Pernyataan Sikap GSBI dalam Seabad Peringatan Hari Perempuan Internasional (8 Maret 1911 – 8 Maret 2011)

PERNYATAAN SIKAP DEWAN PIMPINAN PUSAT GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN No : 011-SP/DPP.GSBI/JKT/III/2011 Tanggal : Selasa, 8 Maret 2011...

PERNYATAAN SIKAP
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDEPENDEN


No : 011-SP/DPP.GSBI/JKT/III/2011
Tanggal : Selasa, 8 Maret 2011
Tentang : Seabad Peringatan Hari Perempuan Internasional
               (8 Maret 1911 – 8 Maret 2011)


Perempuan dan Rakyat Indonesia Bangkit Melawan Penindasan,
Menuntut di Hentikannya Perampasan Atas Upah, Kerja dan Tanah,
Menuntut Kesetaraan dan Hentikan Berbagai Bentuk Tindak Kekerasan



Salam Demokrasi
Peringatan Hari Perempuan Internasional (HPI) yang diperingati setiap tanggal 8 Maret diseluruh negeri, adalah peringatan yang lahir dari sejarah panjang perjuangan kaum perempuan di berbagai negeri dalam mendapatkan hak-hak sosial, ekonomi dan politiknya, serta perlawanan atas segala bentuk penindasan, diskriminasi dan marginalisasi terhadap kaum perempuan. Berabad-abad lamanya kaum perempuan hidup dalam ketertindasan baik sosial-budaya, ekonomi maupun politik. Harkat dan martabat kaum perempuan sebagai manusia tidak pernah mendapat pengakuan, bahkan cenderung terpinggirkan.

Perjuangan panjang kaum perempuan untuk membebaskan diri dari penindasan dan mendapatkan pengakuan yang sama atas hak sosial, ekonomi dan politik, yang kemudian menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional sebagai bentuk penghormatan dan pengakuan dunia atas pengorbanan dan perjuangan kaum perempuan, masih belum dapat menghapuskan segala bentuk penindasan dan penghisapan terhadap kaum perempuan diberbagai negeri tidak terkecuali di Indonesia.

Memasuki seabad Peringatan Hari Perempuan Internasional, kaum perempuan diberbagai negeri termasuk Indonesia masih hidup dalam penindasan, penghisapan dan berbagai tindakkekerasan baik dalam aspek sosial, ekonomi dan politik, yang jauh lebih kejam dan menghebat akibat dari sistem yang diciptakan oleh imperialis.

Krisis umum imperialis yang dihadapi negeri-negeri imperialisme sejak tahun 2008 lalu hingga saat ini, telah membawa dampak terburuk terhadap kaum perempuan dan rakyat di berbagai negeri yang berakibat pada semakin merosotnya pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan penderitaan dan kemiskinan akibat dari pengurangan subsidi dan beban pajak yang semakin tinggi yang harus ditanggung oleh rakyat. Berbagai upaya yang dilakukan oleh imperialis untuk mengatasi krisis di dalam negerinya, semakin meningkatkan penguasaan dan penghisapan atas sumberdaya alam serta memperhebat penindasan terhadap rakyat khususnya kaum buruh diberbagai negeri tidak terkecuali Indonesia, sebagai negeri yang memiliki sumber kekayaan alam yang melimpah ruah. Akibatnya, kehidupan rakyat semakin menderita dan jauh dari kesejahteraan karena kemiskinan semakin meluas dan jumlah pengangguran semakin tinggi. Dari total penduduk Indonesia yang menganggur telah mencapai kurang lebih 17,3% dan 9,7% dari total angka tersebut adalah kaum perempuan.

Dalam relasi produksi, kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh masih menghadapi berbagai tindakan atau perilaku pelecehan di tempat kerja, baik dalam bentuk verbal (kata-kata) atau fisik (dijamah secara halus ataupun paksaan). Praktek diskriminasi atas upah, promosi jabatan, jaminan sosial, dan status, juga masih dihadapi buruh perempuan diberbagai jenis industri. Karena masih dipandang bukan sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga, buruh perempuan masih mendapatkan nilai upah lebih rendah dari laki-laki, seperti dalam mendapatkan tunjangan keluarga. Padahal tidak sedikit, banyak buruh perempuan merupakan pencari nafkah tunggal (single parent) bagi keluarganya. Hal lain, masih lemahnya perlindungan atas keselamatan kerja bagi buruh perempuan, tidak sedikit buruh perempuan bekerja pada bagian produksi yang berresiko tinggi tanpa peralatan keselamatan kerja yang memadai dan layak.

