Belt and Road Initiative (BRI) dan Rivalitas Imperialis

Belt and Road Initiative (BRI) dan Rivalitas Imperialis Belajar dari model pembangunan infrastruktur saat ini, proyek BRI di Indonesia tidak...


Belt and Road Initiative (BRI) dan Rivalitas Imperialis

Belajar dari model pembangunan infrastruktur saat ini, proyek BRI di Indonesia tidak akan jauh beda dan akan menimbulkan berbagai dampak dan risiko yang merugikan rakyat. Pelaksanaan proyek-proyek tersebut mengandalkan intensifikasi ekspor kapital baik utang dan investasi luar negeri oleh korporasi raksasa dan institusi keuangan imperialis. Artinya, kerja sama untuk proyek BRI secara langsung semakin memperkuat ketergantungan Indonesia dan menambah beban utang yang harus ditanggung rakyat.


Apa itu BRI ?
Belt and Road Initiative (BRI) merupakan inisiatif kerjasama ekonomi politik multiregional yang diinisiasi oleh China dalam rangka implementasi serangkaian mega proyek konektivitas yang telah digagas dalam rancangan One Belt One Road (OBOR). 

Presiden Xi Jin Ping telah mengembangkan rencana aksi One Belt One Road (OBOR) pada tahun 2015 dengan dua komponen utama: Silk Road Economic Belt (Sabuk Ekonomi Jalur Sutra) dan 21st Century Maritime Silk Road (Jalur Sutra Maritim Abad 21). Rancangan ini untuk membangun konetivitas (infrastruktur) pada 3 (tiga) rute yang menghubungkan China dengan Eropa melalui (1) Asia Tengah; (2) Teluk Persia, Mediterania melalui Asia Barat; dan (3) Samudra Hindia melalui Asia Selatan. Sehingga, China secara langsung dapat terhubung dengan Asia Tengah, Asia Barat, sebagian Asia Selatan, Afrika Timur, dan Eropa bagian selatan. OBOR akan membuka 6 koridor utama ekonomi: New Eurasia Land Bridge; China-Mongolia-Russia; China-Asia Tengah-Asia Barat; Indo-China Peninsula; China-Pakistan; dan Bangladesh-China-India-Myanmar (Jinchen, 2016 dalam APRN: Militarism and Democracy in Asia Pacific, 2017). 

 
Koridor tersebut akan menjadi wilayah klaster energi dan industri dan akan dibangun rel kereta, jalan, saluran air, udara, jaringan pipa, dan informasi. Tahun 2014, China menyiapkan $40 miliar dari Silk Road Fund untuk membiayai inisiatif ini. Lebih dari 60 negara, dengan gabungan PDB $21 triliun, telah menyatakan minatnya untuk berpartisipasi dalam rencana aksi OBOR. Lebih dari 200 perusahaan telah menandatangani perjanjian kerja sama untuk proyek di sepanjang rute OBOR. 

Sejak diluncurkan hingga pertengahan semester 2019, jumlah pinjaman luar negeri China untuk proyek ini telah lebih dari US$ 90 miliar. Dalam Belt and Road Forum untuk kedua kalinya di Beijing, 25 - 27 April 2019, Presiden Xi Jinping mengklaim sudah 150 negara menandatangani keikutsertaan dalam KTT Belt and Road Initiative. Forum kedua ini dihadiri 37 pemimpin negara.  Sejauh ini diketahui sejumlah Bank telah menyiapkan inisiatif pendanaan untuk BRI, yakni:  

1. Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) (100 Miliar US$) 
2. Silk Road Fund (40 Miliar US$ diawasi oleh Bank Sentral China) 
3. China Development Bank (890 Miliar US$) 
4. Bank Exim China untuk cadangan devisa 3,7 Triliun US$ 
5. Dana Abadi sebesar 200 Miliar US$ 

Tujuan BRI dan Rivalitas di Asia Pasifik 
Implementasi BRI sebagaimana tujuan rancangan OBOR harus dilihat lebih dari sekadar pembangunan koneksi fisik semata. BRI diciptakan sebagai platform terbesar di dunia untuk kerja sama ekonomi, termasuk koordinasi kebijakan, perdagangan, dan kolaborasi pembiayaan, dan kerja sama sosial dan budaya. Melalui BRI dan inisiatif internasional lainnya, China sebagai negara kapitalis monopoli berupaya memperluas pengaruhnya jauh melampaui kawasan Asia Timur, yang dipaksakan oleh industri monopoli dan kepentingan kapital finans China untuk terus mengakumulasi capital melalui mega-proyek infrastruktur.

