Pernyataan Sikap GSBI dalam Aksi Nasional 20 November 2019

PERYATAAN SIKAP GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA DALAM AKSI NASIONAL 20 NOVEMBER 2019 Batalkan Revisi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun ...


PERYATAAN SIKAP GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA
DALAM AKSI NASIONAL 20 NOVEMBER 2019

Batalkan Revisi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003, Cabut PP No.78/2015, Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan serta Produk Peraturan Perundang-Undangan yang Merugikan Buruh Indonesia 

Salam demokrasi!!
Periode kedua pemerintahan Joko Widodo adalah malapetaka bagi klas buruh dan seluruh rakyat Indonesia. Klas buruh terus dihadapkan dengan perampasan upah yang semakin intensif. Melalui skema politik upah murah dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.78/2015, bukan kenaikan upah yang dapat memenuhi kebutuhan hidup yang diraih oleh buruh, namun justru defisit upah yang semakin tajam terus menghantam kehidupan buruh di Indonesia.

Dalam penetapan upah tahun 2020 melalui Surat Edaran Menteri Tenagakerja Nomor: B-M/308/HI.01.00/2019 tentang Penyampaian Data Tingkat Inflasi dan Pertumbuhan Produk Domestik Bruto Tahun 2019. Kementerian Tenagakerja, menetapkan kenaikan upah minimum 2020 hanya sebesar 8,51% yang didasarkan tingkat inflasi nasional sebesar 3,39% dan pertumbuhan ekonomi nasional berada pada kisaran 5,12%. Itu artinya selama lima tahun diterapkan, PP No.78/2015 membatasi kenaikan upah hanya berkisar 8% saja, kondisi yang jauh lebih buruk jika dibandingkan sebelum ditetapkan aturan tersebut.

Kenaikan upah yang hanya 8,51% sungguh pukulan bagi klas buruh dan jauh dari kebutuhan ideal hidup rakyat. Pasalnya, di sisi lain pemerintah justru menaikan berbagai kebutuhan dasar rakyat. Sebut saja kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang mencapai 100%, naiknya tarif dasar listrik 900 VA sebesar Rp 29.000/bulan, hingga terus melonjaknya harga pangan, dan biaya publik lainya seperti pendidikan. Artinya, klas buruh dan rakyat Indonesia akan semakin terjerumus dalam kemiskinan akut, karena upah yang didapatkan jauh tidak sebanding dengan meningkatnya kebutuhan hidup. Pemerintahan Jokowi menjadikan rakyat sapi perahan dengan memeras, memaksa dan merampok uang rakyat melalui berbagai kebijakan neoliberalnya.

Pemerintah justru terus memfasilitasi kepentingan dan bisnis dari borjuasi besar dalam negeri dan kapitalis monopoli internasional. Berbagai hambatan investasi dan utang luar negeri terus dipangkas oleh pemerintah. Presiden Jokowi terus menarik berbagai investor untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia. Bahkan untuk mempermudah itu semua, pemerintah akan menerapkan aturan penggabungan beberapa perundang-undangan (Omnibus Law) sebagai program deregulasi. Hal tersebut tidak terlepas dari desakan lembaga keuangan global dan negeri-negeri imperialis, khususnya Amerika Serikat. Dengan meminta Indonesia untuk lebih mempermudah  akses masuknya investasi asing.

Bank Dunia (World Bank/WB) pada April 2018 merilis Laporan Pembangunan Dunia yang bertujuan mengarahkan laju perkembangan ekonomi dan pembangunan seluruh negara anggotanya agar sesuai dengan keinginan negeri-negeri imperialis. Salah satunya adalah desakan untuk mengubah kebijakan perburuhan, perindustrian dan ketenagakerjaan. Artinya Bank Dunia meminta untuk segera melahirkan peraturan fleksibilitas kerja dan upah. Dampaknya adalah terciptanya pasar tenaga kerja yang melimpah, melanggengkan sistem kontrak yang lebih pendek, mempermudah pelaksanaan outsourcing, jam kerja yang lebih panjang, peningkatan jumlah kerja yang lebih membebankan, serta kemudahan PHK tanpa kompensasi.

