Kondisi Hidup Buruh Migran Indonesia Tak Berdokumen di Malaysia

INFO GSBI - Jakarta. Keputusan rakyat untuk bermigrasi tanpa dokumen disebabkan oleh keterpaksaan secara ekonomi (kemiskinan) yang merupakan...


INFO GSBI - Jakarta. Keputusan rakyat untuk bermigrasi tanpa dokumen disebabkan oleh keterpaksaan secara ekonomi (kemiskinan) yang merupakan keterpurukan panjang masyarakat Indonesia akibat massifnya monopoli dan perampasan tanah. Inisiatif jutaan rakyat untuk mencari pekerjaan yang layak di dalam Negeri juga sangat sulit karena minimnya lapangan pekerjaan yang layak di perdesaan dan perkotaan, upah rendah dan tidak mencukupi kebutuhan hidup layak di Indonesia. Kondisi ini berelasi pada tingginya angka putus sekolah dan rendahnya tingkat pendidikan rakyat karena akses dan biaya untuk menempuh pendidikan yang semakin mahal, dan akhirnya tidak dapat dijangkau oleh keluarga miskin, khususnya di pedesaan. Demikian di jabarkan oleh Direktur INDIES Kurniawan Sabar dalam rangkuman umum hasil penelitian (risetnya).


Lebih lanjut di jelaskan, Hal ini menjadi latar utama, mengapa 77% dari sekitar 9 juta buruh migran Indonesia (94% adalah perempuan) berasal dari pedesaan yang merupakan wilayah dengan akses kepemilikan tanah sangat minim (dominan petani gurem dan buruh tani), serta latar pendidikan buruh migran yang mayoritas adalah lulusan SD dan tidak tamat sekolah lanjutan tingkat pertama. Kemiskinan dan sulitnya akses yang layak bagi kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia juga menjadi alasan mengapa rakyat berbondong-bondong memutuskan untuk meninggalkan desanya dan memilih bekerja di Malaysia. Desakan kemiskinan membuat mereka "berani" mengambil segala risiko untuk bermigrasi, bahkan meski tanpa dokumen sesuai prosedur migrasi tenaga kerja. Kondisi ini semakin diperburuk karena keharusan untuk migrasi berdokumen (sesuai prosedur migrasi) justru harus ditempuh dengan prosedur yang rumit, mahal dan biaya berlebihan (overcharging), rawan penipuan dan pemalsuan dokumen, dll.    

 

Hasil riset menunjukkan bahwa buruh migran Indonesia tak berdokumen yang sebagian besar bekerja di sektor domestik (rumah tangga) dan perkebunan kelapa sawit di Malaysia mengalami banyak masalah, seperti; penundaan gaji berbulan-bulan atau tahunan, bahkan tak dibayar oleh majikan; lingkungan kerja yang buruk dan mengalami praktik eksploitasi, dan diskriminasi sosial dan ekonomi; hidup dalam berbagai ancaman dan diisolasi dari interaksi sosial, bahkan diperlakukan seperti "barang jualan". 


Status tak bedokumen (disebut pekerja ilegal) membuat negara pengirim (Indonesia) dan penerima (Malaysia) tidak memberikan pelayanan dan perlindungan hukum dan hak bagi mereka sebagai manusia dan pekerja. Padahal, patut diakui bahwa mereka hidup dan bekerja pada bidang-bidang pekerjaan yang dianggap rendahan, kotor, dan berbahaya (3D work) dengan upah yang sangat rendah yang mana mayoritas masyarakat di negara penempatan tidak minat pada bidang kerja ini. Mereka adalah orang-orang yang berkontribusi besar pada negara dan masyarakat (baik negara penempatan dan pengirim) dengan seluruh keringat, tenaga kerja, dan upah yang dimiliki, bahkan tak segan mempertaruhkan nyawa demi kehidupan diri dan keluarga (bangsa) yang mereka cintai agar lebih baik. Bahkan, dari ribuan merekalah banyak pihak di negara pengirim dan penerima memperoleh kekayaan dan manfaat berlebih.


Maka, sudah sepantasnya kita tidak boleh segan dan ragu untuk menyuarakan aspirasi dan perlindungan hak bagi mereka atas dasar kemanusiaan dan solidaritas sejati. Dan sudah saatnya, negara harus jauh lebih serius menjawab akar masalah migrasi dan tidak hanya fokus mengekspor tenaga kerja tanpa jaminan perlindungan dan prosedur yang adil dan demokratis. []. ( Red-Sumber, Hasil Penelitian INDIES, 20 Mei 2019)#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item