Buruh Sepatu Nike: Ditekan di Indonesia, Protes di Amerika

Puluhan ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 d...


Puluhan ribu buruh perusahaan sepatu Nike di Indonesia hanya mendapat 2,46 dollar AS per hari (sebelum krisis moneter) dari sekitar 90-100 dollar harga sepasang sepatu Nike. Padahal dalam sehari, mereka bisa menghasilkan sekitar 100 sepatu. Sementara itu, Michael Jordan meraup 20 juta dollar AS per tahun dari iklan Nike. Sementara bos Nike, Philip H. Knight, memperoleh gaji 864.583 dollar dan bonus 787.500 dollar. Tetapi, di belakang mereka ratusan ribu buruh Nike di seluruh dunia tetap kelaparan. Oleh-oleh reporter TEMPO Interaktif, Prabandari, dari Oregon, Amerika Serikat.

Sepatu Nike telah menjadi gaya hidup bagi kebanyakan orang di dunia. Tidak hanya di Indonesia sebagai produsen terbesar, tidak juga di Amerika Serikat (AS) sebagai pemilik asli perusahaan Nike Inc. Sepasang sepatu Nike bisa berharga lebih dari 100 dollar AS. Dengan posisi ini, Nike jelas mampu mengeruk uang dalam jumlah yang sangat besar.

Bahkan Nike mampu membayar Michael Jordan sebesar 20 juta dollar per tahun untuk membantu menciptakan citra Nike. Demikian pula Andre Agassi yang bisa memperoleh 100 juta dollar untuk kontrak iklan selama 10 tahun. Sementara itu bos dan dedengkot Nike Inc, Philip H. Knight, mengantongi gaji dan bonus sebesar 864.583 dollar dan 787.500 dollar pada tahun 1995. Jumlah ini belum termasuk stok Nike sebesar 4,5 biliun dollar.

Namun ternyata nasib bagus mereka tidak diikuti oleh sebagian besar mereka yang bekerja untuk Nike. Seperti digambarkan oleh Bob Herbert di The New York Times. Orang-orang semacam mereka menempati papan teratas dalam bagan yang berbentuk piramida. Sebagian kecil orang-orang Nike menempati posisi empuk dan menjadi kaya raya. Ini merupakan kebalikan dari orang-orang di bawah, yang harus bekerja membanting tulang untuk memproduksi Nike dan terus menghidupi orang semacam Knight, Agassi ataupun Michael Jordan. Kekayaan yang mereka peroleh ternyata didapat dengan menindas sekian banyak buruh di berbagai negara tempat operasi produk Nike, termasuk Indonesia. Merekalah yang menempati posisi mayoritas di papan paling bawah.

Dari harga sepatu sekitar 100 dollar AS tersebut, hanya sekitar 2,46 dollar per hari yang disisihkan untuk buruh di Indonesia. Itupun dihitung sebelum ada krisis moneter. Sementara buruh di Vietnam hanya menerima 1 dollar.

Kondisi inilah yang membuat masyarakat AS tidak bangga, bahkan tidak simpati terhadap Nike. Masyarakat AS pun berduyun-duyun menggelar aksi protes. Bahkan sekarang telah muncul gerakan anti-Nike. Aksi protes dan gerakan anti-Nike ini tersebar di beberapa negara bagian AS, bahkan di beberapa bagian di belahan dunia. Di Oregon, tempat kantor pusat Nike Inc, masyarakat tampak tak jenuh-jenuhnya menyatroni Nike Town di jantung kota Portland dan kantor pusat Nike di Beaverton, tak jauh dari Portland. Kota Portland yang selalu tampak adem ayem ini bisa hiruk-pikuk dengan aksi mereka. Portland adalah kota terbesar di negara bagian Oregon, meskipun bukan ibukotanya.

Bagi sebagian besar warga Portland, mereka sudah biasa mendengar berbagai tuduhan terhadap kontraktor Nike di luar negeri ( di luar AS). Mereka dianggap tidak membayar upah buruh dengan layak. Mereka juga dituduh memaksa buruh untuk kerja lembur, mempekerjakan anak-anak, dan sering dengan seenaknya menjatuhkan hukuman ke buruh, meski hanya karena kesalahan kecil. Tetapi tuduhan-tuduhan yang sering dilontarkan lewat surat ke Nike ataupun saat demonstrasi telah berkembang tidak hanya berhenti sampai di aksi protes. Namun telah berkembang menjadi sebuah gerakan anti-Nike dengan seruan boikot terhadap produk Nike.