Demi menyambut arahan dari imperialisme, pemerintahan Jokowi melegitimasinya dengan uraian bahwa “peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat ditempuh melalui peningkatan jumlah lapangan kerja seiring dengan upaya peningkatan iklim investasi di Indonesia. Oleh karena itu perlu diciptakan iklim usaha yang kondusif dibidang ketenagakerjaan dan keamanan berusaha, salah satunya melalui perbaikan regulasi ketenagakerjaan yang ramah investasi”. Maksudnya adalah pemerintah akan menjadikan rakyat sebagai sasaran jual-beli pada perusahaan-perusahaan sehingga, upah klas buruh dapat ditekan semakin murah untuk membuat nyaman dan memperbesar keuntungan bagi kapitalis. Dan perlu diingat, untuk memastikan tersedianya pasar tenaga kerja dengan jumlah besar, artinya praktik monopoli dan perampasan tanah di pedesaan akan semakin intensif. Karena hanya dengan itu, akan tercipta kemiskinan dan krisis akut di pedesaan yang menyebabkan pengangguran skala besar.

Pemerintahan Jokowi juga akan melakukan revisi terhadap Undang – undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Revisi tersebut sebenarnya telah lama menjadi wacana, tujuanya adalah menghilangi hambatan bagi keberlangsungan bisnis imperialis di Indonesia. Melalui pemerintah, parlemen dan didukung oleh borjuasi besar dalam negeri, imperialis khususnya  Amerika Serikat berkeinginan untuk merevisi seluruh aturan penghambat bisnis dan investasinya. Termasuk di dalamnya mengenai upah dan hak-hak normatif klas buruh yang dianggap memberatkan. Semua itu demi pengerukan super profit yang semakin besar.

Maka adalah kebohongan yang disampaikan oleh pemerintah, jika revisi UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun 2003 dilakukan untuk menjamin dan melindungi hak buruh serta menghilangkan pengangguran. Justru sebaliknya, revisi tersebut tidak terlepas dari kondisi krisis global dan dalam negeri di Indonesia. Fakta bahwa skema neoliberal telah gagal total dan terbukti ambruk tidak bisa ditutupi lagi oleh negeri-negeri imperialis. Berbagai negeri imperialis kini mengalami stagnasi perkenomian dan mengarah pada krisis yang semakin tajam. Satu-satunya jalan untuk mencegah kebangruktan dari berbagai perusahaan kapitalis monopoli asing adalah dengan membuka ruang eksploitasi lebih besar di berbagai negeri jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Indonesia adalah pasar potensial bagi pelaksanaan ekspor kapital milik imperialis. Namun dibutuhkan fleksibelitas secara maksimal untuk memanfaatkan rakyat demi keuntungan bisnis mereka.

Pembangunan ekonomi yang berbasis pada investasi dan modal asing, telah ditunjukan oleh pemerintahan Jokowi dengan mengintensifkan pembangunan infrastruktur diberbagai daerah serta kawasan-kawasan industri. Pemerintahan Jokowi menjanjikan pembangunan industri yang meluas dan merata akan menciptakan banyak lapangan pekerjaan bagi rakyat.

Namun hal itu hanya ilusi, yang terjadi sesungguhnya adalah pemerataan bisnis bagi borjuasi besar dalam negeri dan membuka peluang bagi kapitalis monopoli asing untuk arena bisnisnya yang semakin merata. Pembangunan infrastruktur jalan tol misalnya, dengan biaya yang mahal mencerminkan bahwa pembangunan tersebut memang sedari awal tidak ditujukan untuk penetingan rakyat, namun untuk mempermudah arus distribusi perusahaan besar. Pembangunan untuk rakyat yang tidak merata di Indonesia tidak akan pernah terselesaikan jika diperdesaa masih intensif terjadi monopoli tanah.

Pemerataan pembangunan hanya dapat dilakukan jika ketimpangan kepemilikan tanah dapat dihilangkan sehingga memungkinkan untuk dibangunya industri skala nasional yang merata. Tanpa itu, yang terjadi hanyalah ketimpangan seperti saat ini. Karena ketimpangan dan perbedaan upah antar daerah, kini banyak pengusaha yang memindahkan pabrik dan usahanya ke berbagai daerah dengan upah buruh yang lebih rendah. Hasilnya adalah pengangguran diberbagai kota semakin tinggi dan penghisapan melalui pencurian nilai lebih yang terus membesar tetap terjadi. Sementara perusahaan besar mendapatkan keuntungan yang berlipat dari kondisi tersebut.


