Mayday 2009: FPR Menuntut Upah, Kerja, dan Tanah

FPR akan terlibat dalam “Sepekan Aksi Menentang ADB” Jakarta, 28/4 -- Menyambut peringatan Hari Buruh se-Dunia 2009, Front Perjuangan Rakyat...

FPR akan terlibat dalam “Sepekan Aksi Menentang ADB”

Jakarta, 28/4 -- Menyambut peringatan Hari Buruh se-Dunia 2009, Front Perjuangan Rakyat (FPR) kembali merencanakan akan melakukan aksi turun ke jalan. Dalam aksi kali ini, FPR secara nasional akan menuntut upah, kerja, dan tanah. Selain itu, FPR juga mengecam pelaksanaan Pertemuan Dewan Gubernur ADB ke-42 di Jakarta dan mengritik kebijakan stimulus ekonomi SBY-JK.

Rencana ini dikemukakan Koordinator FPR, Rudi HB Daman, dalam Konferensi Pers yang diselenggarakan di Sekretariat Infid, Mampang, Jakarta Selatan. Menurut Rudi, dalam aksi Hari Buruh se-Dunia tahun ini, FPR akan menggelar aksi di sekitar 30 kota di Indonesia dan 4 kota di luar negeri. Selain itu, beberapa organisasi tergabung dalam FPR yang memiliki cabang di berbagai kota lainnya juga akan menyemarakkan peringatan hari buruh se-Dunia 2009 ini dengan berbagai kegiatan bersama masyarakat dan komunitasnya masing-masing.
Selamatkan Rakyat dari Serangan Resesi Ekonomi!
Tema umum kampanye hari buruh se-Dunia yang diusung FPR tahun ini adalah menolak perampasan upah, kerja, dan tanah. Menurut Rudi, tema ini diambil dengan mengacu pada analisis atas dampak umum krisis finansial dan resesi ekonomi dunia saat ini terhadap kaum buruh dan sektor-sektor lain dalam masyarakat. Selain tuntutan umum di atas, FPR juga akan mengangkat berbagai tuntutan-tuntutan sosial ekonomi rakyat dari berbagai kalangan, sektor, dan golongan masyarakat.


Rudi juga mengatakan, kebijakan SBY-JK dalam mengatasi dampak krisis ekonomi di Indonesia justru menyebabkan perampasan upah. Salah satu contoh yang dikemukakan Rudi adalah kebijakan SBY yang menaikkan harga BBM pada Mei 2008 lalu. “Kebijakan tersebut secara jelas telah mengurangi tingkat daya beli buruh dan seluruh rakyat Indonesia pada umumnya dan menyebabkan tingkat upah riil yang diterima buruh menjadi semakin mengecil,” jelas Rudi.
Rudi juga mengatakan rejim SBY-JK tidak memiliki kebijakan yang terarah untuk mencegah laju PHK. Skema SBY-JK untuk mengantisipasi melonjaknya pengangguran akibat PHK dengan menggelar proyek-proyek infrastruktur dinilai tidak akan efektif. Selain itu, proyek-proyek infrastruktur yang digembar-gemborkan SBY-JK akan kembali menggelembungkan laju perampasan dan penguasaan monopoli tanah yang tentu saja akan membawa banyak sekali dampak sosial bagi kehidupan rakyat.


“Pemerintah mengatakan bahwa dengan proyek-proyek tersebut, akan tersedia lapangan kerja untuk sekitar tiga juga penganggur. Akan tetapi, pemerintah tidak pernah mengemukakan berapa juta orang yang akan kehilangan pekerjaan akibat lahan tempatnya bekerja digusur demi pembangunan proyek-proyek infrastruktur!” tegas Rudi.


FPR mengecam tindakan pemerintah yang selalu saja menjadikan buruh dan rakyat sebagai pihak yang pertama kali dikorbankan pada saat menghadapi krisis ekonomi. Padahal, tindakan-tindakan yang merugikan rakyat, sesungguhnya tidak pernah terbukti bisa memberikan solusi untuk mengatasi krisis. Sebaliknya, tindakan tersebut justru akan kian memperburuk krisis ekonomi dan bisa merembet menjadi krisis politik yang kian tajam.


