekonomi, politik, militer, dan budaya.

Dilapangan ekonomi, Perempuan buruh dihadapkan pada sistem kerja kontrak yang sangat pendek, antara 3 – 6 bulan. Dengan upah yang lebih rendah dari upah buruh tetap. Ditambah lagi kondisi kerja yang sangat buruk. Seperti yang kita temukan di perusahaan garment asal korea di KBN Cakung bernama PT. GGI. Dari 710 buruhnya, mayoritas adalah perempuan. Mereka bekerja sesuai target yang diberikan dan jika tidak sanggup menyelesaikan pekerjaannya tepat waktu, maka ia harus rela bekerja lembur melebihi jam kerjanya tanpa dibayar di ruangan yang panas hanya dengan kipas angin. Kondisi ini diperparah dengan adanya PP 78/2015 tentang pengupahan. Penetapan upah berdasarkan PP No.78/2015 yang hanya berdasar pada angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi terang menghadirkan beban baru bagi klas buruh di Indonesia. Kenaikan upah buruh menjadi terbatas, tidak sebanding dengan kebutuhan bahan pokok yang harganya terus melambung tinggi, sehingga upah yang diterima buruh tidak lagi dapat mencukupi kebutuhan hidup minimumnya.

Secara politik, peranan perempuan masih sangat rendah. Di tingkatan terendah seperti ketua/pengurus RT, RW hingga kelurahan, masih jarang kita temukan perempuan menempati jabatan didalam kepengurusan terlebih sebagai ketua atau kepala. Di kalangan serikat buruh, posisi utama juga jarang sekali diduduki oleh perempuan. Lebih tinggi lagi bisa kita lihat keterlibatan perempuan dalam parlemen atau bahkan di kabinet kerja Jokowi-JK, sekalipun ada unsur perempuan tapi bisa kita hitung dengan jari dan yang terpenting kita garis bawahi bahwa perempuan yang terlibat di parlemen atau kabinet kerja saat ini belum sama sekali mewakili perempuan dari klas buruh atau kaum tani. Melainkan perempuan dari kalangan klas borjuasi. Lima tahun sekali dilaksanakan pemilu presiden dan sudah kesekian kalinya dilaksanakan di Indonesia. Namun, tidak sedikitpun mengubah keadaan perempuan. Masih saja terperosok dalam jurang kemiskinan dan ketertindasan. 

Perempuan di perkampungan miskin kota pun tak lepas dari diskriminasi dan kekerasan. Atas nama infrasruktur dan percepatan pembangunan, rakyat terus dihadapkan pada penggusuran yang tak jarang dilakukan dengan cara yang bar-bar, seperti yang dialami warga Kapuk Poglar, Jakarta Barat baru-baru ini. Tanpa ada musyawarah, bahkan relokasi dan kompensasi, rakyat dipaksa keluar dari tanah yang sudah didiami sejak lebih dari 30th. Meskipun eksekusi lahan ditunda karena masifnya gerakan massa di wilayah tersebut, bukan berarti warga sudah aman dari ancaman penggusuran. Perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang paling menderita jika benar penggusuran tersebut terjadi.   

Perempuan Indonesia yang sebagian besar populasinya tinggal di Pedesaan menghadapi penderitaan yang tak kalah parah. Dominasi negara dan perkebunan besar (kelapa sawit, kayu, tebu, teh) atas penguasaan tanah menyebabkan jutaan keluarga masih hidup tanpa tanah, hanya menjual tenaganya secara murah sebagai Buruh Tani Harian Lepas (BHL). Kaum tani kecil lainnya sekalipun memiliki tanah, pendapatannya jauh dari keperluan hidup, karena keterbatasan tanah, modal dan sarana produksi pertanian (Input Pertanian), serta harga komoditas produksi pertanian (Output Pertanian) yang sangat rendah dan tidak stabil.

Reforma agraria yang digencarkan Jokowi tidak mampu menjawab kebutuhan kaum tani atas tanah. Sebab, Inti dari kebijakan RA Jokowi adalah legalisasi asset atau sertifikatisasi yang justru berorientasi untuk memperluas pasar tanah (land market) dan kredit perbankan. Dalam jangka panjang, program ini semakin membuka peluang perampasan tanah karena sertifikasi hanya akan memudahkan praktik jual-beli tanah yang menguntungkan tuan tanah dan perbankan yang menyita asset kaum tani. Program ini terkait dengan skema Bank Dunia sebelumnya melalui Land Administration Project (LAP). Kami berpendirian bahwa reforma agraria sejati memastikan perombakan struktur agraria secara menyeluruh, tidak parsial.

