Buruh Indonesia, Berteater pun di Bungkam

BURUH INDONESIA...!  BERTEATER PUN DIBUNGKAM! Oleh: Esrom Aritonang Kehadiran teater buruh di Indonesia, sebagai satu media "baru&quo...


BURUH INDONESIA...! BERTEATER PUN DIBUNGKAM!

Oleh: Esrom Aritonang


Kehadiran teater buruh di Indonesia, sebagai satu media "baru" perjuangan buruh, ternyata mendapat sambutan keras dari pemerintah. Sangatlah jelas, lewat berbagai dalih dan alasan, pemerintah telah melarang beberapa acara pementasan. Sebagai contoh, pencekalan pementasan Teater Buruh Indonesia (TBI) dan teater Sanggar Pabrik. Namun, perlu disadari, ini hanyalah salah satu bukti tindakan kesewenang-wenangan pemerintah terhadap buruh.

Apakah kesewenang-wenangan itu hanya ketika buruh berteater?

Pada dasarnya, dalam kehidupan kesehariannya, buruh tertindas: baik lewat upah rendah yang ditetapkan pemerintah, peraturan yang condong membela pengusaha, penangkapan aktivis buruh, sampai pada pengekangan hak berkumpul dan berserikat: hak membentuk serikat buruh sendiri yang murni dan sejati membela buruh. Jadi, kegiatan teater buruh, apa gunanya bagi kaum buruh? Besarkah artinya bagi perjuangan buruh?

Teater adalah suatu organisasi kesenian, di mana sekelompok buruh berlatih mengungkapkan dan menuturkan nasibnya yang tertindas. Lewat teater, buruh mengisahkan penderitaan mereka kepada masyarakat luas. Kegiatan berteater, maupun kegiatan kesenian lainnya, adalah suatu cara perlawanan yang cepat dan efektif sekali apabila digunakan untuk membangun kesadaran dan solidaritas di kalangan buruh. Jadi, kalau peranannya tidak penting, pemerintah tidak akan melarang buruh berteater.

Pemerintah tidak menginginkan hal itu terjadi, buruh dipaksa diam dan cukup bekerja di pabrik saja. Namun, justru yang terjadi sebaliknya. Buruh tidak menyerah begitu saja, perlawanan lewat teater (kesenian) terus berlanjut. Hasrat kaum buruh untuk merdeka, bebas dari penindasan, semakin menggebu dan membara. Maka, pemerintah pun kian berang: terjadilah pencabutan izin pementasan, pencekalan, dan pembubaran pertunjukan teater buruh.

PELARANGAN BERUNTUN TERHADAP TBI

Pelarangan di Jakarta

Pada tahun 1995 yang lalu, lakon drama yang akan dipetaskan oleh TBI, "Senandung Terpuruk dari Balik Tembok Pabrik," dipermain-mainkan oleh peraturan perizinan. Padepokan teater ini ingin mementaskan drama karya mereka itu di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Pementasan yang tadinya direncanakan berlangsung tanggal 13-14 Mei 1995, ternyata, dilarang oleh Kepala Direktorat Sosial Politik (Kadit Sospol) DKI Jakarta.

Pihak TBI tidak menerima begitu saja perlakuan sewenang-wenang Kadit Sospol itu. TBI menggugat pelarangan itu melalui Pengadilan. Yayasan Sisbikum (Saluran Informasi Sosial dan Bimbingan Hukum), yayasan yang selama ini aktif membina TBI, mendukung tindakan ini. Gugatan diajukan lewat tim kuasa hukum TBI, Pardomuan Simanjuntak dkk.

Kalau dicermati, alasan pelarangan pementasan TBI, sangatlah aneh dan tidak masuk akal. Pada persidangan tanggal 24 Juli 1995, di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang dipimpin oleh hakim Benyamin Mangkoedilaga S.H., tim kuasa hukum Kadit Sospol DKI Jakarta John Sumele dkk. mendalilkan bahwa salah satu alasan membatalkan pertunjukan, karena TBI tidak mau merubah judul drama. TBI mengajukan judul yang menggunakan istilah "buruh." Padahal, menurut Kadit Sospol, sejak pemerintahan Orde Baru berdiri, istilah "buruh" tidak dikenal lagi. Pemerintahan Orde Baru hanya mengenal istilah "tenaga kerja," berdasarkan UU No. 14/1969.