Bahkan pemerintah justru memberikan legalitas dengan mengeluarkan kebijakan atas penerapan upah murah tersebut seperti yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat yang melegalisasi Upah Padat Karya bagi puluhan perusahaan sektor garmen di wilayah Jawa Barat. Penciptaan lapangan pekerjaan yang merata harusnya dibarengi dengan adanya kepastian kerja, sistem pengupahan yang adil dan syarat-syarat kerja yang manusiawi.  Gagasan pemerintah untuk menghapuskan sistem upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan menempatkan upah minimum propinsi (UMP) sebagai upah terrendah di satu propinsi. Bukanlah solusi yang tepat dan bijak dalam menjawab gap pengupahan yang saat ini terjadi.

Solusi yang tepat dalam menjawab situasi klas buruh saat ini adalah dengan memastikan dilaksanakannya reforma agraria sejati di pedesaan seluruh Indonesia. Menghilangkan monopoli tanah yang dilakukan oleh tuan tanah, sehingga kaum tani dapat berdaulat terhadap tanahnya. Sehingga diperdesaan akan tercipta pembangunan ekonomi yang maju dan terus bertumbuh melahirkan kesehateraan dan menghindari lahirnya pengangguran skala besar terjadi. Reforma agraria sejati adalah kunci untuk pembangunan indsutri nasional yang mandiri dan terbebas dari investasi dan utang asing.

Mampu membangun kemandirian dalam industri nasional dengan menyerap tenaga produktif dan mengembangkan teknologi yang berbasis pada perkembang ilmu pengetahuan yang ilmiah dan mengabdi pada rakyat. Dengan  demikian, persoalan ketimpangan, perbedaan upah, defisit upah serta penerapan Upah Minimum Nasional dapat direalisasikan. Sistem pengupahan nasional harus memiliki kesamaan nilai upah minimum dan berlaku secara nasional.

Dalam momentum Aksi Nasional 20 November 2019 yang dilaksanakan di berbagai kota di Indonesia, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menegaskan sikap dan pandangannya dalam menolak seluruh skema kebijakan pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi-Maruuf Amin dan menuntut:

1. Batalkan Rencana Revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003
2. Batalkan kenaikan upah 2019 berdasarkan PP 78/2015 dengan 8,51% dan berikan upah buruh sesuai dengan kebutuhan hidup minimum buruh beserta keluarganya (3 orang anak
3. Cabut PP No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan.
4. Cabut Kepmen 231 tahun 2003 tentang Tata Cara Penangguhan Upah Minimum
5. Cabut SK Gubernur Jawa Barat tentang Upah Minimum Padat Karya   
6. Stop PHK, Pemberangusan Serikat dan Kriminalisasi terhadap buruh
7. Hapus Sistem Kerja Kontrak, Outsourcing dan Pemagangan
8. Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan di semua kelas, Berikan Jaminan Sosial yang sepenuhnya ditanggung oleh negara
9. Turunkan Harga-Harga Kebutuhan Pokok
10. Hentikan Pencabutan Subsidi Publik Bagi Rakyat
11. Hapus Pemberlakuan Pajak Penghasilan Bagi Kaum Buruh
12. Cabut penetapan kawasan industri dan perusahaan sebagai Objek Vital Nasional Indonesia
13. Jalankan Reforma Agraria Sejati dan Bangun Industrialisasi Nasional sebagai solusi untuk penciptaan lapangan pekerjaan dan upah yang adil bagi buruh

Demikian pernyataan sikap ini dibuat, dan GSBI juga menyerukan kepada seluruh kaum buruh di Indonesia untuk membangun dan memperkuat persatuan dengan rakyat diberbagai sektor untuk perjuangan lapangan pekerjaan, kepastian kerja dan sistem pengupahan yang adil, serta melawan berbagai macam kebijakan pemerintahan Jokowi-Maruf Amin yang merampas hak-hak demoraktis rakyat.

Jakarta, 20 November 2019
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (DPP.GSBI)
 


RUDI HB. DAMAN
Ketua Umum



EMELIA YANTI MD. SIAHAAN, S.H
Sekretaris Jenderal 
x

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item