Diskriminasi upah bagi kaum perempuan dalam perkebunan untuk jenis dan beban pekerjaan yang sama masih berlangsung. Harga tenaga kerja kaum perempuan jauh lebih murah dibandingkan kaum laki-laki. Aneka jenis cuti yang hanya melekat pada kaum buruh perempuan seperti cuti haid, cuti hamil dan melahirkkan harus diberikan dan tetap dibayar sesuai ketentuan yang ada tanpa syarat. Fasilitas bagi buruh perempuan yang memiliki anak-anak di bawah lima tahun (BALITA) seperti hak menyusui, fasilitas penitipan anak-anak selama ditinggal kerja harus dapat disediakan oleh pengusaha. Berbagai peralatan keselamatan, keamanan dan kesehatan kerja harus disediakan kaum perempuan agar dapat melindunginya dari berbagai masalah reproduksi dan menjaga kesehatan anak –anak yang sedang di kandungannya maupun anak yang masih disusuinya.

Rendahnya penghidupan perempuan di pedesaan dikarenakan masifnya monopoli dan perampasan tanah membuat perempuan bermigrasi keluar negeri menjadi buruh migran tanpa perlindungan sejati dari Negara. Terbaru ialah kasus Adelina, asal Desa Abi, Kec. Oenino, Kab. Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur yang bekerja sebagai PRT di Malaysia, meninggal setelah mengalami penyiksaan dan juga perlakuan tidak manusiawi dari majikannya. Setelah sebelumnya kita mendengar Dolfina Abuk dari NTT yang pulang tinggal nama dengan tubuh penuh jahitan diduga menjadi korban Human Trafficking. Serta banyak sekali kasus penyiksaan buruh migran diluar negeri. Pemerintah dengan bangganya mengesahkan UU PPMI yang sejatinya tidak jauh berbeda dengan UU 39 sebelumnya dimana BMI tidak pernah dilibatkan dalam pembentukan kebijakan tersebut. Tuntutan BMI yang menginginkan kontrak mandiri sama sekali tidak diakomodir, setiap kasus yang menimpa BMI selalu dikembalikan ke pihak swasta dalam hal ini PJTKI yang prakteknya selama ini tidak pernah berpihak pada BMI justru sebaliknya memeras keringat BMI dengan berbagai potongan gaji yang memberatkan.

Berbagai kebijakan pemerintah dibawah pimpinan Jokowi-JK semakin menunjukkan sikap anti terhadap kaum perempuan. Diantaranya UU ormass, UU MD3, RKUHP yang tak lama lagi akan disahkan, hingga PP 60 th 2017 tentang Tata Cara Perizinan dan Pengawasan Kegiatan Keramaian Umum, Kegiatan Masyarakat Lainnya, dan Pemberitahuan Kegiatan Politik, sejatinya membatasi kebebasan kaum perempuan untuk berorganisasi dan berserikat. Ditambah lagi pencabutan subsidi BBM, tariff dasar listrik, dan input pertanian yang kemudian membuat harga-harga kebutuhan pokok melambung tinggi. Tak terkecuali kebijakan impor beras dengan dalih mengamankan stok cadangan bulog dan menekan kenaikan harga, justru semakin memerosotkan tingkat penghidupan kaum perempuan.

Keberadaan dan peranan kaum perempuan sampai hari ini (2018) selalu diremehkan dan dinomorduakan akibat penindasan dan penghisapan imperialisme dan kaki tangannya. Keadaan ini harus di lawan dan dihancurkan. Kaum perempuan harus bersatu dalam organisasi yang perempuan yang maju militan dan demokratis, yang akan memajukan derajatnya dan membangkitkan kaum perempuan untuk bergerak dan berorganisasi membebaskan dirinya sendiri dan terlibat aktif dalam perjuangan demokratis nasional. Kaum perempuan harus terus memperkuat dirinya agar dapat berjuang bersama kelas buruh, kaum tani, dan Rakyat pekerja lainnya untuk membebaskan Indonesia dari cengkeraman penindasan dan penghisapan imperialisme dan kaki tangannya dalam negeri, menuju tatanan masyarakat yang adil secara ekonomi, demokratis secara politik dan partisipatif secara budaya. [].

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item