Siaran Pers ATKI-HK Dalam Aksi 100 hari Pemerintahan SBY-Budiono

Hentikan perampasan upah BMI di Hong Kong: “ATKI-HK akan terus menuntut SBY-Budiono untuk segera mengkongkretkan penurunan biaya penempatan ...

Hentikan perampasan upah BMI di Hong Kong:

“ATKI-HK akan terus menuntut SBY-Budiono untuk segera mengkongkretkan penurunan biaya penempatan dan menghentikan pungutan biaya lebih dari HK$358 dikenakan agen-agen HK”

“Kami sangat kecewa terhadap Pemerintah Indonesia yang tidak berniat untuk menghentikan perampasan upah yang menimpa 130.000 ribu BMI di Hong Kong. Di program 100 hari SBY-Budiono dan Menakertrans Muhaemin Iskandar sama sekali tidak ada rencana untuk mengkongkretkan penurunan biaya penempatan bagi BMI pendatang baru dan menghentikan pungutan lebih dari 10% (HK$358) yang dikenakan agen-agen HK terhadap BMI yang memperpanjang kontrak kerjanya”.



Pernyataan ini disampaikan oleh Eni Lestari, ketua ATKI-HK dan koordinator Persatuan BMI Tolak Overcharging (PILAR), yang menggelar aksi protes memperingati 100 hari terpilihnya SBY-Budiono di depan kantor Konsulat Indonesia di Hong Kong pada hari Kamis, 28 Januari 2010, dari pukul 10:30 – 11:30 pagi. Aksi ini merupakan aksi serentak yang dilakukan berbagai sektor di Indonesia yang tergabung di Front Perjuangan Rakyat (FPR) di depan istana.



“Sudah dua pemerintah mengeluarkan kebijakan yang seharusnya menurunkan biaya penempatan, yaitu SK 653/2004 yang menetapkan sebesar HK$9.000 dan SK 186/2008 sebesar HK$15.000, tapi keduanya tidak pernah dijalankan. Dari sini saja sudah jelas Pemerintah memang sengaja mempertahankan kebijakan agar bebas untuk terus merampas upah kami.” jelas Eni.



Eni berpendapat bahwa pengeluaran SK 186 yang dikeluarkan di tahun 2008 di masa jabatan SBY pertama sengaja digunakan pemerintah untuk meredam kegelisahan dan kemarahan BMI di Hong Kong yang terus menerus menuntut penurunan biaya penempatan.



Lebih lanjut, Eni menambahkan bahwa BMI yang sudah di Hong Kong bertahun-tahun pun masih terus menerus diperas ribuan upahnya oleh agen-agen Hong Kong setiap memproses majikan baru. Survey PILAR akhir tahun 2009 menemukan 93% BMI di Hong Kong membayar HK$500 – HK$15.000 untuk biaya proses pergantian majikan. Padahal peraturan pemerintah Hong Kong jelas membatasi agen HK hanya boleh menarik 10% dari BMI sebagai komisi jasa mencarikan majikan. Setiap kali kasus-kasus dilaporkan, Konsulat Indonesia di Hong Kong tidak pernah meresponnya secara positif dan menolak mengurusi.



“Sumber dari segala penderitaan yang dialami BMI tidak lain adalah sikap memaksa pemerintah yang mengharuskan kita untuk hidup dalam cengkraman PJTKI dan agen luar negeri. Pemerintah menolak untuk mengakui bahwa kami adalah manusia yang berhak untuk memilih apakah mau masuk agen atau proses kontrak sendiri (kontrak mandiri)” tegas Eni.



Menurut Eni, keinginan mengekspor BMI secara massal keluar negeri tapi ogah direpotkan dengan urusan perlindungan inilah yang membuat pemerintah enggan untuk meratifikasi konvensi tahun 1990 tentang perlindungan BMI dan keluarganya tahun 1990 dan mencabut UUPPTKILN No. 39 yang nyata-nyata hanya pro PJTKI/agen dan membubarkan Terminal khusus TKI yang menjadi momok masyarakat selama ini.



“Perampasan upah inipun bukan hanya ketika kami diluar negeri bahkan sampai pulang ke Indonesiapun, uang hasil jerih payah kami dirampas. Kami diperangkap untuk masuk ke Terminal khusus TKI dengan alasan pelayanan dan perlindungan, tapi setelah masuk, uang kami malah ludes. Apalagi tujuannya kalau bukan untuk menjerat dan merampas habis uang kami?”



Melalui dialog di HK saat berkunjung ke HK di bulan September 2007, mantan Menakertrans Erman Suparno memberitahu bahwa secara hukum TKI tidak wajib masuk Terminal khusus dan diperuntukan bagi yang membutuhkan tapi secara praktek memang diharuskan.



Menjawab upaya pemerintah untuk membebaskan biaya paspor bagi BMI pendatang baru, Eni menegaskan bahwa itu bukanlah langkah perlindungan tapi tidak lain demi mencapai target pemerintah untuk mengirim 1 juta orang per tahun sesuai janji SBY sebelum akhir masa jabatan pertamanya.



“Yang kami harapkan adalah peningkatan lapangan kerja di Indonesia dengan upah layak sehingga tidak semakin banyak orang dipaksa keluar negeri. Kami juga ingin secepatnya bisa pulang ke tanah air dan berkumpul kembali dengan keluarga. Tapi bagaimana mimpi ini bisa terwujud jika SBY tidak menjamin hidup rakyat di tanah air tapi justru mengekspor tenaga kerja massal?”



Eni juga menambahkan sebagai akibat buruknya kondisi kerja dan sikap tidak peduli pemerintah, jumlah kematian di kalangan BMI di Hong Kong semakin meningkat. Di bulan Januari 2010 saja, 3 BMI ditemukan mati baik karena bunuh diri atau jatuh dari jendela.



“Kami sudah tidak butuh janji tapi kami mau bukti. Jika Pemerintah benar-benar ingin membela kepentingan BMI, maka SBY Budiono harus segera mengkongkretkan tuntutan-tuntutan kami sehingga kondisi kerja dan perlindungan hak-hak kami terjamin.” seru Eni.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item