Tim kuasa hukum TBI menyatakan bahwa dalil itu keliru. Pardomuan Simanjuntak selanjutnya menyatakan bahwa masih banyak peraturan perundang-undangan yang menggunakan istilah "buruh." Jadi, meskipun ada UU No. 14/1969, bukan berarti bahwa pemerintahan Orde Baru tidak mengenal lagi istilah "buruh."

Menurut Pardomuan Simanjuntak, adanya UU No. 14/1969, juga bukan berarti bahwa segala peraturan perundang-undangan "Orde Lama" yang memakai istilah "buruh," tidak berlaku lagi. Kuasa hukum TBI ini kemudian memaparkan beberapa undang-undang "Orde Lama" yang masih memakai istilah "buruh," dan undang-undang itu masih dipakai oleh pemerintahan Orde Baru. Contohnya, antara lain, UU No. 1/1951, UU No. 21/1954, UU No. 22/1957, UU No. 18/1958, dan UU No. 12/1964. Bukti yang lebih telak dan sulit dibantah, lembaga pemerintahan Orde Baru, P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) dan P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah), justru tetap menggunakan istilah "buruh."

Mengenai surat yang isinya tidak memberi TBI izin untuk mentas, tim kuasa hukum Kadit Sospol berdalil bahwa surat itu hanya sekedar pemberitahuan saja. Tim kuasa hukum TBI juga membantah dalil ini. Menurut Pardomuan Simanjuntak, surat itu jelas sudah merupakan keputusan final. Dengan adanya surat tersebut, Polda Metro Jaya tidak bersedia mengeluarkan izin keramaian. Menurut pihak Polda Metro Jaya, izin baru ke luar apabila pihak Kadit Sospol memberikan surat rekomendasi. Akibatnya, TBI tercekal untuk mentas di TIM Jakarta.

Pada persidangan berikutnya, sebagaimana diberitakan harian Kompas (15 Agustus 1995), didengarkan keterangan Remi Silado sebagai saksi. Menurutnya, pelarangan atas pementasan TBI suatu hal yang aneh, karena TBI sebelumnya sudah mendapatkan izin. Namun, izin itu kemudian dicabut oleh Kadit Sospol.

Remi Silado, tokoh teater dan pengamat musik ini, pernah aktif melatih anggota-anggota TBI ketika padepokan teater ini pertama kali berdiri. Ketika ditanya oleh kuasa hukum Kadit Sospol, apakah Remi Silado mengetahui alasan pelarangan pementasan TBI, Remi Silado menyatakan, "Saya tidak mengetahui alasannya." Kuasa Hukum Kadit Sospol selanjutnya menjelaskan, rekomendasi pentas akan dikeluarkan jika pihak TBI mau mengganti nama padepokannya. Remi Silado kemudian menyatakan bahwa ia sudah menyaksikan pementasan TBI dengan lakon cerita yang sama, dan tidak mengalami pelarangan. Pementasan itu terlaksana di Bogor, Jawa barat.

Penulis naskah sinopsis drama TBI, Rostymalina Munthe, menyatakan bahwa ia ikut hadir pada rapat tanggal 1 Mei 1995 di Kantor Dinas Kebudayaan DKI Jakarta. Dalam rapat tersebut, pihak TBI diminta menjelaskan apa itu teater buruh, siapa saja anggotanya, dan apa hubungannya dengan SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia).

Selanjutnya, pihak TBI ditanyai, kenapa menggunakan istilah "buruh." Salah seorang peserta rapat dari pihak Kadit Sospol mengusulkan agar nama TBI diganti dengan nama lain. Pihak TBI kemudian mengusulkan nama "Taburi." Pihak Kadit Sospol tidak mau menerima nama tersebut. Rostymalina juga menyatakan bahwa istilah "buruh" masih dipakai di Indonesia. Istilah itu masih ada dalam perundang-undangan, contohnya, dalam P4P dan P4D.