Yang cukup mengejutkan adalah ketika reporter TEMPO Interaktif diberi selebaran ajakan boikot Nike oleh seorang warga Portland yang bernama David. Saat dia tahu reporter TEMPO Interaktif berasal dari Indonesia, dia langsung bercerita tentang aksi boikot terhadap Nike karena kondisi buruh Nike di Indonesia. Dia juga bercerita tentang aksi-aksi demo membela buruh Nike di Indonesia. Dalam selebaran yang diberikan David tersebut disebutkan dengan jelas keprihatinan mereka terhadap kondisi buruh Nike di Indonesia. Menurutnya, memang ada perhatian khusus terhadap para buruh di Indonesia.

"Ini karena sebagian besar produk Nike diproduksi di Indonesia," ujar Nancy Haque dari Portland Jobs with Justice (PJJ). Dia juga menambahkan bahwa lembaganya telah mengorganisir gerakan boikot produk Nike. Menurut Nancy, aksi boikot Nike ini dimulai beberapa bulan lalu. "Namun untuk aksi turun ke jalan, kami sudah tidak bisa dihitung lagi," ujar Nancy. "Bahkan pada musim panas lalu, demonstrasi menentang Nike berlangsung hampir tiap minggu," lanjutnya.

Ucapan senada juga muncul dari David, yang penulis temui sebelum berbicara dengan Nancy. Menurutnya, hampir setiap hari Sabtu di musim panas selalu terjadi aksi demo di depan Nike Town. Nike Town yang letaknya tidak jauh dari sebuah taman kota yang cukup luas tersebut memang membuat mudah orang untuk tergabung dalam aksi itu. David juga mengatakan bahwa aksi ini merupakan bentuk keprihatinan dan upaya membantu para buruh Nike di Indonesia.

Ada beberapa aksi yang cukup besar, jelas Nancy, yaitu aksi yang digelar tanggal 1 Mei yang diikuti sekitar 250 orang, aksi tanggal 4 Oktober yang melibatkan sekitar 300 orang, dan aksi terakhir yang digelar tanggal 18 Oktober, yang melibatkan sekitar 70 warga. Portland Jobs with Justice tidak sendirian. Dia bekerja sama dengan organisasi-organisasi buruh dan Lembaga Swadaya Masyarakat lain, seperti Global Exchange atau pun National Organization of Women.

Mereka bersama-sama menuntut Nike untuk memperbaiki kondisi buruhnya, dengan membayar upah sesuai dengan kebutuhan hidup mereka dan tidak memaksa buruh untuk bekerja lembur. Selain itu, menurut Nancy, para demonstran juga menuntut agar Nike menghormati hak-hak buruh untuk berorganisasi. "Yang tak kalah pentingnya adalah agar Nike mengijinkan adanya pengawasan independen akan fasilitas-fasilitas produksi mereka" lanjut Nancy.

Aksi keprihatinan terhadap buruh di Nike, terutama di Indonesia ini ternyata tidak hanya berlangsung di Portland. Di kota-kota lain seperti San Fransisco, Manhattan dan Tallahasse, banyak warga yang juga menggelar aksi serupa.

Pada tanggal 25 Oktober, para mahasiswa Florida State University di Tallahessee, yang terkenal sebagai kampus yang hanya kenal minuman keras dan sepak bola - tim sepakbola di sini menempati urutan ketiga di seluruh AS - juga menggelar aksi Anti-Nike. Pada saat itu bersamaan dengan pertandiangan sepakbola FSU-Georgia Tech. Para mahasiswa pelaku unjuk rasa memasuki tempat khusus presiden universitas dan menyerahkan pamflet anti-Nike. Sementara pada saat istirahat tengah pertandingan, para aktivis menggelar spanduk besar sepanjang 80.000 kursi di tribun stadion paling atas. Spanduk tersebut berbunyi "No Nike at FSU (Tidak ada Nike di FSU)". Para aktivis ini menuntut pemerintah untuk membatalkan kontrak sebesar 3,5 juta dollar dengan Nike untuk program atletik di FSU selama lima tahun. Mereka mengatakan bahwa kampus mereka tidak seharusnya melakukan bisnis dengan perusahaan yang mengeksploitasi buruh di negara-negara dunia ketiga.

