Rilis Media KBS : Kebijakan Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit

Rilis Media Koalisi Buruh Sawit (KBS) :  Kebijakan Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit Pengantar Luas perkebunan sawit di Indonesia saat i...


Rilis Media Koalisi Buruh Sawit (KBS) :  Kebijakan Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit


Pengantar

Luas perkebunan sawit di Indonesia saat ini sudah mencapai 22,18 juta hektar dengan 30% diantaranya dimiliki oleh petani1. Kontribusi langsung dari kehadiran perkebunan sawit adalah munculnya kesempatan kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor perkebunan dan industri sawit menghasilkan angka yang cukup besar dibandingkan dengan industri lainnya, namun sampai sejauh ini belum ada rujukan data terpadu jumlah buruh perkebunan sawit. Menurut KADIN, perkebunan sawit di Indonesia telah menyerap 21 juta orang tenaga kerja baik yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung2. GAPKI menyatakan 16 juta buruh menggantungkan hidupnya dari industri sawit3. Koalisi Buruh Sawit mencatat jumlah buruh di perkebunan sawit mencapai angka 20 juta4. Sementara, pemerintah menyebutkan perkebunan industri sawit menyerap 16,2 juta tenaga kerja dengan rincian 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung5.

Industri perkebunan sawit diklaim memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian nasional Indonesia. Rata-rata devisa negara yang dihasilkan adalah sebesar USD 21 miliar atau sekitar Rp 205 triliun/tahun.  Industri sawit selama lima tahun terakhir cenderung mengalami peningkatan dalam hal volume ekspor minyak sawit mentah dan turunannya. Walau dianggap kontributif, perkebunan sawit di Indonesia menciptakan banyak persoalan di lapangan, mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, kondisi buruh yang terabaikan, hingga ancaman ketersediaan pangan.


Kondisi Buruh 

Dalam aspek perburuhan, sejumlah penelitian melansir adanya indikasi kerja paksa buruh di perkebunan sawit di Indonesia. UU Ciptaker kemudian melegitimasi praktik hubungan kerja rentan sebagaimana saat ini dipraktikkan di perkebunan sawit. Di perkebunan sawit terjadi kelanggengan praktik eksploitatif berbentuk target kerja yang tidak manusiawi, upah murah, status hubungan kerja rentan dan kerja paksa yang berakibat pada kemiskinan struktural buruh perkebunan sawit. Pemerintah menafikan keberadaan buruh sawit sebagai ujung tombak dari industri sawit di Indonesia, khususnya perempuan yang merupakan kelompok paling dirugikan dan termarjinalisasi. 

Dalam konteks perkebunan kelapa sawit, UU Ketenagakerjaan dan UU Ciptaker tidak mampu memberikan perlindungan pada buruh sawit karena dirumuskan berdasarkan pada kondisi pekerja  sektor manufaktur. Sifat pekerjaan di perkebunan kelapa sawit berbeda jauh dari pekerjaan di sektor manufaktur, hal ini bisa dilihat dari kebutuhan kalori yang jauh lebih tinggi, dan penerapan beban kerja yang didasarkan pada tiga hal: target tonase, target luas lahan, dan target jam kerja. Secara gamblang, pekerja di sektor perkebunan memiliki beban kerja yang jauh lebih berat daripada pekerja manufaktur. Selain itu, pekerja perkebunan secara sosiologis terisolasi dari dunia luar. Dalam konteks ini, Undang-undang ketenagakerjaan Indonesia, dianggap tidak mampu membaca kebutuhan buruh perkebunan kelapa sawit, bahkan cenderung mendiskriminasi buruh perkebunan sawit.

Hasil temuan Koalisi Buruh Sawit, sebagian besar dari jutaan pekerja sawit merupakan pekerja prekariat, atau dikenal dengan nama Buruh Harian Lepas (BHL), dan sebagian besar BHL adalah perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan mendapat porsi pekerjaan yang dianggap merupakan pekerjaan musiman seperti perawatan, pemupukan, penyemportan insektisida, pembrondol, dan lain-lain. KBS menemukan hampir di semua perkebunan sawit di Indonesia para perempuan menjadi BHL dengan masa kerja lebih dari dua tahun, bahkan ada yang sampai belasan tahun. Selain hubungan kerja prekariat, perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja buruh perempuan perkebunan sawit juga sangat minim. Tidak semua perkebunan sawit menyediakan alat pelindung diri yang memadai, padahal pekerjaan buruh perempuan seperti menyemprot dan memupuk sangat rentan terpapar zat kimia beracun. 