Dalam sektor buruh, persoalan tidak hanya terdapat di dalam negeri, kaum perempuan yang bekerja sebagai buruh migran di luar negeri juga tidak lepas dari penindasan dan penghisapan, baik penindasan sosial-budaya maupun penindasan sistematis yang sengaja dibiarkan oleh pemerintah (baca: negara). Penindasan dan penghisapan yang dihadapi oleh buruh migran yang mayoritas perempuan ini, tidak hanya terjadi di tempat kerja di negeri penerima, tetapi telah bermula dari sejak awal perekrutan, penampungan, pemberangkatan hingga kepulangan mereka ke tanah air. Karena faktor kemiskinan, kaum perempuan yang direkrut menjadi calon BMI ini dipaksakan untuk menerima syarat-syarat rekrutmen yang ditetapkan para calo, begitu juga pada saat di penampungan, dengan keterbatasan keterampilan dan juga kemampuan (khususnya baca-tulis), dipaksa untuk menandatangi kontrak yang tidak dipahami dan juga pekerjaan jauh dari kemampuan secara fisik, karena sebagian dari calon BMI adalah perempuan-perempuan muda yang memiliki keterbatasan fisik. Belum lagi penindasan dan penghisapan di tempat kerja (di negara penerima), pemotongan upah yang tinggi sebagai pengganti biaya penempatan (selama 7-10 bulan), kekerasan fisik, beban pekerjaan yang jauh dari kemampuan dan tidak manusiawi, jam kerja yang panjang, perkosaan, penyiksaan dan lain sebagainya. Bahkan tidak sedikit dari mereka, menjadi korban perdagangan manusia yang dipaksakan bekerja pada sektor-sektor yang merendahkan harkat dan martabat BMI sebagai manusia (perempuan) seperti porstitusi dan kasino (tempat perjudian).

Hal yang sama juga dialami oleh kaum perempuan miskin di pedesaan dan perkotaan. Faktor kemiskinan memaksa kaum perempuan harus hidup dalam penindasan dan penghisapan, baik sebagai buruh tani upahan, buruh cuci, buruh gendong, pekerja rumah tangga (PRT), pedagang asongan, dll. Bahkan dilingkungan domestik sekalipun, kaum perempuan tidak terlepas dari kekerasan ekonomi dan fisik. Kaum perempuan di ranah domestik yang hanya berperan sebagai ibu rumah tangga biasa (tidak bekerja) juga mengalami stress akibat beban ekonomi karena harus mengatur keuangan keluarga yang sangat tidak seimbang dengan harga-harga kebutuhan hidup yang semakin mahal, dan juga rentan terhadap kekerasan fisik, psikis dan seksualitas.

Persoalan dalam aspek lain, kaum perempuan juga semakin jauh dari pelayanan kesehatan, sehingga jumlah perempuan yang mengalami kekurangan gizi (nutrisi), bahkan tidak sedikit ibu-ibu hamil dari masyarakat miskin di perkotaan dan pedesaan tidak mendapatkan pelayanan bersalin yang layak karena hanya mampu bersalin ke dukun atau klinik-klinik bersalin yang tidak memadai dan memiliki peralatan medis yang layak. Begitu juga halnya dengan akses atas pendidikan, dimana tingkat buta aksara di Indonesia mencapai 10,16 juta atau (6,62 persen). Dari jumlah itu, sebanyak 65 persen atau 6,6 juta di antaranya adalah perempuan. Begitu juga dalam ranah politik, meski telah dibuka ruang bagi kaum perempuan untuk berpartisipasi dalam politik baik dalam pemerintahan maupun dalam parlemen, tetapi hal ini bukan berarti dunia politik yang cukup lama didominasi oleh kaum laki-laki, telah mengakui sepenuhnya bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan dan kesetaraan yang sama dengan laki-laki dalam politik. Karena tidak sedikit juga praktek-praktek yang menghambat perempuan menduduki posisi tinggi dalam politik dengan mengatasnamakan budaya dan agama serta pelebelan sosial yang berabad-abad dilekatkan pada perempuan sebagai upaya untuk menjengal kaum perempuan menduduki posisi tertinggi dalam politik.

