GSBI : One Billion Rising –Solidaritas 2020 Perempuan Menari, Perempuan Bersuara, Hentikan Kekerasan dan Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

INFO GSBI-Jakarta. Dalam momentum hari Valentine dan Gerakan One Billion Rising 14 Februari 2020, Sabtu 15 Pebuari 2020 GSBI selenggara...


INFO GSBI-Jakarta. Dalam momentum hari Valentine dan Gerakan One Billion Rising 14 Februari 2020, Sabtu 15 Pebuari 2020 GSBI selenggarakan kampanye Anti Kekerasan Terhadap Perempuan  dan Menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja dengan menggelar aksi dan orasi dengan tema “Perempuan Menari, Perempuan Bersuara, Hentikan Kekerasan dan Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja” bertempat di Taman Aspirasi depan Istana Negara Presiden RI.

“Data Statistik PBB menyebutkan bahwa satu dari tiga perempuan mengalami kekerasan. Di Indonesia pemerintahnya juga tidak memberikan rasa aman bagi perempuan dan anak-anak. Hal ini nyata dengan angka pelecehan seksual dan kekerasan masih sangat tinggi, baca saja dalam catatan Komnas Perempuan pada bulan Maret 2019 terjadi kenaikan sebesar 14% atau 406.178 kasus dimana pelecehan seksual masih menjadi kasus yang angkanya cukup tinggi. Selain itu  71% atau 9.637 adalah kasus KDRT. Angka-angka diatas menunjukan bahwa dibawah kepemimpinan Jokowi perlindungan bagi perempuan masih sangat rendah. Kekerasan lain yang juga dirasakan oleh kaum perempuan adalah kekerasan ekonomi, Kekerasan ekonomi terjadi sebagai akibat dari kebijakan yang dikeluarkan oleh rejim yang tidak pro rakyat”.

Aksi kegiatan perempuan menari dan perempuan bersuara ini adalah tindakan kami buruh-buruh perempuan yang tergabung dalam GSBI bersuara dengan cara kami menolak kekerasan terhadap perempuan dan anak serta gerakan kami menolak RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang sedang di gagas pemerintahan Jokowi-MA yang pada 12 Pebuari lalu resmi draf nya di kirimkan ke DPR RI. Demikian di sampaikan Kokom Komalawati , Kepala Departemen Perempuan dan Buruh Anak DPP GSBI di tengah-tengah aksi 15 Pebari 2020 di depan Istana Negara.

Lebih lanjut Kokom menjelaskan, Apabila Omnibus Law ini di sahkan akan sangat merugikan rakyat, khususnya buruh perempuan akan merasakan dampa secara langsung. Dalam Undang-undana Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 yang sudah dicantumkan pasal-pasal mengenai hak perempuan masih belum memenuhi syarat untuk disebut layak. Pelanggaran atas  hak-hak normatif  buruh perempuan masih terjadi, system kerja kontrak dan outsourcing yang semakin luas cakupannya,  bekerja dengan sistem target, jam kerja yang panjang, fasilitas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang belum memadai, kekerasan dari atasan, pelecehan seksual dll masih terus terjadi karena tidak tegasnya pemerintah dalam menegakan aturan. Dan dengan Omnibus Law ini akan memperparah kondisi buruh perempuan. Diskriminasi upah, fleksibilitas upah dan jam kerja, penghilangan hak dasar buruh perempuan seperti cuti melahirkan, cuti haid, cuti keguguran sampai cuti nikah adalah bentuk eksploitasi terhadap buruh perempuan yang ada dalam isi Omnibus Law. Buruh disektor manufactur terutama sector alas kaki, garment dan industry tekstil akan merasakan dampaknya yata kebijakan ini nkarena sector manufacture adalah sector yang mayoritas buruh perempuan dan sektor yang paling gencar menuntut  percepatan investasi di Indonesia dan menuntut perubahan ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia yang lebih fleksibel.

Dengan Omnibus Law pengusaha diberikan kewenangan dalam mengatur kelenturan upah dan jam kerja. Dengan kelenturan jam kerja maka akan berdampak dengan upah. Upah  per jam akan bedampak dengan target, untuk menghindari mendapat upah rendah maka jam kerja dan target akan semakin tinggi. Dampak-dampak diatas semakin memperjelas sikap pemerintah bahwa untuk menarik sebanyak mungkin investor yang dikorbankan adalah hak dasar rakyat.

Masih banyak isi Omnibus Law yang menghilangkan hak-hak buruh dan merugikaan buruh. Dan aturan Omnisbus Law ini jika di sahkan maka menjadi aturan yang memberikan legaalitas dan melanggengkan kekerasan terhadap perempuan, tegas Kokom.

Sedangkan Kurbana Yastika, Kepala Departemen Advokasi dan Kampanye DPP GSBI mengatakan “ aksi kampanye gerakan menolak kekerasan terhadap perempuan ( OBR ) dan menolak Omnibus Law yang GSBI lakukan ini adalah kegiata rutin yang dilakukan setiap tanggal 14 Pebuari dan pada tahun ini kami selengarakan di tanggal 15 Pebuari nya, yang di beritema : “Perempuan Menari, Perempuan Bersuara, Melawan Kekerasan dan Tolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja”. Dan berikut ini adalah tuntutan dan sikap GSBI dalam aksi kampanye gerakan menolak kekerasan terhadap perempuan (OBR) dan menolak Omnibus Law :
  1. Negara harus menjamin keamanan dan keadilan terhadap perempuan serta  menyelesaikan kasus-kasus kekerasan dan pelecehan seksual terhadap perempuan.
  2. Menuntut DPR RI untuk tidak mensahkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. 
  3. Menuntut pemerintah Jokowi-MA agar segera menurunkan Iuran premi BPJS Kesehatan semua kelas serta pungutan lainnya yang memberatkan rakyat.
  4. alankan segera Land Reform Sejati dan Industrialisasi Nasional sebagai syarat Indonesia untuk berdaulat secara ekonomi dan politik terlepas dari utang dan invetasi dalam membangun negeri.
One Billion Rising (OBR) adalah gerakan  mengajak perempuan-perempuan di sejumlah negara untuk melakukan demonstrasi, menyatakan sikap anti kekerasan pada perempuan, seruan solidaritas dengan cara yang unik yang sesuai dengan tagline-nya, yakni menari. (rd-2020)#

x

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item