Pelanggaran Hak-Hak Buruh di Perkebunan Sawit

Pertemuan GSBI dengan Dinas Tenaga Kerja Kab. Lahat Catatan dari Perkebunan Kepala Sawit: Hubungan Kerja yang Rentan  Hingga ...




Pertemuan GSBI dengan Dinas Tenaga Kerja Kab. Lahat
Catatan dari Perkebunan Kepala Sawit: Hubungan Kerja yang Rentan Hingga Tidak Adanya Perlindungan Kepada Buruh

Oleh: Ismet Inoni
Kepala Departemen Organisasi DPP GSBI



Dua tahun lalu saya sempat mengunjungi salah satu perkebunan kelapa sawit di kabupaten Lahat Sumatera Selatan, dimana wilayah ini adalah salah satu kabupaten yang memiliki perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Bahkan satu perusahaan bisa memiliki luas lahan puluhan hingga belasan ribu hektar. Selain perusahaan perkebunan termasuk pengolahannya, di Kabupaten Lahat juga memliki perusahaan pertambangan batu bara, retail, restoran hingga perhotelan dan pariwisata.

Sebelum berbicara lebih lanjut terkait perkebunan kelapa sawit di kabupaten Lahat, sebagai gambaran saya catatkan juga tentang kedudukan kabupaten Lahat. Kabupaten Lahat adalah salah satu kabupaten yang dimiliki oleh Provinsi Sumatera Selatan, dengan jumlah penduduk 384.600 jiwa (2014), dengan 24 kecamatan, sementara menurut data BPS tahun 2004, Kabupaten Lahat memiliki jumlah buruh/pekerja sebanyak 111.242 ribu orang dari berbagai sektor industri.

Selanjutnya, berbicara persoalan perkebunan kelapa sawit di Indonesia bukanlah sesuatu hal yang mudah, sebab hingga hari ini data pasti dan valid belum pernah ada kejelasan. Masing-masing pihak menyebutkan data perkebunan kelapa sawit di Indonesia berbeda-beda, demikin juga jumlah buruh yang bekerja langsung maupun tidak langsung di perkebunan kepala sawit. Sebagai perbandingan, menurut GAPKI jumlah petani swadaya, Perusahaan BUMN, Perusahaan Swasta dan Plasma, dalam persentase penguasaan atas lahan terbagi sebagai berikut; Luas perkebuan kelapa Sawit Indonesia (2017) adalah 12,307,677 ha dengan komposisi petani seluas 5,169,224 ha atau sama dengan 42%, Perusahaan BUMN luasnya 861,537 ha atau 7%, sementara perusahaan swasta seluas 6,276,915 atau 51% (Gapki, Workshop "Mendorong Regulasi Perlindungan Buruh Perkebunan Sawit”, Jakarta 7 Maret 2018)

Sementara itu, dalam catatan data lainnya jumlah buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia mencapai 21 juta orang yang bekerja secara langsung maupun tidak langsung (Kadin). Luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia 15,9 juta ha (Sawit Watch, 2016). Dimana pada umumnya tidak mempunyai Perjanjian Kerja Bersama (PKB). Kalaupun ada PKB, antara BKS-PPS dengan Serikat Buruh yang kurang merepresentasikan keterwakilan buruh.

Jika dilihat dari pendapatan devisa negara terbesar dari sektor perkebunan kelapa sawit adalah Rp.  239, 4 triliun (Mentan, Agustus 2017). Kebutuhan CPO (Crude Palm Oil) internasional 50 juta ton, sementara Ekspor CPO Indonesia 35 juta ton/tahun (Gapki, 2016).

