Sekjend GSBI Jadi Narasumber Diskusi Daring “Nasib Klas Buruh di Tengah Corona dan Jerat Omnibus Law Cipta Kerja”

INFO GSBI-Yogyakarta. Untuk membedah Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan mengetahui Nasib Klas Buruh Indonesia di Tengah Wabah Pandemi Virus...


INFO GSBI-Yogyakarta. Untuk membedah Omnibus Law RUU Cipta Kerja dan mengetahui Nasib Klas Buruh Indonesia di Tengah Wabah Pandemi Virus Corona (Covid19), Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Selasa 21 April 2020 menggelar Diskusi Daring live melalui istagram.

Diskusi daring dengan tema “Nasib Klas Buruh di tengah Corona dan Jerat Omnibus Law Cipta Kerja” ini berlangsung selama 2,5 jam, dengan narasumber utama Emelia Yanti Siahaan, Sekretaris Jenderal (Sekjend) GSBI dari Jakarta.

Diskusi yang di pandu oleh Raihan A. Rauf  sebagai Moderator dimulai dengan pemaparan materi oleh narasumber, setelahnya dilanjutkan dengan sesi tanya jawab dengan peserta.

Dalam pemaparan materinya, Sekjend DPP.GSBI menjelaskan, “bahwa  Omnibus Law RUU Cipta Kerja bukanlah regulasi yang berdiri sendiri atau sebagai ide maju Jokowi dalam mengatasi tumpang tindih dan hiper regulasi yang ada di Indonesia. RUU Cipta Kerja memiliki korelasi dengan 16 paket kebijakan ekonomi yang telah dikeluarkan oleh Jokowi pada periode pertamanya. Ke 16 paket kebijakan ekonomi tersebut belum begitu kuat untuk mengenjot masuknya investasi asing di Indonesia, maka dibutuhkan satu regulasi yang bisa memberikan legitimasi kuat secara hukum dan politik bagi pemerintahan Jokowi untuk memberikan layanan terbaiknya untuk kapitalis monopoli asing di Indonesia beroperasi tanpa hambatan apapun. Dimana Omnibus Law ini dibuat ditujukan dan diabdikan untuk kepentingan melindungi Investasi dan kemudahan berusaha dengan membabat regulasi-regulasi yang dianggap menghambat selama ini “.

“Baca saja secara detail naskah akademisnya, baca saja tujuannya. Pembuatan Omnibus Law Cipta Kerja itu dibuat, bukan didasari pada semangat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan yang bertujuan melindungi hak-hak warga negara.Bukanpula untuk Buruh atau Rakyat dan bukan    pula    untuk   menciptakan   Kedaulatan   Indonesia,   tapi   untuk menyerahkan sumber daya alam (SDA) Indonesia kepada Kapitalis Monopoli Asing (investor) untuk di keruk dan menjadikan Indonesia terus menjadi negeri terbelakang, bergantung pada Investasi dan Hutang serta menjadikan Indonesia pasar bagi prodak-prodak Imperialisme”. tegasnya .

Lebih lanjut disampaikan, Omnibus Law RUU Cipta Kerja didalamnya mengatur 11 klaster salah satunya Klaster Ketenagakerjaan. Sebagai serikat buruh GSBI secara khusus memberikan perhatian dan analisa kritis terhadap isi Klaster Ketenagakerjaan, terkhusunya 6 hal yang termuat dalam RUU Cipta Kerja yaitu Pengupahan, Hubungan Kerja, PHK dan Pesangon, Jam Kerja, dan TKA dan Sanksi.

Dalam analisa yang dilakukan GSBI, isi Omnibus Law RUU Cipta Kerja memperlihatkan komitmen buruk pemerintah terhadap perlindungan buruh, petani, masyarakat adat, lingkunggan dan kedaulatan bangsa. RUU ini akan melanggengkan kondisi krisis, memudahkan investasi, namun menaruh rakyat di bawah ancaman bencana. Terutama dalam Klaster Ketenagakerjaan nyata mengurangi, menghilangkan hak dan kesejahteraan buruh yang selama ini didapat buruh, menghilangkan aspek perlindungan bahkan menghilangkan aspek pidana bagi pengusaha pelanggar.

Klaster Ketenagakerjaan secara terang benderang merampas hak-hak dasar buruh. Soal Upah misalnya, dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil (ketentuan ini membuka ruang adanya upah per jam). Ketika upah dibayarkan per jam (satuan waktu dan hasil), maka otomatis upah minimum akan hilang, dan akibatnya nanti hanya akan ada buruh harian lepas dan buruh borongan.

Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK) dan Upah Minumum Sektoral (UMSK) dihilangkan (di hapus). Yang ada hanya Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Penetapan kenaikan Upah Minimum hanya dihitung berdasarkan pertumbuhan ekonomi ditiap daerah.

Omnibus Law juga memuat ketentuan upah minimum padat karya. Artinya, akan ada upah di bawah upah minimum. Padahal fungsi upah minimum sendiri merupakan jaring pengaman. Tidak boleh ada upah yang nilainya di bawah upah minimum. Fungsi dan Dewan Pengupahan Kota/Kabupaten dihilangkan.

