Senjakala Wajah Buruh Indonesia

Oleh Kharisma Wibawa* Sang waktu berburu senja. Wajah-wajah penuh semangat masih menantang sinar matahari di peringatan Hari Hak Asasi M...

Oleh Kharisma Wibawa*

Sang waktu berburu senja. Wajah-wajah penuh semangat masih menantang sinar matahari di peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional. Begitu pun Kurbana Yasmika (28), biasa dipanggil Nana. Ia masih nampak bersemangat meski digeluti bayang-bayang proses Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Mungkin, tak akan ada kegelisahan yang berlarut-larut dialami Nana, jika posisi tulang punggung keluarga tak diembannya sendiri. Ayahnya tak dapat berbuat banyak untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga sehari-hari. Sedangkan ibunya hanya bekerja jika ada yang mau memanfaatkan jasanya untuk menjaga anak. Keempat adiknya yang lain juga sibuk mencari pekerjaan setelah menyelesaikan pendidikan SMA.

“Habis orang tua kena PHK, saya menanggung semua biaya sekolah adek-adek saya sampe selesai,” tuturnya.

Babak baru dalam hidupnya dimulai ketika PT. Busana Prima Global, Cicadas Gunung Putri Bogor, tempatnya bekerja, melakukan pemecatan terhadap dirinya dan tujuh karyawan lainnya. Mereka dipecat karena dianggap mangkir bekerja selama satu hari.

Nana menepis tuduhan itu. Ia bersama teman-temannya tak masuk kerja karena mengikuti kegiatan di serikat buruh. Mereka pun telah mendapatkan ijin dari perusahaan disertai Surat Pemberitahuan. Tak diduga sebelumnya, ketidakhadiran mereka justru dipermasalahkan oleh perusahaan. Kemudian, mereka diancam pemecatan.

“Kami dianggap mangkir. Kami tahu mangkir itu apa. Kami jelas-jelas punya Surat Ijin untuk nggak bekerja selama satu hari. Tapi mereka nggak mau terima. Tanpa surat peringatan, kami langsung di-PHK,” katanya.

Tak berhenti di sana, ia bersama rekan-rekannya yang juga terkena PHK berniat mendapatkan hak-haknya kembali sebagai pekerja. Di dalam proses mediasi yang ditengahi oleh Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Bogor, mereka berhasil menjadi pemenang. Menurut keputusan di forum itu, mereka berhak mendapatkan pekerjaannya kembali. Namun, pihak perusahaan tak menggubrisnya hingga saat ini. Begitu pun Dinas Tenaga Kerja yang tak responsif atas pengaduan mereka.

Nana melihat kondisi buruh seperti dirinya masih jauh dari layak. Apalagi buruh perempuan. Di tempatnya bekerja, upah menjadi persoalan pokok. Buruh masih mengalami ketidakadilan karena upah yang tak sepadan dengan kerja yang dijalani. Untuk karyawan tetap saja, gaji pokok hanya Rp1.050.000 dengan pendapatan bersih sebesar Rp1.200.000. Bagaimana upah mereka sebagai karyawan kontrak?

“Tak ada bayaran tambahan apabila karyawan bekerja lembur. Untuk hal ini saja sudah nggak adil,” ungkapnya.

“Dengan bayaran segitu, orang seperti saya bisa apa? Yang ada gali lubang tutup lubang,” lanjutnya.

“Saya menganggap Hari HAM merupakan bagian penting bagi buruh itu sendiri. Ketidakadilan yang dialami buruh juga bentuk dari pelanggaran hak-hak manusia sebagai pekerja. Hal itu masih terjadi. Sementara itu, dimana peran dan fungsi negara?” tutupnya, sambil bergegas mengikuti rombongan aksi yang membubarkan diri.


* Penulis adalah Koordinator Divisi Jurnalistik Bingkai Merah.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item