Pidato Eni Lestari (Ketua IMA dan JBMI HK-Macau) Dalam Press Conference 7 Maret 2023 : BMI Tuntut Tanggungjawab Negara

Poto: Eni Lestari INFO GSBI-Jakarta 7 Maret 2023. Hari ini, kami jauh-jauh datang ke Jakarta untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah I...

Poto: Eni Lestari

INFO GSBI-Jakarta 7 Maret 2023.
Hari ini, kami jauh-jauh datang ke Jakarta untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintah Indonesia bukan hanya korban perbudakan modern seperti Kartika dan Erwiana tetapi juga kepada jutaan PRT migran yang terus menerus dijadikan objek eksploitasi, penganiayaan, kekerasan, penyekapan dan kerja paksa. Kami menuntut pemerintah untuk bertanggungjawab terhadap PRT migran yang mati di negara-negara penempatan, dijebak ke dalam sindikat perdagangan manusia dan sindikat narkoba. Kami menuntut pemerintah untuk membebaskan semua PRT migran dan pekerja migran yang terancam hukuman mati dimanapun mereka berada. 

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia adalah salah satu pengirim tenaga kerja terbesar setelah Filipina. Indonesia sudah aktif mengirimkan tenaga kerjanya ke berbagai negara penempatan sejak tahun 1980-an. Hingga saat ini, Pekerja Rumah Tangga dan Penjaga Jompo masih tetap sektor terbesar. Mayoritas adalah perempuan yang direkrut dari berbagai daerah miskin di Indonesia termasuk NTT dan NTB. 

Sejak dulu hingga sekarang, pengiriman PRT migran selalu diwarnai dengan kasus-kasus ekstrim mulai dari eksploitasi, pelecehan, kekerasan, kematian hingga eksekusi mati. Korban demi korban terus berjatuhan seperti Adelina Sao, Yufrinda Selan, Satinah, Nirmala Bonat, Merri Utami dan masih banyak lagi termasuk kami yang duduk di panel hari ini. Ini hanyalah segelintir korban yang diketahui masyarakat, tapi masih banyak lagi korban-korban yang bahkan tidak dapat melapor dan mencari pertolongan yang dibutuhkan. 


Sebagai korban yang telah berhasil keluar dari perbudakan dan sekarang menjadi pegiat bagi sesama kami, kami terus menerus bertanya, sampai kapan kondisi ini akan terus terjadi? Bagaimana cara menghentikannya? Perlukah korban-korban lain seperti Kartika, Erwiana, Yulfrinda, Adelina berjatuh dulu sebelum pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN menyikapi persoalan perlindungan bagi PRT migran?


Dalam analisa kami, kekerasan ini terus terjadi karena beberapa factor utama:


  1.  Para perempuan migran ini bermigrasi sudah dalam kondisi keterpaksaan karena kesulitan mencukupi kebutuhan hidup yang terus melambung, sempitnya lapangan kerja bagi mereka yang baru lulus lebih khusus bagi perempuan yang sudah berkeluarga, rendahnya upah dan keselamatan kerja yang tidak terjamin di dalam negeri, harga produk pertanian yang tidak seimbang dengan produksinya dan pembangunan yang tidak merata sehingga satu daerah lebih maju dari daerah lain. Akibatnya, daerah-daerah miskin dan terbelakang tersebut menjadi ladang bagi sindikat perdagangan manusia yang menyasar perempuan-perempuan muda dan juga laki-laki. Keterpaksaan ini yang membuat perempuan migran harus bermigrasi dipenuhi rasa ketakutan dan kekhawatiran karena di dalam lubuk hati, mereka tahu bahwa kelangsungan hidup keluarga sangat ditentukan oleh mereka. 


  1. Sistem yang diberlakukan pemerintah Indonesia untuk merekrut dan menempatkan PRT migran sangat eksploitatif dan diskriminatif. Kami dipaksa masuk ke P3MI sebagai syarat utama agar dapat bekerja keluar negeri. Pelatihan pra pemberangkatan dan bahkan ketika kami mengalami permasalahan diluar negeri juga sepenuhnya diserahkan kepada P3MI. Pelatihan sangat tidak memadai bagi calon PRT migran. Pelatihan Bahasa diberikan bukan oleh guru-guru Bahasa yang terkualifikasi, tidak ada pemahaman tentang hukum dan budaya masyarakat local, tidak ada pelatihan tentang hak-hak dan apa yang harus dilakukan ketika terjadi pelanggaran dan kekerasan. Bahkan ketika PRT migran tiba di Hong Kong dan diberi buku panduan oleh pemerintah setempat, buku tersebut juga dirampas dan dibuang. Kami bekerja di negara asing dalam kondisi buta dan tidak berdaya. 


Akibat sistem ini, dokumen kami di dalam negeri ditahan P3MI, paspor dan kontrak kerja di tahan agen atau majikan, kami dipungut biaya yang sangat mahal yang harus dibayar selama 6 sampai 12 bulan gaji. Meski pemerintah telah memberlakukan aturan zero cost untuk biaya penempatan, tapi faktanya kami tetap membayar mahal dan tidak ada tindakan hukum. Korban juga kesulitan melapor dan meski melapor juga belum tentu mendapat kepastian hukum. 


