Siaran Pers: Posisi Hakim 4 Banding 5 di Putusan Uji Formil UU Ciptaker, MK Setengah Hati Tolak Permohonan Buruh

INFO GSBI-Jakarta, 2 Oktober 2023.  Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan perkara uji formil UU Cipta Kerja yang diajukan oleh ...


INFO GSBI-Jakarta, 2 Oktober 2023. 
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang putusan perkara uji formil UU Cipta Kerja yang diajukan oleh 15 (lima belas) Serikat Buruh dan Serikat Pekerja, didampingi oleh Kuasa Hukumnya Indrayana Centre For Government, Constitution, and Society (INTEGRITY) Law Firm. Dalam putusannya, MK menyatakan menolak seluruh permohonan yang diajukan oleh para Pemohon.

Amar Putusan, mengadili, menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi amar putusan Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023, yang dibacakan oleh Hakim Ketua, Anwar Usman.

Dalam pertimbangan hukumnya (ratio decidendi), MK menilai dalil para Pemohon yang menyatakan bahwa proses penyusunan UU Ciptaker tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan; Perpu Ciptaker tidak memenuhi syarat kegentingan yang memaksa; dinyatakan tidak beralasan menurut hukum.

Padahal menurut para Pemohon, kebijakan Ciptaker ini jelas sangat bermasalah, terutama dari sisi hukum. Keterlambatan pengesahan Perppu menjadi UU serta tidak adanya ihwal kegentingan yang memaksa seharusnya sudah cukup beralasan untuk menyatakan UU Ciptaker ini tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terkait dengan putusan tersebut, Rudi Hartono B Daman, salah satu perwakilan Pemohon Perkara Nomor 54/PUU-XXI/2023 mengungkapkan kekecewaanya seusai putusan dibacakan.

Putusan ini membuat kami sangat kecewa karena UU Ciptaker jelas-jelas melanggar Konstitusi, tapi dibenarkan oleh Hakim MK. Misalnya, terhadap pengesahan Perppu menjadi UU, jelas ada keterlambatan, tidak sesuai hukum yang berlaku. Tapi, oleh Hakim MK dibenarkan dengan berbagai argumentasi yang mengada-ada,” tegas Rudi selaku Ketua Gabungan Serikat Buruh Indonesia.


BENTUK PEMBANGKANGAN PEMERINTAH DAN DPR

Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan pada 31 Mei 2023 lalu, salah satu Kuasa Hukum para Pemohon, Caisa Aamuliadiga dari INTEGRITY Law Firm, menyatakan bahwa penerbitan Perppu Nomor 2/2022 yang merupakan cikal bakal lahirnya UU Ciptaker adalah salah bentuk nyata persekutuan pembangkangan atas Putusan MK sebelumnya, Nomor 91/PUU-XVIII/2020.

Perintah MK adalah perbaikan, berarti revisi mengenai proses pembentukan UU-nya. Tetapi Pemerintah tidak melakukan perbaikan, justru mengeluarkan Perppu yang jadi UU baru. UU Cipta Kerja yang baru itu sama saja dengan UU yang lama. Kami kategorikan, Pemerintah dan DPR tidak mengindahkan putusan MK, dan ini merupakan suatu bentuk pembangkangan,” terang Caisa.

Kuasa Hukum lainnya, M. Raziv Barokah, juga mengungkapkan keterlambatan pengesahan Perppu Ciptaker menjadi UU sudah jelas dan nyata. Sehingga, tidak ada lagi alasan bagi MK untuk tidak membatalkan UU Ciptaker.

Pengabaian Putusan MK hingga keterlambatan pengesahan Perppu Ciptaker telah menunjukkan secara vulgar bahwa UU Ciptaker memang mengandung kecacatan formil. Menurut Pasal 22 ayat (2) UUD 1945 juncto Pasal 52 UU PPP juncto Putusan MK Nomor 43/PUU-XVIII/2020, Perppu Ciptaker harus dicabut dan bukan disahkan menjadi undang-undang. Sulit bagi para pembentuk undang-undang membantah ini semua,” ungkap Raziv.

Meski fakta-fakta di atas telah nyata adanya, namun tetap saja Permohonan yang diajukan oleh para Pemohon ditolak seluruhnya oleh MK.


PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Dalam memutuskan hal ini diketahui terdapat perbedaan pendapat atau dissenting opinion dari 4 (empat) orang Hakim MK. Mereka adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Suhartoyo.

Keempat Hakim Konstitusi tersebut memiliki pendapat berbeda dalam memutus Permohonan ini. Wahiduddin Adams, misalnya, dalam pertimbangannya menyatakan seharusnya MK mengabulkan Permohonan dengan menyatakan UU Ciptaker tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, karena jelas pengesahan Perppu menjadi UU dilakukan di luar masa sidang yang tepat.

Menimbang bahwa karena Perppu Cipta Kerja mendapat persetujuan DPR setelah berakhirnya batas waktu yang ditentukan berdasarkan Pasal 22 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 (“persidangan yang berikut”), Undang-Undang a quo menjadi tidak memiliki landasan konstitusional untuk dibentuk karena yang secara konstitusional seharusnya dilakukan dan diterapkan adalah ketentuan Pasal 22 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945. Hal ini juga menjadi penting untuk dipatuhi agar di masa mendatang tidak terjadi ‘permainan (akrobat) politik’ yang dapat dilakukan oleh Presiden dan DPR secara kolaboratif ataupun yang dapat terjadi di antara Presiden terhadap DPR (dan sebaliknya) dalam konteks tindak lanjut dari penetapan suatu Perppu,” demikian pendapat berbeda dari Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams di halaman 433 - 434 Putusan.

Hakim lainnya Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih, juga mengungkapkan pendapatnya soal pembangkangan Presiden dan DPR terhadap putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang memerintahkan perbaikan atas UU Ciptaker dengan memperhatikan prinsip meaningful participation.

Tindakan pembentuk undang-undang tersebut jelas-jelas bukan merupakan tindak lanjut dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020. Apabila penerbitan Perppu diterima dan dinilai sebagai tindak lanjut Putusan a quo, maka sangat dikhawatirkan di kemudian hari praktik ini akan menjadi preseden buruk dengan maraknya penerbitan Perppu yang lahir dari tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi sekadar untuk mempercepat pembentukan dan perbaikan dari suatu undang-undang tanpa melibatkan DPR,” tegas pendapat Hakim Konstitusi Saldi Isra dan Enny Nurbaningsih di halaman 445 - 446 Putusan.

Tidak jauh berbeda dengan pendapat ketiga Hakim di atas, Hakim Konstitusi Suhartoyo juga menyatakan hal yang sama.

Saya berpendapat bahwa tindakan mengeluarkan Perppu 2 Tahun 2022 yang terakhir telah disetujui DPR dan disahkan menjadi UU 6/2023 untuk mengembalikan atau menggantikan UU 11/2020 guna memenuhi perintah amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 adalah langkah yang dapat disebut sebagai ketidakpatuhan,” tutup Suhartoyo dalam pertimbangannya pada Putusan Nomor 54/PUU-XXI/2023, halaman 452.  [].

****

Narahubung:

1.         Prof. Denny Indrayana (0817726299)

2.         Moh. Jumhur Hidayat (0816809565)

3.         Caisa Aamuliadiga (081286663679)

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item