Menurut Rudi, FPR berkeyakinan bahwa krisis ekonomi saat ini memang sangat sulit untuk bisa diatasi sebab membutuhkan perubahan yang fundamental dalam struktur ekonomi Indonesia. Akan tetapi, dampak krisis akan bisa dikurangi apabila pemerintah berani mengambil tindakan-tindakan terobosan yang berdampak riil terhadap masyarakat. Misalnya, pemerintah akan bisa dengan mudah mengalihkan orientasi pasar produk industry ke dalam negeri bila pemerintah mau menaikkan upah buruh, menghentikkan laju PHK, dan sungguh-sungguh memperbaiki daya beli kaum tani sebagai populasi masyarakat terbesar di Indonesia.


Pemerintah juga tidak perlu khawatir akan ketergantungan impor, sebab ketergantungan tersebut pada dasarnya disebabkan oleh rendahnya produksi sebagai konsekuensi dari masih luasnya praktik-praktik skala kecil setengah-feodal yang utamanya berkembang luas di pedesaan. Bila saja pemerintah mau menyediakan lapangan kerja yang layak bagi semua kalangan, tidak hanya pengangguran yang bisa dikurangi, produktivitas juga bisa ditingkatkan sehingga ketergantungan impor bisa dikurangi.


Blejeti Hubungan antara AGM-ADB ke-42 dan Pemilu 2009!
Dalam Konferensi Pers tersebut, Rudi juga mengatakan bahwa momentum Mayday 2009 ini berlangsung di tengah momentum nasional, yakni pemilu 2009, dan momentum internasional-regional, yakni Pertemuan Dewan Gubernur Bank Pembangunan Asia (AGM-ADB) yang akan diselenggarakan 2-5 Mei 2009 yang akan datang di Bali. Dalam penilaian FPR, kedua momentum tersebut memiliki arti penting yang patut mendapatkan penyikapan dari rakyat.
Dalam pandangan FPR, Pemilu 2009 maupun AGM-ADB ke-42 adalah momentum-momentum yang tidak bisa dilepaskan dari keadaan umum krisis yang melanda dunia dan Indonesia. Keduanya saling terkait dan saling memberikan syarat bagi kelangsungan kekuasaan dan dominasinya di masa yang akan datang. Keberhasilan Pemilu 2009 di Indonesia akan mempengaruhi kelangsungan dominasi ADB di kawasan Asia-Pasifik dan khususnya di Indonesia. Demikian pula dengan keberhasilan AGM-ADB ke-42 akan memberikan syarat-syarat yang menopang kekuasaan dari pihak pemenang pemilu 2009.


Akan tetapi, hubungan timbal-balik antara ADB dengan siapa pun pemenang Pemilu 2009—khususnya bila pemilu dimenangkan oleh partai yang memerintah atau calon incumbent—tidak memiliki koneksi positif terhadap kepentingan rakyat. Sebab kekuasaan yang ditopang dengan sokongan ADB—siapa pun penguasanya—akan hanya memperberat beban rakyat dan siapa pun penguasa yang menyokong kelangsungan ADB adalah penguasa yang anti-rakyat.


Menurut Rudi, FPR memang tidak menyerukan kepada rakyat untuk menolak pemilu. Bagaimana pun pemilu adalah salah-satu perwujudan kekuasaan rakyat secara politik. Bahkan, FPR mengakui bahwa partisipasi dalam pemilu adalah hak demokratis setiap warga negara yang harus dijamin oleh penyelenggara negara. Oleh karenanya, FPR mengecam adanya tindakan-tindakan yang telah menghilangkan hak memilih dan dipilih rakyat, melalui karut-marut Daftar Pemilih Tetap (DPT) dan kekacauan distribusi surat suara yang banyak dilaporkan media massa beberapa waktu belakangan ini.