Selanjutnya, kuasa hukum Kadit Sospol mempertanyakan, mengapa judul memakai kata "terpuruk," kata itu kan berarti tertekan. Sedangkan menurut tim kuasa hukum itu, tidak ada yang tertekan di Indonesia. Rostymalina menjawab, bahwa dalam rapat itu sudah diusulkan nama baru, yakni "Senandung dari Balik Tembok," namun tetap juga ditolak.

Rostymalina masih melanjutkan kesaksiannya. Pada rapat dengan Kadit Sospol itu, pihak TBI kemudian diminta sebentar ke luar ruangan. Setelah satu jam, baru dipanggil masuk guna mendengarkan keputusan rapat secara lisan. Kadit Sospol tidak memberikan rekomendasi, selama nama padepokan (TBI) dan jalan cerita drama tidak diganti. Pihak TBI tidak mau menerima alasan itu, mereka meminta pernyataan secara tertulis. Kadit Sospol menerbitkan surat penolakan pemberian rekomendasi, yang kemudian digugat oleh pihak TBI melalui pengadilan.

Pelarangan TBI di Surakarta

Pementasan TBI di Taman Budaya Solo, Surakarta, yang direncanakan akan manggung dua hari, tanggal 23-24 September 1995, juga dilarang oleh Pemerintah Daerah (Pemda) setempat. Pelarangan itu membuat berang sekitar 40 orang mahasiswa. Para mahasiwa yang tergabung dalam Komite untuk Kebebasan Berekspresi (Kuberesi) ini, pada hari Selasa, tanggal 29 September 1995, melakukan unjuk rasa menentang pelarangan tersebut. Kelompok mahasiswa itu membagi-bagikan selebaran kepada para wartawan. Isi selebaran itu menyerukan agar lembaga perizinan dihapuskan, menuntut kebebasan berserikat, dan menuntut kebebasan berekspresi bagi potensi kreatif (Kompas, 27 September 1995).

Kelompok Kuberesi itu gagal menyampaikan tuntutan mereka ke DPRD Kodya Surakarta. Di saat para demonstran itu tiba di depan gedung Balai Kota Solo, pasukan gabungan Polisi dan tentara sudah membuat pagar betis penghadang. Pihak DPRD menghimbau agar kelompok itu tidak mengatasnamakan kelompok Kuberesi. DPRD meminta agar ditunjuk wakil yang benar-benar penduduk Kodya Surakarta untuk bertatap muka dengan anggota DPRD. Tentu saja himbauan semacam itu ditolak oleh Kuberesi. Mereka tidak bersedia membacakan dan menyerahkan pernyataan mereka kepada DPRD.

Sikap Plin-Plan Pemerintah

Pelarangan yang ditimpakan kepada TBI, tidak membuat padepokan teater ini mundur. Mereka tetap berani menggelar pemetasan di berbagai kota. Tampaknya, sikap pemerintah Orde Baru, benar-benar plin-plan. Terkadang melarang, terkadang mengizinkan.

Pada tanggal 30 Agustus 1995, pementasan TBI berlangsung aman di Jakarta; tanpa ada pencekalan atau pembubaran dari aparat keamanan. Drama yang dibawakan tetap sama, yakni "Senandung Terpuruk dari Balik Tembok Pabrik." Pementasan itu berlangsung di Studio Oncor, Jalan Tebet Barat XII/21, Jakarta. Demikian juga dengan pementasan di Bogor, Jawa Barat, juga tidak mengalami pencekalan.

Tampaknya, dapat diduga, bahwa alasan pelarangan itu karena TBI dibina oleh Sisbikum, satu Lembaga Swadaya Masyarakat yang aktif memberi penyuluhan dan penyadaran kepada buruh di bidang peraturan-peraturan perburuhan. Organisasi semacam ini tidak diakui pemerintah.


