Nyanyian Internasionale di Monas: Prabowo, Buruh, dan Janji yang Harus Dibayar

Nyanyian Internasionale di Monas: Prabowo, Buruh, dan Janji yang Harus Dibayar Jakarta, 1 Mei 2025. Di bawah langit Jakarta yang memanggul...


Nyanyian Internasionale di Monas: Prabowo, Buruh, dan Janji yang Harus Dibayar


Jakarta, 1 Mei 2025. Di bawah langit Jakarta yang memanggul awan berat, 200.000 buruh berdiri tegap di Lapangan Monumen Nasional, seperti lautan tak bertepi yang mengepalkan tangan ke udara. Mereka datang dari pelosok negeri, membawa harapan yang selama ini tak kunjung tuntas. Hari itu, bukan hanya ritus tahunan yang diulang; hari itu adalah pertemuan antara sejarah dan janji yang harus ditebus.

Pukul 10.00 WIB, Presiden Prabowo Subianto naik ke podium, suara kerasnya membelah lautan manusia yang sejak pagi menanti kepastian. “Hari ini saya memberi hadiah untuk kaum buruh Indonesia,” katanya. Ia mengumumkan pembentukan Dewan Kesejahteraan Buruh Nasional yang berisi pimpinan-pimpinan serikat buruh dari seluruh Indonesia, dengan mandat meninjau 86 regulasi ketenagakerjaan yang dinilai tak adil. “Mana undang-undang yang tidak berpihak kepada buruh, akan kita perbaiki,” tegasnya, memaku perhatian semua yang hadir.

Di balik sorakan dan tepuk tangan, Raffi Ahmad—artis yang memandu acara—memimpin massa dengan yel-yel yang menggetarkan Monas: “Buruh bersatu!” dan dijawab dengan lantang: “Bela negara!” Teriakan itu bukan hanya gema sesaat, tetapi jeritan panjang sejarah yang belum kunjung selesai.

Angka-angka yang membayangi janji itu berbicara lantang. Tahun 2023 mencatat 680.245 buruh di-PHK, mayoritas dari sektor manufaktur dan ritel. Di balik angka itu ada rumah tangga yang kehilangan nafkah, anak-anak yang dipaksa berhenti sekolah, dan masa depan yang digadaikan. “Kita tidak akan membiarkan pekerja kita di-PHK seenaknya. Bila perlu, negara akan turun tangan,” Prabowo berjanji di hadapan massa yang tahu, janji tanpa keberanian hanya akan jadi catatan kaki dalam sejarah panjang pengkhianatan.

Masalah outsourcing menjadi batu yang terus menindih: 19,5 juta pekerja formal atau 36% dari seluruh pekerja formal masih hidup dalam cengkeraman kontrak yang rapuh. “Saya mendukung penuh agar kita memulai proses menghapus outsourcing secara bertahap,” ujar Prabowo. Sebuah pernyataan yang jika benar dijalankan, akan menjadi warisan yang dicatat tinta tebal dalam buku republik.

Ada pula kelompok yang selama ini hanya menjadi bisikan dalam statistik: 4,2 juta pekerja rumah tangga, mayoritas perempuan, hanya 1 dari 10 yang memiliki kontrak kerja formal. Mereka bekerja di balik dinding-dinding rumah orang lain, hidup dalam sunyi dan tanpa jaminan. Prabowo menghidupkan lagi harapan mereka: “Pekan depan DPR akan mulai membahas RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan saya berharap tidak lebih dari tiga bulan, RUU ini sudah kita sahkan.” Kalimat yang membelah kesunyian panjang, menyalakan secercah cahaya di lorong yang selama ini gelap.

Lalu Marsinah—perempuan yang menjadi nyala yang tak pernah padam. “Saya mendukung penuh agar Marsinah dijadikan Pahlawan Nasional,” kata Prabowo. Marsinah, yang dibunuh dengan kejam karena keberaniannya menuntut hak, adalah simbol bahwa perjuangan buruh Indonesia bukan hanya soal upah, tetapi tentang harga diri dan nyawa. Menjadikannya pahlawan bukan sekadar penghormatan, tetapi utang yang harus dilunasi oleh negara yang selama ini diam.

Tapi ada luka lain yang lebih senyap namun mematikan: diskriminasi usia kerja. Dengan 45% angkatan kerja Indonesia berusia di atas 35 tahun, dan 2,8 juta orang dari kelompok ini kini menganggur, diskriminasi ini telah menjadi racun yang perlahan membunuh masa depan buruh berpengalaman. Mereka terdorong ke sektor informal, yang kini telah membengkak menjadi lebih dari 78 juta orang—60% dari angkatan kerja nasional. Negara kehilangan 2,5% PDB setiap tahun—lebih dari Rp450 triliun—**karena meminggirkan tangan-tangan yang sebenarnya masih kuat dan teruji.

Acara monumental itu tak hanya menjadi milik Indonesia. Melihat ini, Pemerintah Tiongkok memuji langkah Prabowo sebagai model stabilitas sosial yang layak dicontoh di Asia. Sementara itu, Amerika Serikat menilai acara ini sebagai lompatan demokratis, memuji keterbukaan pemerintah Indonesia dalam membangun dialog dengan serikat pekerja. Indonesia tampil di panggung dunia sebagai negara yang mulai berani menyeimbangkan kepentingan investasi dengan hak rakyat pekerja.

Di ujung acara, ketika Internasionale dinyanyikan. Nyaris sama peristiwa ketika bung Karno pidato dengan kata-kata keras Bung Karno bergema kembali: “Kaum buruh harus menjadi motor penggerak revolusi! Negara yang besar adalah negara yang buruhnya berdaulat atas hasil kerjanya sendiri.”  Peringatan hari buruh 1 Mei 1946 lalu di Alun-Alun Yogyakarta. 

Suara-suara serak itu menyatu dengan langit Jakarta, seolah berkata: hari ini adalah permulaan baru, tapi jangan sekali-kali lupa bahwa janji yang diucapkan di hadapan rakyat adalah hutang yang hanya bisa dibayar dengan tindakan nyata. Saat ribuan buruh menyanyikan bait terakhir Internasionale: “Bangunlah kaum yang terhina, bangunlah kaum yang lapar.” Lagu itu tak hanya seremonial. Ia adalah cambuk sejarah yang tak pernah berhenti mengayun. Buruh Indonesia tahu: janji yang tak ditepati adalah utang, dan sejarah punya cara untuk menagih semua yang tak lunas.

Buruh Indonesia tahu benar bahwa sejarah tak pernah tidur. Hari itu Prabowo percaya, mungkin untuk pertama kalinya setelah sekian lama, bahwa negara sedang membuka pintu baru. Dan jika pintu itu tertutup kembali, mereka juga tahu: tangan-tangan mereka yang selama ini membangun negeri ini adalah tangan-tangan yang akan mengetuknya lagi—bahkan mendobraknya jika perlu. [Penta Peturun].


Selamat Hari Buruh Dunia,

1 Mei 2025

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item