Dalam kunjungan dan tinggal bersama buruh perkebunan selama lebih kurang 12 (dua belas) hari pada bulan Agustus tahun 2017 lalu, saya dapat menemukan banyak pelanggaran yang terjadi di lingkungan perkebunan kepala sawit, khususnya di wilayah kabupaten Lahat Sumatera Selatan. Masalah-masalah tersebut adalah; beban kerja yang terlampau tinggi, target tidak manusiawi sehingga tidak jarang para buruh harus bekerja hingga pukul 22.00 WIB, tanpa perhitungan upah lembur, apalagi jika sedang dalam panen raya. Demikian juga terkait Status Hubungan Kerja, dimana Status kerja di perkebunan kelapa sawit yang saya temukan terdiri dari buruh tetap (SKU), dimana status ini dibagi lagi menjadi SKUH dan SKUB atau Syarat Kerja Utama harian dan bulanan, buruh berstatus Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Buruh Harian Lepas (BHL) serta buruh borongan.

Hal lain yang saya temukan adalah ditempat tinggal buruh, dimana terdapat pembatasan pemakaian listrik dan air. Biasanya listrik akan hidup pukul 17.30 hingga 23.00 WIB, dan akan kembali hidup pukul 05.00 hingga 06.00 WIB. Saya juga menemukan beberapa alat kerja harus dibeli sendiri oleh para buruh seperti egreg, bahkan di klinik perkebunan tidak jarang sarana pra-sarana tidak disiapkan oleh pihak perusahaan perkebunan.
                                                    
Selain itu, Praktek Upah Murah masih terjadi di perkebunan kelapa sawit hingga sampai saat ini. Upah minimum tingkat Kabupaten apalagi Upah Minimum Sektoral Perkebunan belum dimiliki secara baik. Karena hingga saat ini di Kabupaten lahat belum memiliki Dewan Pengupahan Kabupaten, sehingga upah tentu bukan dari hasil perundingan serikat buruh dengan pihak perusahaan tetapi secara otomatis menjadi wewenang Bupati untuk di rekomendasikan kepada Gubernur provinsi Sumatera Selatan.

Hal yang paling tragis adalah upaya pemberangusan serikat buruh dengan cara PHK sepihak kepada para pimpinan serikat buruh. Ini sebagaimana terjadi kepada pimpinan dan anggota SBPKS-GSBI PT. Sawit Mas Sejahtera (SMS). Perusahaan telah melakukan PHK sepihak kepada para pimpinan serikat buruh, sebagaimana terjadi kepada Sdr. Iskandar Dinata selaku sekretaris umum, Azwar selaku bendahara, Muhamad Sech wakil ketua dan terakhir adalah PHK sepihak kepada sdr. Fauzi Azwar ketua umum serikat buruh yang dilakukan pada awal tahun 2019 lalu, hanya karena yang bersangkutan menanda tangani surat terbuka kepada presiden RI dan Presiden Uni Eropa agar memperbaiki kondisi buruh perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Jika para pimpinan serikat buruh yang menjalankan fungsinya sebagai pengurus serikat buruh dapat di PHK dengan semena-mena, bagaimana dengan buruh anggota serikat buruh yang aktif. Inilah yang menjadi salah satu dasar ketika hari ini saya kembali mengunjungi dan bertemu langsung dengan para buruh di lingkungan perkebunan PT. Sawit Mas Sejahtera. Situasi saat ini bukan bertambah lebih baik, tetapi tekanan kepada buruh semakin meningkat. Terakhir dibulan ini, ada PHK 25 orang buruh dengan alasan habis kontrak yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Demikian juga hingga saat ini belum juga ada Dewan Pengupahan Kabupaten di Kabupaten Lahat.

Atas masalah ini, Koalisi Buruh Sawit [KBS] telah mencatat dan mendokumentasinya secara baik dalam lembar fakta yang di rilis tahun 2018 lalu, dimana dalam kesimpulannya salah satu kekurangan dan banyak masalah yang muncul pada buruh perkebunan kelapa sawit adalah lemahnya kehadiran pemerintah, dalam hal ini pengawas ketenagakerjaan, juga ketiadaan-nya pengaturan khusus yang mengatur dan memberikan perlindungan kepada buruh perkebunan sektor perkebunan kelapa sawit.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item