PEMBUBARAN PENTAS SANGGAR PABRIK

Buruh-buruh yang tergabung dalam teater Sanggar Pabrik, sangat terkejut. Masa latihan sudah usai, panggung sudah siap, undangan sudah terjual, dan izin sudah diberikan oleh pemerintah. Namun, Gelanggang Remaja Bulungan Jakarta, menjadi saksi bisu atas kekecewaan mereka. Pihak keamanan datang, dan Kepala Kepolisian (Kapolsek) Kebayoran Baru, melarang pementasan berjudul "Surat Cinta Kepada Marsinah di Surga." Peristiwa pembubaran sewenang-wenang ini terjadi pada tanggal 16 September 1995.

Pembubaran itu sangat tidak masuk akal. Jauh hari, pihak Sanggar Pabrik sudah mengajukan surat permohonan izin kepada Polsek Kebayoran, dengan menyertakan surat izin penyewaan gedung. Menurut keterangan Sumarno, koordinator pertunjukan itu, pihaknya sudah mendapatkan izin tertulis dari Polsek Kebayoran Baru. Surat izin itu sudah diterima tanggal 22 Agustus 1995, dan ditandatangani oleh wakil Polsek, D.J. Situmorang. "Dengan surat ini, kami menganggap perizinan sudah selesai," ujar Sumarno (Forum Keadilan, No. 13, Th. IV, 9 Oktober 1995, Hal. 26).

Ternyata, sialnya, dua hari menjelang hari pementasan, pihak Polsek membatalkan surat izin tersebut. Alasan Polsek, sangat tidak masuk akal, yakni alamat teater Sanggar Pabrik terletak di Jalan Utan Kayu, Jakarta Timur; sedangkan pementasan dilangsungkan di Jakarta Selatan. Berdasarkan surat Kapolsek Kebayoran Baru, pihak Sanggar Pabrik sebagai penyelenggara harus minta izin ke Polda Metro Jaya dan juga harus ada rekomendasi dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Pihak Sanggar Pabrik tidak bisa memenuhi persyaratan mendadak itu, karena hari pertunjukan semakin dekat. Anggota-anggota Sanggar Pabrik akhirnya bertindak untung-untungan. Kalau dilarang... ya, apa boleh buat! Mereka membulatkan tekad dan mempersiapkan pementasan. Namun, pintu gedung pertunjukan telah dikunci dan penjagaan dari pihak keamanan berlangsung secara ketat. Pementasan tetap batal, dan hadirin yang ingin menyaksikan pementasan itu bubar.

Teater Sanggar Pabrik tampaknya tidak kehilangan keberanian. Mereka mengadukan pembubaran itu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), bahkan mereka pun mentas di hadapan Komnas HAM. Rencana selanjutnya, Sanggar Pabrik akan mengajukan gugatan lewat pengadilan.

Pembubaran ini jelas bertolak belakang dengan hasil Rapat Koordinasi (Rakor) Menko Polkam tentang kebijakan perizinan. Menurut pemerintah, kini kegiatan semacam pentas teater tidak perlu izin kepolisian, tetapi cukup dengan pemberitahuan (Forum Keadilan, No. 13, Th. IV, 9 Oktober 1995, Hal. 26).

Akan tetapi, dapat diperkirakan bahwa pelarangan itu bukan semata-mata masalah perizinan berkesenian. Ini berkaitan dengan politik. _Sanggar Pabrik_ merupakan teater yang dibina oleh Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pimpinan Muchtar Pakpahan. Sampai saat ini, pemerintah Orde Baru tidak mengakui SBSI sebagai serikat buruh. SBSI hanya dipandang sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

TEATER BURUH TERUS BERJUANG

Perjuangan buruh lewat kesenian, tidak mengenal kata jera. Satu hal yang patut dibanggakan, kalau teater-teater yang bukan buruh dicekal pementasannya oleh pemerintah, mereka jarang menuntut lewat pengadilan. Teater kaum buruh, tidak demikian. Buruh berani menggugat lewat pengadilan. Ini jelas suatu langkah maju, bahwa kaum buruh tidak selamanya mau ditindas dan dibodoh-bodohi baik oleh pengusaha maupun oleh pemerintah.