Penindasan dan penghisapan yang hari ini masih dihadapi oleh kaum perempuan dan seluruh kelompok masyarakat, memiliki akar persoalan yang sama, yaitu masih bercokolnya kekuatan imperialis dalam menguasai dan mengendalikan perekonomian dan sistem politik di dalam negeri melalui pemerintahan bonekanya SBY-Budiono. Sebagai boneka imperialis, pemerintahan SBY-Budiono sepenuhnya tunduk, mengabdi dan melayani kepentingan tuannya imperialis AS, dengan cara menindas dan menghisap rakyat Indonesia serta mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang pro imperialis, tapi anti rakyat. salah satunya adalah rencana pemerintah untuk melakukan revisi UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, dengan tidak lagi membatasi masa kerja kontrak dan sistem outsourcing diseluruh bagian dalam produksi. Pengiriman tenagakerja ke luar negeri, juga merupakan satu upaya yang dijalankan oleh rejim SBY-Budiono, untuk meningkatkan pendapatan negara (devisa). Pengurangan dan penghapusan subsidi pendidikan, kesehatan, BBM, TDL, dan kebutuhan dasar rakyat lainya, juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh kuat dari imperialis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik di Indonesia.
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa kaum perempuan masih menghadapi penindasan dan penghisapan yang berlipat ganda baik secara sosial-budaya, ekonomi dan politik. Kehidupan kaum perempuan dari persoalan-persoalan tersebut di atas, tentu saja bukan persoalan baru yang terjadi hari ini, tapi merupakan mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dari sistem budaya masyarakat lama (feodal) yang terus berlanjut hingga sistem imperialis hari ini. Karena bagaimanapun, sistem imperialis hari ini mendapatkan keuntungan dari ketertindasan kaum perempuan, sebagai tenaga kerja murah dan mudah untuk direkrut serta di’buang’ jika tidak lagi dibutuhkan.

Maka sudah menjadi keharusan bagi kaum perempuan dan seluruh rakyat diberbagai sektor untuk terus mengorganisasi diri serta berjuang untuk pembebasan dan merebut kembali hak-hak asasinya sebagai manusia yang bermartabat, karena sejatinya kesejahteraan dan keadilan bukanlah hadir dari sebuah rejim tapi direbut dari perjuangan panjang.

Berdasarkan pandangan di atas, serta dalam rangka momentum seabad Peringatan Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 2011, kami dari Dewan Pimpinan Pusat Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP.GSBI) dan seluruh anggotanya yang bekerja di berbagai jenis industri, menuntut kepada rejim SBY-Budiono, untuk :

1) Hentikan dan hapuskan diskriminasi dalam bentuk apapun terhadap buruh perempuan (Upah, Jaminan Sosial, Tunjangan, Jabatan, partisipasi dalam organisasi,dll)
2) Perlindungan dan Jaminan atas Pemenuhan Hak-hak Normatif dan Reproduksi bagi Buruh Perempuan (cuti haid, cuti melahirkan, kesempatan untuk menyusui, dan asuransi kesehatan bagi keluarga buruh perempuan
3) Menuntut Kesetaraan Upah bagi buruh tani dan buruh perkebunan laki-laki dan perempuan.
4) Memberikan Pendidikan Gratis bagi Anak-anak dari Buruh dan Kaum Tani.
5) Akses dan Pelayanan Kesehatan yang Murah dan Layak bagi Keluarga Buruh dan Kaum Tani serta Pelayanan Kesehatan Reproduksi Gratis (Posyandu, Alat Kontrasepsi, Biaya Persalinan) bagi Perempuan Buruh dan Kaum Tani.
6) Menyediakan Fasilitas Penitipan Anak dan Tempat Menyusui di Tempat Kerja dan tempat-tempat Umum lainnya.
7) Cabut UU No. 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN (Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri)
8) Hapuskan sistem kerja Kontrak dan Outsourcing
9) Hentikan Kekerasan dan Perdagangan Terhadap Perempuan dan Anak, serta menghukum pelaku tindak kekerasan dan perdagangan terhadap perempuan dan anak.

Demikian Pernyataan Sikap ini kami sampaikan

Hidup Kaum Buruh Perempuan !
Hidup kaum Klas Buruh!
Hidup Rakyat Indonesia!


Hormat kami,
Dewan Pimpinan Pusat
Gabungan Serikat Buruh Independen (DPP.GSBI)


Rudi HB. Daman
Ketua Umum


Emelia Yanti MD. Siahaan
Sekretaris Jenderal

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item