"DIMATIKANNYA” ASAS DALAM PEMBENTUKAN RUU CIPTA KERJA

Poto: Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D. “DIMATIKANNYA” ASAS DALAM PEMBENTUKAN RUU CIPTA KERJA Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL....

Poto: Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.

“DIMATIKANNYA” ASAS DALAM PEMBENTUKAN RUU CIPTA KERJA

Prof. Susi Dwi Harijanti, S.H., LL.M., Ph.D.
(Guru Besar Hukum Tata Negara FH UNPAD)


Demokrasi dan negara hukum: asas fundamental penyelenggaraan negara 

Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 UUD 1945 merupakan bab fundamental penyelenggaraan negara Indonesia karena menetapkan asas-asas yang harus dilaksanakan, yaitu asas-asas demokrasi dan negara hukum. Jika digandengkan, maka asasnya adalah negara hukum yang demokratis. 

Demokrasi mengandung esensi rakyatlah yang menentukan cara rakyat diperintah dan rakyatlah yang menentukan cara-cara menjalankan pemerintahan. Asas negara hukum mewujud, salah satunya, dalam asas legalitas yang bermakna setiap putusan atau tindakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan harus didasarkan pada ketentuan hukum yang sudah ada sebelum atau pada saat putusan atau tindakan tersebut dilakukan. Pengertian “hukum yang sudah ada” meliputi hukum substantif (hukum material) maupun hukum prosedur (hukum formal). Keharusan adanya hukum sebagai dasar tindakan atau putusan adalah untuk mencegah kesewenang-wenangan yaitu bertindak atas kehendak sendiri yang pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpastian hukum serta ketidakadilan. 

Prosedur adalah jantungnya hukum 

Dalam pembentukan UU, kedua asas tersebut harus menjiwai, baik dari aspek materi (substansi) dan aspek prosedur. Dalam konteks RUU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus, diyakini bermasalah dari aspek materi maupun prosedur pembentukan. Namun, tulisan ini secara khusus menyoroti aspek prosedur. 

Di Indonesia, prosedur pembentukan diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 22D UUD 1945. Prosedur rinci diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 jo UU No. 15 Tahun 2019 yang dikualifikasi sebagai UU organik, yakni UU yang pembentukannya diperintahkan secara langsung oleh UUD. Ada beberapa materi penting yang diatur oleh kedua UU itu, seperti asas dan prosedur pembentukan, materi muatan peraturan perundang-undangan, partisipasi masyarakat. “Keterbukaan” menjadi salah satu asas pembentukan sebagaimana diatur dalam Pasal 5. Penjelasan UU No. 12 Tahun 2011 menyatakan “keterbukaan” adalah dalam pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Selain itu, Pasal 88 menghendaki dilakukan penyebarluasan oleh DPR dan Pemerintah sejak penyusunan Prolegnas, penyusunan RUU, pembahasan RUU hingga pengundangan UU. Pasal 96 mengatur partisipasi masyarakat dalam arti masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Sejatinya, keterbukaan, partisipasi dan penyebarluasan berkait langsung dengan asas demokrasi dalam pembentukan UU. Dengan kata lain, tanpa kehadiran salah satu dari ketiganya berarti menegasikan demokrasi. 

RUU Cipta Kerja diyakini melanggar bukan hanya norma-norma pembentukan sebagaimana diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011, namun lebih prinsipil melanggar asas-asas utama penyelenggaraan negara yang ada dalam UUD 1945 serta melanggar etika atau moral konstitusi. Selama proses perancangan, Pemerintah tidak pernah secara terbuka menyampaikan ke masyarakat, bahkan terkesan sembunyi-sembunyi. Publik baru dapat mengakses, setelah RUU itu selesai dirancang oleh Pemerintah dan diserahkan ke DPR. Padahal jelas dinyatakan dalam UU, keterbukaan, penyebarluasan serta partisipasi dilakukan sejak tahap perancangan. Bila pembentukan UU dipandang sebagai suatu proses politik, maka partisipasi rakyat adalah partisipasi politik. Dan partisipasi itu tidak dapat diartikan secara sempit, yang hanya berhenti di bilik-bilik suara. Jika, sebuah UU adalah kebijakan yang dibuat oleh negara, maka melibatkan pihak yang terkena dalam pengambilan keputusan menjadi suatu kemestian, bukan sebaliknya membuat keputusan yang dianggap terbaik oleh pembuat kebijakan. Rakyat mempunyai hak untuk didengar (the right to be heard). 

Yang lebih fundamental dipahami, penyelenggaraan negara (termasuk pembentukan UU) tidak hanya didasarkan pada norma-norma konstitusi dan UU, melainkan tunduk pula pada nilai-nilai etik atau moral. Adalah tidak etis, tetap bersikukuh melanjutkan pembahasan RUU yang sarat dengan keberatan masyarakat ditengah-tengah situasi pandemi. 

Tolak RUU Cipta Kerja, suara rakyat penentu akhir 

Willam J. Keefe dan Morris S. Ogul dalam bukunya “The American Legislative Process, Congress and the States” menjelaskan badan legislatif, antara lain, berfungsi melakukan pendidikan publik. Salah satu aspek pendidikan publik adalah menyampaikan informasi yang cukup dan akurat kepada publik, dan senantiasa memperhatikan pendapat publik. Kedua aspek itu sangat penting dalam proses pembentukan undang-undang. Selain sebagai cara mendorong partisipasi publik, juga agar undang-undang yang dibentuk mencerminkan “general will” yang mencerminkan kedaulatan rakyat dan lebih menjamin undang-undang yang berkualitas. Singkatnya, substansi yang baik akan ditentukan oleh prosedur yang baik. 

Pembentukan UU oleh DPR dan Pemerintah sejatinya bertujuan mendapatkan legalitas dan legitimasi atas suatu tindakan negara, dan harus dilakukan melalui prosedur-prosedur hukum tertentu. Tujuan utama pemerintahan adalah menghasilkan hukum dan kebijakan yang baik, yaitu yang merefleksikan kepentingan orang banyak. Dalam masyarakat yang lebih besar dengan beragam tujuan, hukum dan kebijakan yang baik itu berarti hasil yang paling tidak mempertimbangkan kepentingan-kepentingan dan dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima oleh semuanya. Dalam proses politik yang demokratis, partisipasi adalah cara utama meraih tujuan pemerintahan itu. Karenanya, harus dipahami oleh pembentuk UU, pentingnya prosedur untuk menghindarkan terjadinya “dari perantara ke jual beli”. Jika praktik tersebut dibiarkan, akibatnya sangat destruktif: “matinya demokrasi di tangan pembentuk UU”. [ ]

Ket: Tulisan ini di ambil dari 92 Akademisi Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja.

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar dan jangan meninggalkan komentar spam.

emo-but-icon

Terbaru

Populer

Arsip Blog

item