Satu-satunya negara yang paling keras menentang inisiatif ini sejak awal adalah Amerika Serikat. AS memandang bahwa inisiatif ini hanya menguntungkan China semata melalui politik utang luar negeri yang menekan negara-negara kecil dan miskin. Namun, kepentingan AS sesungguhnya adalah mempertahankan dominasi ekonomi politik yang mulai terganggu karena menguatnya inisatif dan kerjasama ekonomi yang dibangun China di Asia Pasifik. Latar ini juga menjelaskan kenapa AS tidak mau menghadiri BRI Forum di Beijing, April 2019.

Asia Pasifik di mata AS dan China
Sejak krisis finansial 2009, kebijakan luar negeri AS, Poros Asia (Pivot Asia) menargetkan prioritas di kawasan Asia dan Pasifik. Pendekatan multidimensi dilakukan AS untuk memastikan poros ini terbentuk, mulai dari pendekatan keamanan, ekonomi, kerjasama bilateral hingga multilateral.
Hingga tahun 2020, AS merencanakan menempatkan 60 Armada militer di kawasan Pasifik dan Asia. Laksamana Samuel J. Locklear III, Panglima Komando USPACOM di Jakarta (2013) menyebutkan alasan pergeseran besar-besaran armada militer ke Pasifik adalah program strategis AS. Dia menegaskan:
“Kawasan ini memiliki sembilan dari sepuluh pelabuhan terbesar di dunia, jalur perdagangan laut paling sibuk yang melibatkan setengah dari total kontainer dunia dan 70 persen kapal pengangkut energi dunia melewati Pasifik setiap harinya, Kawasan ini juga menjadi kekuatan militer yang terus berkembang dengan 7 dari 10 kekuatan militer terbesar. Lalu, dengan kekuatan angkatan laut terbesar dan paling mutakhir” 
Asia-Pasifik dianggap sebagai pusat pertumbuhan ekonomi dunia dan dapat menjadi penolong bagi AS dari krisis keuangan global. Asia Pasifik memimpin 60 persen dari pertumbuhan ekonomi global termasuk untuk riset, teknologi, dan militer. Lebih dari separuh populasi dunia hidup di wilayah ini sehingga menjadi pasar yang sangat menjanjikan bagi rantai produksi global, sekaligus penyedia tenaga kerja melimpah dan murah. Asia Pasifik yang geostrategic dan memiliki bahan mentah melimpah dan siap diekploitasi. Asia sendiri telah lama dijadikan pusat system kapitalis global. Telah lebih dari empat dekade, korporasi transnasional dari negara-negara kapitalis maju telah mengalihkan produksi intensifnya ke negara-negara dengan upah rendah di Asia, seperti Indonesia. Artinya, kawasan ini memiliki seluruh potensi terbaik yang dapat menyehatkan operasi produksi korporasi/industri monopoli dan investasi kapital finansial, baik AS dan aliansinya, dan China dengan mitra ekonominya.  

Rivalitas AS dan China
Pivot Asia dimasa pemerintahan Trump meningkatkan intervensi, tekanan, provokasi di wilayah Laut China selatan, khususnya di daerah-daerah konflik perbatasan antar negara. AS megintensifkan latihan militer bersama Jepang, Filipina, dan Australia di Laut China Selatan.

China sebagai kekuatan ekonomi yang menguat berupaya menyaingi AS dengan membentuk Shanghai Co-operation Organization (SCO) sejak 2001 sebagai aliansi ekonomi, politik, militer dan keamanan bersama Rusia, Kazakhstan, Kirgizia, Tajikistan, dan Uzbekistan.  China terus meningkatkan kekuatan militer dan pertahanan, serta memperketat klaim penguasaan wilayah Laut China Selatan. Strategi ini tentunya akan menjadi politik keamanan untuk melindungi berbagai inisiatif dan investasi China, termasuk yang utama bagi berjalannya BRI di Asia Pasifik. 

Dampaknya, rivalitas ini secara langsung telah meningkatkan konflik dan ketegangan dengan berbagai negara ASEAN seperti Vietnam, Malaysia, Filipina, Brunei, dan Indonesia. Namun, dibalik seluruh rivalitas ini, perlindungan terhadap kepentingan penguasaan ekonomi dan hegemoni di Asia Pasifik menjadi tujuan utama dimana Laut China Selatan dan Laut China Timur adalah wilayah strategis koridor perdagangan dan poros ekonomi. Baik AS dan China akan terus memastikan akumulasi keuntungan dan kapital dengan memastikan kelancaran program investasi dan kerja sama pembangunan di wilayah ini. Bagi AS, hal terpenting adalah mempertahankan dominasi ekonomi politik sekaligus menekan bangkitnya rival-rival seperti DPRK, dan China dan mitranya.