Kaum buruh sekarang ini, sudah memperluas arti kata perjuangan. Bukan hanya lewat mogok, tetapi juga lewat kesenian. Pencekalan bukan sesuatu yang harus ditakuti oleh kaum buruh. Pencekalan hanyalah satu bukti bahwa pemerintah tidak ingin buruh memakai kesenian sebagai senjata perjuangan. Apalagi, kalau kesenian itu menggambarkan atau menceritakan kisah kehidupan buruh yang tertindas.

Kesenian bukan milik pemerintah. Juga, bukan milik seniman-seniman congkak. Kesenian adalah milik rakyat. Buruh berhak menggunakannya. Buruh perlu menuliskan, menceritakan, melakonkan, bahwa dirinya ditindas habis-habisan, dan buruh akan menentang penindasan itu. Puisi, cerpen, drama, atau apa pun bentuk keseniannya, harus dibuat sebanyak-banyaknya guna membangun solidaritas di kalangan buruh.

Berbagai aktivitas kesenian buruh tumbuh semakin subur. Ikut aktif menyokong senjata utama perlawanan kaum buruh: mogok dan organisasi. Misalnya, penyair buruh dan penyair muda Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan sekitarnya), bergabung dan membacakan puisi-puisi yang memberi semangat bagi kaum buruh. Acara ini berlangsung sambil berbuka puasa bersama. Bertempat di Jalan Beringin, Perumahan Periuk Jaya, Tangerang, tanggal 4 Februari 1996 yang lalu. Penyair-penyair yang ikut ambil peranan ialah Dingu Rilesta, Wowok Hesti Prabowo, Wibowo Niagara, Shobir Pur, dan beberapa penyair lainnya (Harian Republika, 5 Februari 1996). Mereka juga membentuk perkumpulan bernama Bubutan (Budaya Buruh Tangerang). Tanggal 10 Februari 1996, Bubutan berencana menggelar pertunjukan di rumah Bapak H. Boediardjo, mantan menteri penerangan.

Pada akhir Desember 1995, penyair-penyair buruh juga tampil membacakan sajak-sajak mereka di Gorong-gorong Budaya, Depok, Jawa Barat. Selanjutnya, pada pertengahan Januari 1996, teater ABU (Aneka Buruh) menggelar repertoar (episode) berjudul "Kesaksian." Teater ABU mengisahkan berbagai persoalan pahit yang menimpa kaum buruh. Misalnya, masalah ketentuan UMR yang tidak ditaati pengusaha, masalah kesejahteraan buruh yang diabaikan, jam lembur yang dipaksakan, perlakuan kasar mandor-mandor perusahaan, dan setumpuk persoalan lainnya. Musik dangdut biasanya menjadi musik pengiring pertunjukan. "Teater bagi kami adalah sarana komunikasi tentang pengalaman kami sehari-hari," ungkap Anjani, salah seorang anggota teater ABU.

Selain teater-teater yang sudah disebutkan di atas, masih ada beberapa teater lagi, misalnya, teater Pekerja Perempuan dan Teater Buruh Sanggar Wanita. Semuanya mengisahkan kehidupan kaum buruh yang tertindas... dan memang, pada akhirnya, buruh harus melawan penindasan itu, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan. Buruh yang sadar akan ketertindasannya, akan mencapai kemenangan dalam perjuangannya. []

Teater buruh, tiada mengenal kata jera dalam berkesenian membela buruh.***



Catatan:

Tulisan ini diambil dari, Publikasi Cerita Kami Nomor 13, Tahun ke VI, maret 1996 Di https://www.angelfire.com/id/edicahy/ceritakami/cerkam13.htm

Poto adalah kegiatan dari Teater Buruh Indonesia (TBI) yang diambil dari Tempo, 1991 di https://www.datatempo.co/foto/detail/P0303200600057/anggota-lsm-sisbikum

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item