Gerakan mahasiswa FSU ini merupakan sebagian kecil dari gerakan anti-Nike di kalangan kampus. Gerakan anti-Nike juga terjadi di kampus Penn State University dan University of North Carolina

Sebenarnya gerakan anti-Nike di kampus-kampus bukan semata keprihatinan mereka terhadap nasib buruk para buruh di Asia. Tetapi juga karena keprihatinan mereka atas komersialisme Nike dan pengaruh mendalam dalam budaya kampus. "Semua atlet Penn State menggunakan semua produk Nike," ujar Adam Black, aktivis anti-Nike di kampus Penn State University. "Seperti ada seragam Nike. Perlengkapan pelatih, topi, T-shirt, celana olah raga, semua produk Nike. Di mana -mana ada Swoosh (lambang Nike). Universitas telah menjual jiwanya ke Nike," lanjutnya.

Heboh Nike ini juga mengundang suara keprihatinan dari anggota Konggres. Sekitar akhir September, sebuah surat yang ditandatangani 41 anggota House of Representative melayang ke meja Phil Knight, CEO dan pendiri Nike Inc. "Kami sangat malu bahwa perusahaan seperti Nike, yang berkantor pusat di AS, bisa terlibat langsung dalam eksploitasi yang cukup bengis terhadap ratusan ribu buruh di negara-negara Dunia Ketiga," demikan dinyatakan dalam surat tersebut. "Ini tidak bisa diterima," lanjut mereka.

Pada pekan yang sama, saat surat terhadap Nike mulai berputar di antara anggota Konggres, penulis novel Alice Walker dan sebuah koalis organisasi perempuan, termasuk NOW, the Ms. Foundation dan the Feminist Majority menyelenggarakan konferensi pers, tak jauh dari Capitol, kantor para anggota Konggres. Mereka mengecam Nike atas perlakuan buruknya terhadap para buruh perempuan di Asia.



Citra Iklan


Mungkin sebenarnya Nike tidak sendirian. Banyak perusahaan multinasional lain yang melakukan tindakan sama dengan dengan Nike. Mereka tidak banyak berbicara ketika harus berbicara mengenai buruh. Tetapi mereka akan berbicara lantang kalau kepentingan bisnis mereka terganggu. Namun serangan Nike tampak lebih gencar dibanding perusahaan lain.

Nike bersikap sok suci. Dalam iklan-iklannya, Nike mencitrakan diri lebih suci dibanding lainnya. Dalam iklan-iklannya Nike selalu menggambarkan kepedulian sosialnya. Dalam salah satu iklannya, "If You Let Me Play", muncul seorang gadis kecil yang mempromosikan feminisme. Gadis tersebut menyebutkan bahwa Tiger Woods juga mempromosikan hak-hak asasi manusia. Tiger Woods adalah pemain golf dari AS keturunan Afro-Amerika yang baru melambung namanya di percaturan golf internasional. Dalam iklan tersebut Nike juga menyebutkan masih adanya diskriminasi terhadap warga kulit hitam dalam dunia golf. Dalam iklan yang lain, Nike berkhotbah tentang perdamaian dan menentang aksi kekerasan.

"Nike menempatkan dirinya pada posisi yang mudah ditampar," kata Jeff Jensen dari Advertising Age, seperti yang diungkapkannya kepada Willamete. "Jika Anda menempatkan diri Anda tampak lebih suci dibanding yang lain, Anda memang siap menerima tamparan tersebut," lanjutnya.

Sementara itu Alice Cuneo, redaktur senior Advertising Age, memperingatkan agar suatu perusahaan bertindak sama dengan apa yang diiklankan atau dikhotbahkan. Nike melihat dirinya seperti Santa yang suci. Nike menginklankan slogan-slogan khotbah dan bintang-bintang olah raga, dengan nilai-nilai yang menentang rasialisme. Sehingga layak bila banyak orang marah ketika mereka tahu bahwa Nike mengeskplotiasi buruh di Asia, termasuk Indonesia. Dan wajar pula bila kemudian terjadi gelombang anti-Nike.

Mengapa Indonesia?