Tidak ada larangan bagi pengusaha membayar upah dibawah ketentuan upah minimum. Upah Minimum semakin tidak lagi memiliki arti, karena sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah upah minimum dihilangkan.  Padahal dalam UU Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun2003, jika pengusahan membayar upah di bawah upah minimum, pengusaha bisa dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak 400 juta.

Demi investasi asing, sistem pengupahan yang di ajukan semakin memperlihatkan sikap pemerintahan Jokowi yang tetap mempertahankan politik upah murah dan memperhebat perampasan upah buruh.

Begitu juga dalam pengaturan sistem hubungan kerja, sistem Outsourcing dan sistem kerja kontrak tanpa batas dan untuk semua jenis pekerja dan sektor industri. Padahal, sebelumnya dalam UU Ketenagakerjaan kerja Nomor 13 tahun 2003 kontrak hanya diperbolehkan untuk pekerjaan yang sekali selesai atau sementara dan tidak untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Waktu kontrak pun hanya boleh dilakukan maksimal 2 tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 kali maksimal 1 tahun.  Maka Omnibus Law jelas menciptakan Tidak Adanya Kepastian Kerja dan merugikan buruh.

Sekjend GSBI juga memaparkan pasal-pasal lainnya dalam klaster Ketenagakerjaan seperti;  soal PHK yang sangat di permudah dan mengabaikan hak politik serikat buruh, karena tidak lagi mengharuskan pengusaha untuk berunding dengan serikat buruh bila ingin melakukan PHK baik perorangan maupun massal. Belum lagi dengan dihilangkannya uang penghargaan masa kerja dan pengurangan nilai pesangon bagi buruh yang terkena PHK. Omnibus Law juga mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA) karena tidak lagi mengatur syarat-syarat administrasi yang ketat, pengusaha cukup dengan membuat perencanaan penggunaan tenaga kerja asing yang dibutuhkan. Jika RUU Cipta Kerja ini nanti berlaku dan diterapkan, maka besar kemungkinan pekerjaan seperti cleaning service, mekanik atau pekerjaan level operatord dan pekerjaan kasarpun akan ditempati oleh tenaga kerja asing.  Karena RUU ini  tidak lagi mengatur pembatasan jabatan atau level tertentu yang boleh diisi oleh TKA.

Meskipun diskusi daring, diskusi berjalan seru dan menarik dimana dalam sesi tanya jawab peserta diskusi banyak menyampaikan pertanyaan seputar Omnibus Law Cipta Kerja, situasi buruh dimasa pandemi Corona (Covid19) termasuk bertanya tentang pandangan GSBI atas kebijakan pemerintah dalam penanganan Covid-19 (PSBB dan Kartu Pra Kerja) serta Solusi apa yang tepat yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi krisis hari ini dampak dari Covid-19?.

Dengan sabar Sekjend GSBI pun menjawab, menjelaskan atas setiap pertanyaan peserta. seprti tentang Kartu Pra-Kerja.  Menurut GSBI Program ini sangat tidak membantu, tidak menjawab masalah utama buruh korban PHK dan pengangguran. Tidak hanya prosedurnya yang rumit karena mengharuskan buruh korban PHK ataupun yang mau mendapatkan Kartu Pra Kerja harus melakukan registrasi online, artinya mengharuskan memiliki telepon selular yang standar dan data internet yang cukup untuk bisa melakukan browsing ke link yang disedikan. Program Kartu Pra-Kerja tidak sama sekali membantu beban ekonomi  buruh dan keluarganya khususnya mereka yang ter-PHK, dirumahkan dan kehilangan penghasilan harian. Karena yang dibutuhkan buruh korban PHK dan pengangguran saat ini adalah dapur ngebul, perut terisi, keluarga mereka tidak kelaparan, artinya Bantuan Tunai Langsung (BLT) yang bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka akibat kehilangan penghasilannya, bukan pelatihan keterampailan.

Diakhir diskusi, selain mengajak peserta diskusi, mahasiswa dan pemuda, terkhusus HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah untuk ambil bagian dan terlibat aktif dalam kampanye menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja dalam berbagai bentuk. Sekjend GSBI juga menyampaikan tentang pentingnya menjalankan reforma agraria sejati dan membangun industrialisasi nasional sebagai lawan dari sistem setengah jajahan dan setengah feodal yang di pertahankan rezim Jokowi.

Bahwa sistem ekonomi yang di jalankan rezim Jokowi saat ini yang bergantung pada investasi asing dan hutang, bercorak sistem ekonomi Neoliberalisme. Politik rezim yang mempertahankan sistem setengah jajahan setengah feodal adalah rezim kakitangan atau boneka kapitalis monopoli asing, itu adalah sistem rapuh dan busuk tidak akan sanggup menyelamatkan jutaan kaum buruh yang terancam PHK dan kelaparan yang mulai mengancam rakyat miskin di perkotaan dan pedesaan dan tidak akan membawa kemakmuran bagi rakyat. []#
x

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item