Surat Terbuka GSBI Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja

Jakarta, 09 Maret 2020 No         :  0732-SK/DPP.GSBI/II/JKT/2020 Lamp :  Catatan GSBI tentang Point-Point Krusial  dalam Omnibus L...



Jakarta, 09 Maret 2020
No         :  0732-SK/DPP.GSBI/II/JKT/2020
Lamp Catatan GSBI tentang Point-Point Krusial  dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan
Hal         : Surat Terbuka GSBI Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja


Kepada Yang Terhormat,
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI)
C.q. KETUA KOMISI IX DPR RI
Di -
TEMPAT



Dengan Hormat,
Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) adalah serikat buruh nasional, pusat perjuangan buruh dari berbagai macam bentuk organisasi serikat buruh sektoral dan non-sektoral yang dibentuk pada tanggal 21 Maret 1999 dan tercatat di Dinas Tenagakerja dan Transmigrasi Jakarta Selatan dengan Nomor : 489/V/P/V/2007 tanggal, 09 Mei 2007.

Bahwa sehubungan dengan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, melalui surat terbuka ini kami sampaikan, bahwa GSBI menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Penolakan ini didasarkan pada kajian kami :

1. Bahwa Rancangan Undang-Undang sapujagat Cipta Kerja “Omnibus Law” super prioritas pemerintahan presiden Jokowi ini tidak dibutuhkan buruh dan apalagi rakyat Indonesia, banyak merugikannya dari pada menguntungkannya. Lebih Buruk dari Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 serta undang-undang terdampak lainnya.

2. Bahwa semangat dan tujuan dibuatnya Omnibus Law Cipta Kerja ditujukan dan diabdikan untuk kepentingan melindungi Investasi dan kemudahan berusaha dengan membabat regulasi-regulasi yang dianggap menghambat. Bukan didasari pada semangat untuk memperbaiki tata kelola pemerintahan yang bertujuan melindungi hak-hak warga negara.Bukanpula untuk Buruh atau Rakyat dan    bukan    pula  untuk   menciptakan   Kedaulatan   Indonesia,   tapi   untuk menyerahkan sumber daya alam (SDA) Indonesia kepada Kapitalis Monopoli Asing (investor) untuk di keruk dan menjadikan Indonesia terus menjadi negeri terbelakang, bergantung pada Investasi dan Hutang serta menjadikan Indonesia pasar bagi prodak-prodak Imperialisme.

3. Bahwa proses pembuatannya, penyusunan draf RUU Cipta Kerja yang dilakukan pemerintah sejak awal sangat tertutup, tidak transparan dan tidak melibatkan partisipasi publik (masyarakat) secara luas. Hanya dilakukan oleh pemerintah pusat dan hanya melibatkan segelintir elite, terutama kepala daerah dan asosiasi pengusaha.

Hal ini tercermin dari tim atau satuan tugas (satgas) omnibus law yang di bentuk Menteri Kordinator Bidang Perekonomian sebanyak 127 orang anggota yang diisi dan didominasi unsur pemerintah, akademisi, Kadin dan Asosiasi Pengusaha dari beberapa sektor industri. Buruh salah satu unsur yang terdampak dengan RUU ini tidak sama sekali di ajak bicara dan libatkan.

GSBI, serikat pekerja-serikat buruh, masyarakat sipil sejak awal mengalami kesulitan dalam mengakses draf RUU dan naskah akademik RUU tersebut, malah tiba-tiba pemerintah langsung menyerahkan draf RUU beserta naskah akademik RUU Cipta Kerja ke DPR-RI, tanpa terlebih dahulu memberikan ruang partisipasi bagi masyarakat sebelum draft itu diserahkan ke DPR RI.

Hal tersebut menurut pandangan GSBI jelas melanggar salah satu prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, yaitu asas keterbukaan. Terkait asas itu, Pasal 170 Perpres 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksana UU Nomor 12 tahun 2011 mengharuskan pemerintah dan DPR menyebarluaskan RUU sejak tahap penyusunan.

Padahal, partisipasi masyarakat merupakan hak yang dijamin dalam Pasal 96 ayat (1) UU Nomor 12 tahun 2011.  Maka jika mengingat Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini memiliki tingkat kompleksitas tinggi dan rentang substansi amat beragam, seharusnya pemerintah sejak awal terbuka dan mengundang keterlibatan publik, terutama kelompok masyarakat yang akan menjadi pihak terdampak, untuk memberikan masukan.

4. Bahwa untuk memuluskan jalannya pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Pemerintah dari sejak awal sudah maen klaim, meng-adu domba buruh, memecah belah serikat buruh dan masyarakat sipil. Hal ini sebagaimana yang di sampaikan dan dilakukan Menko Perekonomian-Airlangga Hartanto.

Pertama; dalam Konferensi Pers pada 16 Januari 2020, Menko Perekonomian menyatakan “bahwa melalui dialog-dialog yang dilakukan pemerintah dengan pimpinan konfederasi SP/SB maupun federasi, pemeritnah telah mendapatkan persetujuan dari pimpinan SP/SB terhadap isi aturan Omnibus Law”.

