GSBI Peringati Hari Ketiadaan Tanah 29 Maret 2018

INFO GSBI-Jakarta, 29/3/2018 .  Setiap tanggal 29 Maret diperingati sebagai Hari Kaum Tani Tidak Bertanah (Day of the Landless) oleh kaum...


INFO GSBI-Jakarta, 29/3/2018.  Setiap tanggal 29 Maret diperingati sebagai Hari Kaum Tani Tidak Bertanah (Day of the Landless) oleh kaum tani dan rakyat berbagai negara di Asia dan seluruh dunia termasuk di Indonesia.

Penetapan Day of the Landless  ini di tetapkan atas inisiatif APC pada 14 tahun lalu dan telah di terima secara internasional, penetapan ini didasarkan pada kenyataan massifnya perampasan tanah untuk melayani kepentingan kapitalis besar monopoli dan tuan tanah besar di setiap negeri, di sisi lain, besarnya perlawanan kaum tani melawan perampasan tanah yang menguatkan monopoli tanah. Penetapan tanggal ini juga bersamaan dengan pendirian Koalisi Petani Asia (Asean Peasant Coalition).

Tahun ini (2018) GSBI sebagai organisasi buruh militan di Indonesia juga terlibat aktif memperingari hari ketiadaan tanah ini, dengan menggelar aksi bersama dengan Front Perjuangan Rakyat (FPR) serta berbagai organisasi rakyat lainnya seperti Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)-Jaksel. Internasional League of People Struggle (ILPS Indonesia), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND), Pemuda Baru Indonesia (PEMBARU), Institute for National and Democracy Studies (INDIES), serta Jaringan Aksi Perubahan Indonesia (JAPI).

Aksi dimulai dari Kedubes AS, Balai Kota DKI Jakarta, Kementerian Pertahanan hingga Istana Negara dan puluhan anggota GSBI terlibat dalam aksi ini.

"Peringatan hari tani tak bertanah ini adalah hari di mana rakyat mengkampanyekan penolakan atas perampasan dan monopoli atas tanah, momentum terhadap perlawanan kaum tani dan seluruh rakyat terhadap program reforma agraria palsu milik pemerintahan Jokowi" kata Rudi HB Daman ketua Umum GSBI, Kamis (29/3)

Rudi melanjutkan, saat ini perampasan sumber daya alam dilakukan dengan tindakan represif oleh negara. Terkhusus, penangkapan petani juga semakin masif. "Perampasan SDA terus disertai dengan berbagai macam tindakan represif, bahkan dilakukan dengan berbagai macam aksi militer. Penangkapan terhadap kaum tani terus berlangsung semakin masif,".

Dimana berdasarkan data yang di release AGRA, sejak Jokowi berkuasa, pelanggaran HAM terhadap para petani yang berjuang mempertahankan tanahnya mengalami peningkatan. Setidaknya 138 peristiwa kekerasan dan 648 orang ditangkap. 235 orang di tembak dan 10 orang meninggal dunia. Jumlah ini belum termasuk jumlah kekerasan dan pengusiran paksa lainnya, termasuk Ayub, salah satu petani desa Olak olak kecamatan Kubu kabupaten Kuburaya Kalimantan Barat saat ini ditahan kepolisian karena dikriminalisasi oleh Tuan Tanah, penembakan 3 orang warga di Jeneponto, penangkapan 3 orang petani Sopeng atau penggusuran yang terjadi di Luwuk Sulawesi tengah, serta penggusuran dan pengusiran paksa lainnya terhadap suku bangsa minoritas, masyarakat pesisir bahkan masyarakat miskin perkotaan yang mana tempat mereka akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur komersial milik tuan tanah dan pengusaha-pengusaha besar.

Jelas sekali, tidak ada reforma agraria jika  pemerintah terus mengenjot proyek mega infrastruktur yang merampas tanah secara luas. Tidak lah mungkin Jokowi dapat melakukan distribusi tanah yang adil ketika ia memprioritaskan pembangunan infrastruktur yang didanai lembaga keuangan milik imperialis seperti World Bank, ADB, Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB). Untuk memuluskan ambisinya pemerintah menggunakan Undang-Undang No. 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum yang memaksa rakyat wajib melepaskan tanah dan tempat tinggalnya untuk pembangunan proyek strategis nasional atau untuk “kepentingan umum”.

Masalah monopoli dan perampasan tanah tidak hanya menjadi masalah kaum tani, namun menjadi masalah seluruh rakyat Indonesia. Monopoli tanah yang makin kuat menjadikan upah buruh selalu rendah karena tidak adanya industri nasional, bertambah banyaknya penganguran, rakyat di desa terpaksa terusir dan menjadi buruh migran. (red2018).

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item