Menurut Portland Jobs with Justice, lebih dari sepertiga produk Nike dihasilkan di Indonesia. Buruh hanya mendapat 2,25 dollar AS dan naik menjadi 2,46 dollar pada April 1997 per hari untuk membuat sekitar 100 sepatu. Dengan upah tersebut, buruh tidak mampu membeli makanan dan mencari tempat berlindung yang cukup. Dalam release yang dikeluarkan Portland Jobs with Justice dikatakan bahwa kalau Anda menjadi buruh Nike di Indonesia berarti Anda dan sekitar 88 persen buruh lainnya mengalami kekurangan makanan yang sehat. Juga berarti harus tinggal di gubug tanpa fasilitas air yang memadai. Buruh harus bekerja 18 jam per hari. Kalau mengeluh, buruh dipecat. Kalau mencoba untuk membentuk organisasi atau bergabung dengan serikat buruh di luar SPSI, maka buruh harus siap dipecat. PJJ menggambarkan bahwa buruh Nike di Indonesia sama sekali tidak punya masa depan.

Apakah pihak Nike diam saja dengan semua serangan tersebut ? Tidak ! Nike mencoba menjelaskan kebijakan mereka. Namun tampaknya, apa yang diomongkan dengan apa yang dilakukan tidak sejalan. Setidaknya ini seperti yang dinilai oleh Bill Resnick dari Portland Jobs with Justice. Nike mengklaim bahwa Nike telah melakukan investasi ke negara-negara sedang berkembang. Pembangunan ekonomi dengan mesin investasi asing seperti Nike ini akan membantu mengentaskan masyarakat dari kemiskinan.

Penjelasan Nike ini ditentang oleh Bill yang menyatakan bahwa investasi asing tidak banyak membantu dalam mengentaskan kemiskinan. Salah contoh adalah apa yang terjadi di Meksiko yang telah menerima investasi asing yang sangat besar dalam dua dasa warsa terakhir. Namun apa yang terjadi ? Upah buruh turun hingga 50 persen, sementara kondisi lingkungan mereka hancur berantakan. Terjadikah ini di Indonesia ?

Nike memang berhasil mengembangkan perekonomian Korea Selatan. Tetapi menurut Bill Resnick, ini karena ada pemaksaan dari pemerintah AS untuk membantu mereka. Amerika Serikat punya kepentingan membantu Korsel karena mereka harus bersama menghadapi ancaman dari Korea Utara. Dalam masa Perang Dingin, pengaruh ini masih sangat besar. Sehingga AS banyak membantu Korea Selatan, termasuk menanamkan investasi dan transfer teknologi.

Hal seperti ini tidak terjadi di Indonesia. Meskipun Nike mengatakan bahwa apa yang dia lakukan di Indonesia sama dengan Korsel, namun menurut Bill, kenyataannya tidak. Tekanan buruh di Indonesia telah menyebabkan pemerintah Indonesia mengupayakan untuk menaikkan ketentuan upah minimun. Namun dengan kebijakan baru ini, Nike justru mengancam akan memindah investasinya ke Vietnam. Hal inilah yang ditakuti oleh pemerintah Indonesia. Nike di Indoensia tidak ada bedanya dengan developer United Fruit di Honduras. Jadi, bisnis sepatu tidak ada bedanya dengan bisnis pisang, mobil atau pun microchips. Ketika perusahaan multinasional membayar upah buruh dengan rendah, mengambil keuntungan dari negara kontraktor, dan mendukung pemerintahan yang opresif, kemudian investasi mereka hanya berarti kepedihan dan penghancuran sumber-sumber daya alam.

Klaim lain dari Nike adalah bahwa kontrak-kontrak Nike di negara-negara berkembang selalu tertulis menentang penggunaan buruh anak dan mensyaratkan agar kontraktor mematuhi hukum yang berlaku di negaranya.

Namun menurut Resnick, Nike sama sekali tidak menghiraukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh perusahaan kontraktornya, PT Hardaya Aneka Shoes Industry (HASI) kalau di Indonesia. Apalagi sampai terjadi kolusi antara kontraktor dengan aparat negara untuk menekan dan mengamputasi kekuatan buruh. Nike diam saja. bahkan ketika terjadi penindakan keras dan penangkapan-penangkapan terhadap aktivis buruh oleh aparat, Nike pun tak bergeming. Nike hanya mendesak kontraktor untuk mampu bersaing dengan perusahaan lain dan meningkatkan keuntungan. Nike hanya akan berteriak kalau kepentingannya sudah diutik-utik atau terganggu.

Kalau buruh Nike di Indonesia "dibela" kalangan aktivis di Amerika, lalu kapan aparat pemerintah di sini memperdulikan para buruh Nike itu?

Sumber : http://www.tempo.co.id/ang/min/02/39/ekbis2.htm

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item