Warga Korban Waduk Jati Gede Datangi MA dan Istana Jokowi, Tuntut Cabut Perpres No 1 tahun 2015

Jakarta, (13/4/2015), Dua ratus orang dari masyarakat Jatigede Sumedang Jawa Barat, mendatangi Istana Negara untuk menuntut pencabutan per...

Jakarta, (13/4/2015), Dua ratus orang dari masyarakat Jatigede Sumedang Jawa Barat, mendatangi Istana Negara untuk menuntut pencabutan perpres No. I Tahun 2015, tentang Penanganan dampak sosial pembangunan waduk Jatigede.

Pasalnya Perpres ini mengabaikan hak mayoritas penduduk, karena dalam Perpres ini hanya mengakui sebanyak empat ribu kepala keluarga saja yang terkena dampak. Kenyataannya, ada sepuluh ribu lima ratus kepala keluarga yang justru terkena dampak pembangunan waduk ini. “Artinya, ada tujuh ribu kepala keluarga yang tidak diakui oleh pemerintah sebagai penduduk yang terkena dampak,” ujar Wowon pimpinan AliansiGerakan Reforma Agraria (AGRA) Jawa Barat.

Dia menjelaskan bahwa perpres yang ditandatangani oleh Jokowi ini cenderung dipaksakan, karena tidak menimbang dampak proses pembangunan waduk dan dampak yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembangunan waduk. Indikasi pemaksaan juga dapat dilihat dari adanya simulasi pengusiran warga oleh kodam III Siliwangi pada Maret 2015 lalu.

Tidak hanya itu, perjalanan warga ke Jakarta hari ini juga dihambat oleh aparat Kepolisian, ketika memasuki kecamatan Cisitu oleh kepolisian sektor Darmaraja sekitar pukul 22.00. Kepolisian setempat beralasan kalau aksi masyarakat Jatigede ke Jakarta tidak memiliki izin, padahal pemberitahuan rencana aksi ini sudah diurus jauh jauh hari oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia. Akibat dari penghadangan pihak kepolisian, sebagian warga gagal ke Jakarta karena tertahan akhirnya kembali pulang.

Waduk Jatigede dibangun diatas tanah seluas 6783 hektare dan total wilayah yang akan digenangi seluas 4000 hektare. Berdasar data yang dihimpun oleh AGRA, pembangunan ini akan menghilangkan sawah produktif seluas 3200 hektare dengan kapasitas produksi sebanyak 76.800 ton per tahun. Selain itu, hutan seluas 1200 hektare terancam hilang dan puluhan ribu warga di 28 desa yang meliputi 5 kecamatan akan terusir dari tempat tinggalnya. Tidak hanya itu, pembangunan waduk juga berdampak pada ruang-ruang pendidikan yang pastinya turut digusur, termasuk 33 kompleks situs budaya yang merupakan warisan sejarah.

Kordinator aksi, Irsam Handoko menyatakan perpres No.1 tahun 2015 tentang penanganan dampak sosial, justru menimbulkan dampak sosial, pasalnya relokasi yang ditawarkan oleh pemerintah pada tahun 2013, hanya menyediakan 610 unit di desa Sakurjaya kecamatan ujung Jaya dan desa Conggeang kulon kecamatan Conggeang, Kabupaten sumedang.

“Relokasi ini sangat tidak layak dan tidak sesuai dengan jumlah warga yang terkena dampak saat ini yang mencapai sepuluh ribu lima ratus kepala keluarga.”
Warga Jatigede menuntut relokasi harus dilakukan oleh pemerintah dengan benar. Pemerintah harus memberikan hak seluruh warga yang terkena dampak, yaitu perumahan yang layak dan memastikan sumber sumber ekonomi baru di tempat relokasi berupa tanah pertanian. Tempat relokasi juga harus dibangun sarana pendidikan, kesehatan, fasilitas ibadah dan fasilitas umum lainya.

Menurut kepala desa Cipaku, Karmila, lokasi relokasi yang tidak pasti membuat warganya bingung. “Ada tanah, ada rumah tapi itu bukan untuk warga Jatigede,” ujarnya. Selain ketidakpastian itu, Karmila menyatakan selama proses pembangunan waduk, selama lima puluh tiga tahun warga dess Jatigede dan wilayah terkena dampak lainnya, tidak mendapatkan haknya. Pemerintah abai terhadap pembangunan infrastruktur desa, termasuk pembangunan sekolah. Bahkan warga desa Jatigede baru bisa dialiri listrik tahun 2000 lalu, itupun setelah warga mengajukan protes keras.
“Perlakuan pemerintah macam ini secara tidak langsung menganggap kami ini warga ilegal,” ujar Karmila.

Sedangkan orasi Ridwan Hasanudin dari  pimpinan pusat Aliansi Gerakan Reforma Agraria Menyampaikan, bahwa pembangunan waduk Jatigede sampai@ saat ini, tidak menunjukan keuntungan bagi rakyat, sebaliknya Waduk Jatigede dibangun hanya untuk kepentingan investor asing. Investasi yang masuk ke Indonesia mendapat sokongan, bahkan disediakan karpet merah oleh Jokowi adalah bentuk penghianatan pemerintahan Jokowi-JK terhadap amanat undang undang.

Seluruh Investasi yang ada saat ini, hanya menguntungkan Imperialisme di Indonesia, mereka berinvestasi untuk mengeruk sumber kekayan alam  Indonesia dan tenaga kerja yang murah.

Dalam orasi penutupnya Ridwan menyampaikan pesan kepada kaum tani dan seluruh rakyat untuk terus memperkuaat organisasi, meluaskan organisasinya agar lebih kuat didalam menuntut dan mempertahankan hak atas tanah dan  penghidupan yang layak. (red-GSBI/1342015)#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item