Koalisi Buruh Sawit melihat skema pengawasan dari kementrian ketenagakerjaan memiliki kelemahan yang cukup esensial. Jumlah dan kapasitas mediator dan pengawas sangat tidak memadai. Jumlah pejabat fungsional Pengawas Ketenagakerjaan yang ada sebanyak 1.556 orang sedangkan pejabat fungsional Mediator Hubungan Industrial sebanyak 820 orang6. Jumlah ini sangat tidak ideal bila dibandingkan dengan jumlah perusahaan di Indonesia. Efektifitas pengawasan ketenagakerjaan meragukan karena lebih mengedepankan mediasi daripada penegakan hukum yang mengakibatkan tidak ada efek jera dari perusahaan pelanggar hukum. Selain itu, pengawas ketenagakerjaan tidak ada yang secara khusus mengawasi sektor perkebunan sawit. Pelaporan-pelaporan dari buruh yang tidak ditindaklanjuti diikuti oleh lemahnya kinerja pengawasan disnaker sangat merugikan kepentingan buruh.

3 kebijakan pemerintah Indonesia berkenaan dengan perkebunan sawit yaitu Instruksi Presiden (Inpres) No. 8 tahun 2018 tentang Moratorium Sawit, Rencana Aksi Nasional Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Tahun 2019 – 2024 (RAN KSB) dan Perpres No 44 tahun 2020 tentang Sistem sertifikasi Perkebunan Sawit Berkelanjutan Indonesia  tidak menempatkan kondisi buruh sebagai bagian yang dievaluasi. Pemerintah belum melakukan banyak perubahan yang signifikan untuk perbaikan tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. 


Rekomendasi 

Isu buruh perkebunan sawit belum dianggap menjadi hal penting dalam rantai pasok industri sawit. Meskipun Indonesia telah meratifikasi sejumlah konvensi ILO, namun tidak ada satupun 

konvensi khusus perkebunan yang sudah diratifikasi oleh Indonesia. Di perundangan nasional, Indonesia masih belum memiliki peraturan perundangan khusus perlindungan buruh perkebunan, khususnya perkebunan sawit. Memang DPR dan pemerintah telah memasukkan RUU  Buruh Pertanian/Perkebunan ke dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024 dan berada pada nomor 87, namun RUU tersebut belum masuk ke dalam prioritas. Hal lain, sampai sejauh ini informasi terkait substansi RUU dimaksud sangat minim. 

KBS meminta pemerintah Indonesia agar menata sistem perburuhan yang menempatkan buruh sebagai subjek yang hidup layak. Koalisi Buruh Sawit mendorong adanya regulasi khusus perlindungan buruh perkebunan kelapa sawit yang mengatur sistem target, hubungan status kerja, sistem pengupahan, jaminan sosial kesehatan dan ketenagakerjaan, mekanisme perlindungan K3 dan perlindungan terhadap kebebasan berserikat. Adanya regulasi yang secara khusus mengatur hubungan kerja di perkebunan sawit harus dipandang sebagai suatu upaya serius Indonesia untuk memastikan hak-hak buruh dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. 


Jakarta, 11 Desember 2022


Koalisi Buruh Sawit :
Serikat Buruh Perkebunan Indonesia (SERBUNDO)
FSPBun Rajawali EHP, Kalimantan Selatan
FSPM Sinarmas Kalimantan Selatan 
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI)
FSP Minamas Area Sungai Durian Kalimantan Selatan
Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI) Kalimantan Tengah
FSP Minamas AP Kalimantan Selatan 
Serikat Buruh sawit Sejahtera (SBSS) Sumatera Selatan 
Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Nagan Raya Aceh
Serikat Buruh Kebun (SBK) Kalimantan Barat
SBKT Kalimantan Barat
SBKS Kalimantan Barat
Sawit Watch, Bogor
Link-AR Borneo, Kalimantan Barat
Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta 
Organisasi Penguatan dan Pengembangan Usaha-Usaha Kerakyatan (OPPUK)
Trade Union Care Center Aceh
Trade Union Rights Centre Jakarta 
Teraju Foundation Kalimantan Barat
Transformasi untuk Keadilan Indonesia (TuK Indonesia, Bogor)

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item