BRI di Indonesia dan Dampaknya terhadap Rakyat

Melalui pertemuan Belt Road Forum (BRF) di Beijing, April 2019, Pemerintah Indonesia memastikan kerja sama dengan China dalam program BRI untuk pembangunan infrastruktur di 4 (empat) koridor: Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali. 

Wakil Presiden, Jusuf Kalla yang hadir dalam pertemuan Global Maritime Fulcrum Belt And Road Initiatives (GMF–BRI) mengungkapkan bahwa China sudah menyiapkan rancangan Framework Agreement untuk bekerja sama di Kuala Tanjung, Sumatra Utara sebagai proyek tahap pertama. Beberapa proyek lain yang telah disepakati seperti Kawasan Industri Sei Mangkei dan kerja sama strategis pada Bandara Internasional Kualanamu untuk tahap kedua. Kemudian, pengembangan energi bersih di kawasan Sungai Kayan, Kalimantan Utara, pengembangan kawasan ekonomi eksklusif di Bitung, Sulawesi Utara, dan Kura-Kura Island di Bali. Jadi, ada sekitar 30 proyek. 

Belajar dari model pembangunan infrastruktur saat ini, proyek BRI di Indonesia tidak akan jauh beda dan akan menimbulkan berbagai dampak dan risiko yang merugikan rakyat.

Pelaksanaan proyek-proyek tersebut mengandalkan intensifikasi ekspor kapital baik utang dan investasi luar negeri oleh korporasi raksasa dan institusi keuangan imperialis. Artinya, kerja sama untuk proyek BRI secara langsung semakin memperkuat ketergantungan Indonesia dan menambah beban utang yang harus ditanggung rakyat. Padahal, berbagai proyek yang dibangun tidaklah didasarkan pada kebutuhan prioritas rakyat, melainkan memfasilitasi percepatan eksploitasi bahan mentah dan operasi produksi industri monopoli untuk memasok komoditas ekspor bagi pasar global. Dengan kata lain, pembangunan infrastruktur dan hasil produksi dari industri yang dibangun tidak menjawab persoalan dan kebutuhan rakyat di dalam negeri. 

Dampak yang akan semakin meluas dan massif adalah perampasan dan monopoli tanah milik kaum tani, masyarakat adat, suku bangsa minoritas, urban perkotaan yang selanjutnya berdampak pada kehidupan perempuan dan pemuda. Karena basis sosial dari model pembangunan infrastruktur saat ini adalah menindas dan “lapar tanah”. 

Disisi lain, pembangunan industri melalui Kawasan ekonomi khusus hanya akan memperluas dan melaggengkan politik upah murah dan fleksibilitas tenaga kerja. Karena bentuk fasilitas yang telah disediakan pemerintah untuk menjamin investasi seperti proyek BRI adalah penerapan Paket Kebijakan Ekonomi (PKE 16 Jilid) yang telah menerapkan upah murah dan pasar tenaga kerja yang fleksibel. Industri yang dibangun juga tidak bertujuan industrialisasi nasional dan tidak akan berkontribusi kemajuan teknologi, karena bentuk industri yang dibangun adalah semi-processing bahan mentah dengan mengandalkan “teknologi rakitan impor” (baca: teknologi modern). Pembangunan industri semacam ini justru semakin menempatkan klas pekerja terus terbelakang dengan kondisi ekonomi yang terus merosot. Sedangkan, akumulasi keuntungan dan kapital akan mengalir deras ke kantong-kantong korporasi dan institusi keuangan.

Fakta lain yang tak bisa diabaikan, pembangunan infrastruktur akan menyasar pembukaan wilayah eksploitasi baru (baca: hutan dan lahan) sebagai sumber bahan mentah untuk industri. Maka, dampak buruk selanjutnya adalah meningkatnya deforestasi dan degradasi lingkungan yang akan diiringi oleh meningkatnya kerentanan bencana di berbagai wilayah, khususnya di Kawasan sasaran pembangunan proyek BRI di Indonesia. 

Dengan kondisi ini, maka rakyat Indonesia harus memperkuat sikap dan langkah untuk lebih kritis atas rencana pembangunan, dan menentang segala bentuk kerja sama yang akan merugikan rakyat. Sangat tepat jika rakyat terus membangun dan memperluas organisasi untuk memperjuangkan hak-hak demokratisnya, dan terus mendorong terwujudnya pembangunan yang adil dan demokratis melalui reforma agraria sejati dan industrialisasi nasional. [Kurniawan Sabar, INDIES]#

Posting Komentar

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. penghasilan tambahan yang anda dapat dari bermain bandarqq, pkv games dan dominoqq dapat membantu anda


    mainkan sekarang juga : http://www.e-ktp.com/

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item