GSBI : Hari Buruh Internasional (May Day) Bukan Sebagai Ajang “Pesta dan Hura-Hura”

GSBI : Hari Buruh Internasional (May Day) Bukan Sebagai Ajang “Pesta dan Hura-Hura” INFO GSBI-Jakarta. Setiap tanggal Satu Mei  klas bur...

GSBI : Hari Buruh Internasional (May Day) Bukan Sebagai Ajang “Pesta dan Hura-Hura”


INFO GSBI-Jakarta. Setiap tanggal Satu Mei  klas buruh di seluruh dunia dan rakyat tertindas termasuk klas buruh Indonesia akan memperingati Hari Buruh Sedunia (May Day). Di Indonesia May Day sudah di peringati sejak tahun 1918, dimana Indonesia bahkan tercatat sebagai negara pertama di Asia yang merayakan May Day yaitu pada 1918.

Bahkan setelah Indonesia merdeka, pemerintah Indonesia mengakui May Day melalui Undang-undang, yaitu menetapkan 1 Mei sebagai Hari Buruh. Hal itu tercantum dalam Undang-Undang Kerja Nomor 12 tahun 1948 yang berbunyi “Pada 1 Mei, buruh dibebaskan dari kewajiban pekerja.”  dan selama orde lama May Day setiap tahunnya selalu di peringati.

Namun pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, buruh dilarang untuk memperingati May Day. Soliditas dan aksi-aksi ribuan buruh Indonesia selalu di larang, ditindas dan di cap komunis. Pemerintah Orde baru mematikan seluruh gerakan rakyat termasuk buruh. Semua organisasi buruh dilebur menjadi satu, yaitu di bawah Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) tahun 1973 yang menjadi cikal bakal Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).

Hari Buruh Internasional (Mayday) bagi GSBI memiliki makna sejarah yang begitu besar dan penting, karena atas perjuangan militan klas buruh ratusan tahun silam telah berhasil mengurangi jam kerja yang panjang menjadi 8 (delapan) jam kerja perhari, telah berhasil memberikan kemenangan besar yang pengaruh dan hasilnya dapat dirasakan hingga sekarang, telah memberikan pengalaman yang baik bagaimana seharusnya klas buruh dan rakyat berjuang untuk memenangkan hak atas kebebasan politik, ekonomi serta kebudayaan.

Kenapa pengurangan atas jam kerja memiliki makna yang mendalam pada perjuangan kaum buruh? Sistem kapitalisme dimana industri menjadi salah satu penopang utamanya berlaku sebuah hubungan produksi yang timpang antara buruh sebagai tenaga produktif dengan pemilik modal. Dalam pandangan kaum pemilik modal, buruh dianggap sama seperti bahan baku atau bahan mentah, upah bagi kaum buruh ditentukan (baca; dibeli) diawal oleh pemilik modal, tidak ditetapkan berdasarkan pembagian keuntungan dari hasil produksi. Padahal, tanpa keberadaan buruh disebuah pabrik, mesin-mesin termasuk bahan baku yang ada dipabrik tidak akan berubah menjadi barang baru, tidak pernah akan ada keuntungan disana. Sistem yang demikian mensyaratkan pencurian nilai lebih terhadap kaum buruh, semakin lama seorang buruh bekerja dipabrik, maka semakin besar keuntungan yang akan diterima oleh para pemilik modal, sedangkan upah bagi kaum buruh tidak akan pernah berubah karena telah ditetapkan diawal.   

Inilah makna yang sesungguhnya dari perjuangan kaum buruh lebih dari seratus tahun yang silam. Kaum buruh saat itu telah memahami dengan sangat baik, bahwa bekerja dengan waktu yang cukup panjang (jam kerja panjang) hanya akan memberikan keuntungan yang berlipat bagi para pemilik modal, sehingga jam kerja yang panjang harus diakhiri. Jam kerja yang panjang selain hanya akan memberikan super profit bagi kapitalisme juga akan menghancurkan pengetahuan dan kebudayaan kaum buruh. Sebab, dengan jam kerja yang panjang, kaum buruh tidak memiliki waktu lagi untuk belajar dan meningkatkan pengetahuannya, kaum buruh tidak mempunyai waktu lagi untuk mengurus kehidupan keluarganya serta tidak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Keberhasilan kaum buruh dalam memperjuangkan 8 jam kerja perhari adalah kemenangan bagi seluruh rakyat didunia. Dengan kemenangan ini, syarat-syarat bagi buruh untuk belajar dan meningkatkan pengetahuannnya menjadi terbuka lebar, kesempatan untuk mengurus keluarga dan anak-anak menjadi semakin besar, dan kaum buruh tidak akan terasing dalam kehidupan bermasyarakat.

Maka peringatan Hari Buruh Sedunia (Mayday) bagi organisasi GSBI selalu ditempatkan satu sisi sebagai bentuk penghormatan dan mentauladani atas jerih payah, pengorbanan, militansi dan pencapaian kemenangan perjuangannya klas buruh terdahulu. Di sisi yang lain adalah sebagai ruang untuk mengekspresikan keprihatinan akan beragam masalah, memblejeti kedudukan rezim yang berkuasa dan segala kebijakannya yang anti buruh dan anti rakyat, sebagai momentum untuk menyampaikan berbagai tuntutan atas masalah-masalah konkrit yang dialami kaum buruh dan rakyat tertindas dalam aspek ekonomi-sosial-politik serta kebudayaan yang harus di penuhi oleh rezim berkuasa (pemerintah).  Bagi GSBI tidak pernah menjadikan dan menempatkan peringatan Mayday sebagai ajang “Pesta dan Hura-Hura”, namun menjadikan momentum sebagai spirit untuk terus berjuang memperbaiki kehidupan, memperbaiki tempat dan kondisi kerja, pembebasan kaum buruh dan rakyat dari berbagai bentuk penindasan dan penghisapan imperialisme, feodalisme dan kapitalis birokrat yang sangat terang menjadi sumber masalah pokok bagi kaum buruh dan rakyat Indonesia.  Dan hal inilah yang kemudian penting untuk terus dipahami oleh kita seluruh pimpinan dan anggota GSBI dan juga gerakan buruh yang sejati saat ini, agar tidak pernah lelah, tidak mudah menyerah atas situasi-situasi sulit yang dihadapi. Sebaliknya, terus konsisten dan militan dalam membela kepentingan klas buruh dan rakyat lainnya dengan antusiasme yang tinggi memegang semangat perjuangan kaum buruh dimasa silam untuk terus dilanjutkan hingga saat ini hingga pada pembebasan untuk kemenangan seluruh rakyat.

Karena Cita-cita perjuangan klas buruh adalah melenyapkan kepemilikan pribadi atas modal dan alat produksi untuk melenyapkan penghisapan kerja upahan dan membangun masyarakat tanpa penindasan manusia atas manusia. (Rd-red2017)#.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item