Kedua; memasukan secara sepihak beberapa nama Konfederasi dan Federasi SP/SB sebagai anggota (unsur dari SP/SB) dalam Tim Koordinasi Pembahasan dan Konsultasi Publik Subtansi Ketenagakerjaan Rancangan UU tentang Cipta Kerja, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 121 Tahun 2020 tanggal 7 Februari 2020 tentang Tim kordinasi pembahasan dan konsultasi publik substansi Ketenagakerjaan Rancangan undang-undang tentang Cipta Kerja.

Namun faktanya, kedua hal tersebut dibantah dan diprotes oleh pimpinan-pimpinan serikat pekerja-serikat buruh bahwa telah menyetujui isi aturan draft omnibus law terkait ketenagakerjaan sebagaimana disampaikan Menko bidang Perekonomian, termasuk melakukan klarifikasi dan menyatakan bahwa pemerintah telah melakukan “pencatutan” nama serikat buruh mereka, sebagaimana isi dalam Keputusan Menko Perekonomian Nomor 121 tahun 2020, tanpa ada komunikasi dan meminta persetujuan terlebih dahulu, pimpinan-pimpinan serikat pekerja/serikat buruh bahkan menyatakan keluar dari Tim kordinasi pembahasan dan konsultasi publik substansi ketenagakerjaan Rancangan undang-undang tentang Cipta Kerja bentukan Kemenko Bidang Perekonomian ini. Dan sikapnya tetap menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, sehingga aksi-aksi protespun terus dilakukan oleh gerakan serikat buruh, sebagai sikap penolakan terhadap omnibus law rancangan UU Cipta Kerja.

5. Bahwa Omnibus Law RUU Cipta Kerja adalah merupakan Tiga Langkah Mundur Reformasi Regulasi Indonesia. Dalam pandangan GSBI, Pertama, draf RUU Cipta Kerja berpotensi melanggar dua asas dalam pembentukan perundang-undangan, yaitu asas “kejelasan rumusan” dan asas “dapat dilaksanakan”.  RUU Cipta Kerja melanggar asas “kejelasan rumusan” karena dalam perumusannya, pencantuman pasal perubahan langsung digabungkan dengan pasal lama sehingga menyulitkan siapapun yang membacanya.

Mengingat pasal-pasal yang harus direvisi berasal dari 79 UU, seharusnya penyusun RUU Cipta Kerja menggunakan standar yang sudah diatur dalam UU Nomor. 12 tahun 2011. Asas kedua yang berpotensi dilanggar adalah asas “dapat dilaksanakan”. Hal ini terlihat dalam pengaturan Pasal 173 RUU Cipta Kerja yang mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU yang sudah diubah oleh RUU Cipta Kerja harus disesuaikan dengan RUU Cipta Kerja dalam jangka waktu satu bulan.

Melakukan perubahan peraturan pelaksana dari 79 UU dalam kurun waktu satu bulan merupakan sebuah mandat yang sama sekali tidak realistis. Selain itu, target pengerjaan RUU Cipta Kerja selama 100 hari hingga pengesahan juga akan menambah kompleksitas permasalahan mengingat tidak mudah bagi pemangku kepentingan untuk bisa dengan cepat menguasai materi yang diatur dalam RUU Cipta Kerja.

Kedua, banyaknya jumlah peraturan pelaksana yang diamanatkan pembentukannya oleh RUU Cipta Kerja ini (terdiri dari 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah) menunjukkan tidak sensitifnya pembuat undang-undang akan kondisi regulasi Indonesia. Jumlah peraturan pelaksana itu seolah mengabaikan fakta bahwa saat ini Indonesia mengalami  hiper-regulasi.

Alih-alih menggunakan pendekatan  omnibus ini sebagai momentum pembenahan, pemerintah sebagai pengusul justru semakin menambah beban penyusunan regulasi. Hal itu jelas kontraproduktif dengan agenda reformasi regulasi yang sedang dilaksanakan presiden, khususnya dalam menyederhanakan jumlah peraturan perundang-undangan.

Yang patut menjadi catatan juga adalah penyusunan peraturan pelaksana menunjukkan dominasi eksekutif yang semakin menjauhkan proses pembahasan dari publik mengingat penyusunan dan pembahasan regulasi di lingkup eksekutif berlangsung dalam ruang yang lebih tertutup ketimbang undang-undang. Perlu diwaspadai bahwa pendekatan omnibus hanyalah merupakan pintu masuk bagi pemerintah dan kelompok kepentingan tertentu untuk mengatur berbagai substansi RUU Cipta Kerja melalui proses pembahasan yang jauh dari jangkauan publik.

Ketiga, substansi pengaturan RUU Cipta Kerja bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi serta melanggar ketentuan UU Nomor 12 tahun 2011. Terdapat dua pasal yang bertentangan dengan ketentuan hierarki peraturan perundang-undangan dan putusan Mahkamah Konstitusi.