Akan tetapi, FPR merasa tidak bisa tidak, harus tetap mengatakan kepada seluruh rakyat bahwa pemilu pada saat ini adalah cara bagi klas yang berkuasa untuk mengatasi krisis yang terjadi di dalam dirinya sendiri sekaligus untuk memperbarui syarat-syarat kekuasaannya di masa yang akan datang. Intinya, pemilu pada saat ini adalah pemilu yang dibutuhkan oleh klas yang berkuasa. Bukan pemilu yang dibutuhkan oleh rakyat.


Oleh karenanya, FPR menyerukan kepada rakyat untuk menggunakan Pemilu 2009 sebagai ajang untuk membombardir para kontestan pemilu dengan sebanyak mungkin tuntutan-tuntutan politik dan sosial ekonomi. Hal ini dilakukan dengan kesadaran bahwa memang tidak akan semua tuntutan-tuntutan tersebut akan bisa dipenuhi, namun setidaknya bisa memaksa para kontestan tersebut untuk mengambil posisi dan sikap atas tuntutan-tuntutan tersebut sebagai cara rakyat untuk melakukan pengawasan politik terhadap wewenang dan kekuasaan yang akan dipegangnya.


Salah-satu tuntutan yang patut diajukan dalam momentum saat ini adalah tuntutan untuk pembubaran ADB dan penghapusan seluruh utang-utang Indonesia dari lembaga-lembaga seperti ADB, Bank Dunia dan IMF). Tuntutan ini bisa dikemukakan dengan tentu saja diawali dengan menuntut Indonesia keluar dari keanggotaan ADB. Keluarnya Indonesia dari ADB, akan menjadi syarat pokok untuk menghabisi unsur-unsur komprador, pro-imperialisme, dan anti-rakyat yang selama ini bercokol dalam struktur kekuasaan Indonesia.


Menurut Rudi, FPR mencatat bahwa sesungguhnya krisis finansial 1997-1998 dan resesi ekonomi dunia 2008-2009 tidak bisa dilepaskan dari peranan ADB dan lembaga-lembaga sejenisnya. “Bisa dikatakan, krisis-krisis tersebut adalah hasil yang paling alamiah dari skema pembangunan neoliberal dan anti-rakyat yang dipromosikan ADB,” tegas Rudi. “Selama ini, ADB, Bank Dunia, IMF, hanya digunakan Negara-negara maju untuk memastikan kepatuhan negara-negara miskin dan terbelakang terhadap dominasi imperialism”, lanjut Rudi.
Dengan kekayaan alam yang berlimpah, tanah yang subur, dan jumlah penduduk yang cukup besar, Indonesia sesungguhnya tidak memerlukan lembaga-lembaga penyedot kekayaan rakyat seperti ADB dan Bank Dunia. Defisit anggaran, asistensi teknis pembangunan, dan lain-lain yang selama ini dijadikan alasan penguasa untuk mempertahankan ADB, adalah alasan yang tidak berdasar dan dibuat-buat. Tidak ada bukti bahwa ADB telah secara esensial telah memberikan keuntungan kepada rakyat.


“Selama ini, pendapatan dan belanja rakyat pun selalu defisit. Karena krisis yang kian kronis, rakyat telah sangat menderita. Namun rakyat tetap mau bekerja, meskipun apa yang dilakukan barangkali tergolong sebagai pekerjaan yang bagi sebagian orang sebagai pekerjaan hina. Sebab hanya dengan bekerja, krisis seberat apapun, hambatan sesulit apapun, pasti bisa diatasi,” tegas Rudi.


Atas dasar itu, FPR mengajak rakyat terlibat dalam sepekan aksi menentang ADB (People Week of Action against ADB) yang diselenggarakan bertepatan dengan Pertemuan Dewan Gubernur ADB ke-42 di Bali. “Rakyat perlu bersama-sama, mengatakan kepada yang berkuasa, bahwa kita tidak butuh ADB dan sebaiknya ADB dibubarkan saja,” tandas Rudi.#

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item