  1. Kurangnya perlindungan hukum bagi PRT migran di negara-negara penempatan. Saat ini hanya Hong Kong yang memasukkan PRT migran ke dalam UU perlindungan dan kenapa itu kami diberi kontrak kerja dengan hak-hak standar. Akan tetapi dalam kenyataan, inipun tidak ditegakkan sehingga banyak yang tidak dapat libur, tidak diberi makan dan tempat tidur layak dan mengalami pelecehan seksual dan kekerasan seperti Erwiana dan Kartika. Sementara negara-negara lain bahkan tidak memasukkan PRT Migran ke dalam aturan setempat sehingga tidak ada jaminan. 


  1. Tidak diakuinya PRT sebagai pekerja oleh pemerintah di negara-negara penempatan dan bahkan pemerintah Indonesia. Hal ini karena PRT mengalami dua jenis diskriminasi, pertama diskriminasi klas karena PRT diperlakukan sebagai pekerjaan informal yang tidak punya kontribusi ekonomi dan kedua adalah diskriminasi gender karena mayoritas PRT adalah perempuan yang sudah dikodratkan bekerja di rumah tangga. Pertanyaan dari kami adalah bagaimana pemerintah dapat memperjuangkan hak hukum PRT migran di negara-negara penempatan kalau pemerintah Indonesia sendiri menolak mengesahkan RUU PRT di dalam negeri?


Meski saat ini dibawah presiden Jokowi, pemerintah banyak melakukan banyak perombakan hukum dalam migrasi tetapi fokusnya masih pada percepatan pengiriman demi memenuhi tuntutan pasar tenaga kerja semata. Akan tetapi, pemerintah bahkan tidak menciptakan peraturan-peraturan yang mengurangi beban kami untuk membayar berbagai jenis biaya keberangkatan, yang meyakinkan korban-korban pemungutan berlebihan bisa menuntut P3MI meski kami berada diluar negeri, yang meyakinkan pengambilan dokumen-dokumen yang ditahan P3MI dengan mudah dan cepat, yang meyakinkan kami bisa meminta pertolongan dan benar-benar ditolong semaksimal mungkin. Perubahan kebijakan belum benar-benar menjawab kebutuhan PRT migran di lapangan. 


Kenyataan inilah yang mendorong kami, sebagai PRT migran yang pernah mengalami dan melawan perbudakan, untuk giat berorganisasi. Kami tahu bahwa nasib kami tidak bisa diserahkan kepada pemerintah, P3MI, agen, majikan dan pihak manapun. Sejarah telah membuktikan bahwa kami bisa tertolong berkat jasa Lembaga-lembaga sosial yang sungguh-sungguh memperjuangkan kondisi pekerja migran dan semakin banyak PRT migran yang sadar dan berani melawan berkat semakin banyaknya organisasi-organisasi yang dibangun dan dipimpin sendiri oleh PRT migran di berbagai negara-negara penempatan. 


Kami mendedikasikan hidup kami bukan hanya untuk bekerja tetapi juga membantu sesama kami. Hari libur kami manfaatkan untuk pendidikan dan sosialisi hak perburuhan. HP kami ubah menjadi hotline. Waktu senggang kami buka untuk pelayanan paralegal. Kebudayaan kami ubah menjadi ruang berekspresi dan beraspirasi. Kami membangun jaringan kami sendiri bersama pendukung-pendukung local. Kami membangun serikat, organisasi dan aliansi kami sendiri seperti Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) di Hong Kong dan Macau yang beranggotakan lebih dari 60 kelompok pekerja migran. Dengan cara ini, kami berupaya mencegah kekerasan dan perbudakan modern dan jikalaupun terjadi kami tahu bagaimana memperjuangkan hak korban secara maksimal. 


Sayangnya, keberadaan kami di berbagai negara penempatan yang aktif memberdayakan, mendampingi dan mengorganisasikan PRT migran masih belum mendapat pengakuan dari pemerintah. Kami tidak dijadikan mitra dalam pembahasan kebijakan dan program bagi pekerja migran. Kami sudah berusaha dengan berbagai cara menyampaikan kondisi dan aspirasi kami kepada pemerintah baik melalui perwakilan bahkan langsung ke Kementrian Ketenagakerjaan, Kementrian Luar Negeri dan BP3MI bahkan presiden Jokowi sendiri. Tetapi setiap kali menjadi kebijakan, bukannya membantu malah membebani kami. Bukannya membebaskan tetapi malah menjerumuskan ke lubang eksploitasi dan perbudakan. 


Pada hari perempuan internasional ini, kami menuntut negara untuk meminta maaf, menegakkan keadilan dan mengubah semua kebijakan yang menjebak kami ke dalam eksploitasi, kekerasan, kerja paksa, perbudakan modern, perdagangan manusia dan ancaman hukuman mati. []#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item