Pertama, Pasal 170 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) dapat digunakan untuk mengubah Undang-Undang. Hal itu bertentangan dengan Pasal 7 ayat (1) dan (2) UU Nomor. 12 tahun 2011 yang mengatur bahwa Peraturan Pemerintah (PP) memiliki kedudukan lebih rendah dibandingkan Undang-undang sehingga tidak bisa membatalkan maupun mengubah Undang-undang.

Kedua, pasal 166 RUU Cipta Kerja menyebutkan bahwa Peraturan Presiden (Pepres) bisa membatalkan Peraturan Daerah (Perda). Hal itu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 56/PUU-XIV yang menyebutkan bahwa kewenangan tersebut bertentangan dengan konstitusi.

6. Bahwa muatan isi (substasi) pasal-perpasal dalam Omnibus Law RUU Cipta Kerja memperlihatkan komitmen buruk Pemerintah terhadap perlindungan buruh, lingkungan hidup dan kedaulatan bangsa. RUU ini akan melanggengkan kondisi krisis, memudahkan investasi, namun menaruh rakyat di bawah ancaman bencana. Terutama dalam Klaster Ketenagakerjaan nyata mengurangi, menghilangkan hak dan kesejahteraan buruh yang selama ini didapat buruh, menghilangkan aspek perlindungan bahkan menghilangkan aspek pidana bagi pengusaha pelanggar.

Padahal hukum Ketenagakerjaan sekurangnya harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan (job security), jaminan pendapatan (income security), dan kepastian jaminan sosial (social security).  Dalam temuan dan analisa GSBI bahwa dalam draf Omnibus Law RUU Cipta Kerja, sama sekali tidak tercermin adanya kepastian kerja, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial.

Tidak adanya kepastian kerja tercermin dari outsourcing dan  sistem  kerja  kontrak  tanpa batas, untuk semua jenis pekerjaan dan sektor industri, PHK bisa dilakukan dengan mudah, dan Tenaga Kerja Asing (TKA) dipermudah sehingga berpotensi buruh kasar yang tidak memiliki keterampilan bisa bebas masuk ke Indonesia.

Tidak adanya kepastian pendapatan terlihat dari dihilangkannya Upah Minimum Kota/Kabupaten (UMK), Upah Minimum Sektoral (UMSK), Upah ditetapkan berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil,  Perhitungan UMP hanya berdasarkan pertumbungan ekonomi daerah (inflasi di hilangkan), tidak ada lagi sanksi pidana bagi pengusaha yang membayar upah di bawah ketentuan upah minimum dan pelangaran lainnya serta dihilangkannya pesangon.

Sementara itu, outsourcing dan sistem kerja kontrak jangka pendek dibebaskan, maka buruh dipastikan tidak lagi mendapatkan jaminan sosial, seperti jaminan pensiun, jaminan hari tua, jaminan kesehatan dan yang lainnya.

Berdasarkan beberapa alasan penolakan di atas, GSBI menegaskan pembahasan materi yang terdapat pada Omnibus Law RUU Cipta Kerja sama sekali tidak mempunyai urgensi dan tidak relevan untuk dilanjutkan.

Selanjutnya, untuk dan atas nama keadilan, untuk dan atas nama kaum buruh Indonesia, atas situasi nasional, atas pemerintahan Jokowi-MA yang terus mengeluarkan kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang merugikan rakyat dan menindas kaum buruh serta rakyat, terus memberikan layanan terbaik dan kemudahan “karpet merah” bagi investasi asing (kapitalis monopoli asing/imperialisme), borjuasi komperador dan tuan tanah sebagai agen kapitalis asing di dalam negeri, Gabungan Serikat Buruh Indonesia (GSBI) menyatakan sikap dan tuntutan :

  1. Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang sejatinya hanya memberikan pelayanan kepada borjuasi komperador dan tuan tanah sebagai agen kapitalis asing di dalam negeri untuk menjalankan ekspor capital serta menjadikan Indonesia negeri terbelakang, bergantung dan dipaksa mengemis dengan hutang dan Investasi serta menjadi Pasar bagi prodak-prodak Imperialisme. 
  2. Menuntut dan mendesak Pemerintah dalam hal ini Presiden Joko Widodo agar menarik Surpres dan RUU Cipta Kerja serta Nahkas Akademiknya dari DPR RI.
  3. Menuntut dan mendesak DPR-RI untuk menolak dan segera membatalkan pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja. 
  4. Jalankan segera Land Reform Sejati & Industrialisasi Nasional sebagai syarat Indonesia untuk berdaulat secara ekonomi dan politik terlepas dari utang dan invetasi dalam membangun negeri.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan.

Hormat kami,
DEWAN PIMPINAN PUSAT
GABUNGAN SERIKAT BURUH INDONESIA (DPP. GSBI)



RUDI HB. DAMAN EMELIA YANTI MD. SIAHAAN, S.H
Ketua Umum                 Sekretaris Jenderal

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item